Chapter 13 - 💋Punishment💋

4.2K 60 2
                                    

Jiana memegang ponselnya erat-erat, meremas ujung gaunnya saat ia berdiri di ujung tangga lantai bawah. Dari sudut dapur, suara percakapan ayah dengan sang itu jelas terdengar. Ia menjulurkan wajah, mengeluarkan air mata yang siap jatuh. Jiana memang sudah menghapuskan sosok ayah dalam catatan hidupnya, tetapi rasa ingin tahu dan kecemasan membuat sulit untuk bergerak.

Mematung sesaat seraya merekam percakapan Kenanga dengan pria asing itu. Well, namanya saja Jiana tidak tahu. Pernah sekali saat perayaan hari Ayah di Elementary School, Jiana bertanya mengenai sang Ayah kepada Kenanga. Saat itu Kenanga hanya membalas senyuman penuh arti. Kemudian Kenanga berlari ke toilet untuk menangis. Sejak kejadian tersebut, Jiana menyadari jika pertanyaan mengenai ayahnya hanya akan membuat Kenanga bersedih dan tidak pernah bertanya lagi.

"Aku mohon jangan muncul di hadapan kami, jika kamu masih memikirkan kebahagiaan Jiana," kata Kenanga dengan nada tegas dan penuh penekanan. Kalimat tersebut merasuk tajam ke dalam hati Jiana.

Jiana menelan getir dan memutuskan untuk kembali berjalan ke lantai dua. Ia mengatur napasnya, berusaha untuk mengendalikan emosi. Mengayun kaki dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara.

Ketika sampai di lantai atas, agar percakapan mereka terhenti, Jiana berteriak, "Ibu, aku mau berangkat kerja!"

Kenanga terkejut lantas cepat-cepat menghentikan percakapan dengan ayahnya.la berlari ke arah tangga, seraya memasukkan ponsel ke dalam saku daster.

"Udah mau berangkat, Ji?" tanya Kenanga setelah bersusah payah mengusir kepanikan. "I-Ibu belum sempat buat sarapan. Ibu buatkan roti dulu ya, sama susu," tambah Kenanga sambil meraup seluruh helai rambut untuk diikat.

"Aku makan di hotel aja, Bu. Buru-buru nih." Jiana menjawab sambil melirik waktu pada arloji yang melilit pergelangan tangan. la menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum simpul untuk membuang kekhawatiran yang tersirat di mata Kenanga.

Kemudian, Jiana memberikan pelukan singkat pada ibunya sebelum berpamitan untuk berangkat kerja. "Jiana sayang ibu, banget!"

Pelukan Jiana membuat kedua mata Kenanga menghangat. la sedikit menengadahkan kepala untuk menahan air mata supaya tidak tumpah. Spontan tangan Kenanga mengelus punggung Jiana dengan lembut. Dalam hati, Kenanga menjerit. Tidak seharusnya Jiana mengalami hal buruk ini dan menanggung akibat dari cinta tanpa restu itu. Kenanga merasa bodoh saat sempat berpikir ketulusan cinta bisa meluruhkan hati kedua orang tua Nawasena. Well, benar jika happy ending Si Kaya dan Si Miskin hanya ada di dongeng.

"Aku berangkat dulu, Bu," pamit Jiana segera bergegas menaiki motor.

"Hati -hati, Nak." Kenanga mengikuti langkah Jiana hingga halaman depan rumah.

Saat menaiki motor matic, Jiana berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. Namun, setelah beberapa saat dalam perjalanan ke The Moon Hotel, air mata mulai mengalir tanpa henti.

Jiana merasa seolah-olah dunia yang selama ini dicoba bangun hancur begitu saja. Sang ayah sepanjang hidupnya tidak pernah benar-benar menginginkan Jiana. Itulah alasan mengapa pria itu jarang muncul. Ia merasa terluka sebab dikhianati oleh dua pria yang sempat menempati tahta tertinggi di hati. Lantas luka itu terbawa air mata saat motor maticnya terus melaju melewati jalanan Seminyak.

Hujan mulai turun pelan, mengguyur wajahnya yang penuh rasa bingung. Jiana berharap hujan bisa menenangkan perasaan yang bergejolak dan tidak Karuan. Selama perjalanan itu, ia memahami bahwa ia harus kuat dan berjuang demi kebahagiaan sang ibu.

Jiana tahu bahwa perjuangan tidak akan mudah, tetapi ia memiliki tekad untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa sudah tumbuh dengan baik dan bahagia meskipun tanpa sumbangsih dari peran seorang ayah.

Touch Me Slowly, Mr. BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang