Chapter 7 - 💋Love is Bullshit💋

2K 76 3
                                    

“Selamat Pagi, Bu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Selamat Pagi, Bu.” Senyum Jiana seketika merekah saat berpapasan dengan salah satu tamu hotel. 

“Permisi, Mbak. Saya mau tanya kalau mau ke kolam renang lewat mana ya?” tanya wanita paruh baya yang rambutnya sudah memutih secara keseluruhan. Namun ingatan wanita itu cukup tajam karena masih mengingat Jiana sebagai resepsionis yang membantunya check in tadi meskipun tanpa seragam. 

“Ibu lurus saja kemudian belok ke kanan, Bu.” Jiana menjelaskan seraya menunjukkan arahnya kepada wanita itu dengan ramah. 

“Terima kasih. Kamu cantik.” Tangan wanita tersebut mengusap pundak Jiana sambil menghaturkan senyuman. Lipatan di sudut matanya terlihat mengumpul karena tarikan tersebut. “Pasti sudah punya pacar ya?” 

Lengkungan bibir Jiana perlahan surut mendengar pernyataan tersebut. Lalu buru-buru ia kembali mengulas senyuman. “Belum, Bu,” jawab Jiana diikuti rasa perih yang kembali timbul dari dalam hati. 

“Masa’, cantik gini belum punya pacar?” Ekspresi terkejut langsung tampak di wajah dengan perpaduan Eropa itu disusul helaan napas panjang. “Andai aja saya punya anak atau cucu ya? Sayangnya saya child free. Setelah suami saya meninggal, kadang kesepian.”

“Oh jadi ibu staycation sendiri ya?” Jiana menimpali. 

“Iya sendirian.” Tangan dengan cincin permata yang melingkar di dua jemari itu kembali mengusap pundak Jiana. “Kamu pasti akan mendapatkan pria yang sangat mencintai kamu. Pasti.”

Ketika mendengar doa itu, batin Jiana enggan untuk mengamininya. Cinta dari seorang pria memang seperti fatamorgana. Terasa menyejukkan ketika didamba, dan akan menyakitkan saat tersadar jika itu tidak nyata. 

“Semoga,” jawab Jiana memaksakan senyuman. 

“Ya udah, terima kasih ya.”

“Dengan senang hati, Bu.” Senyum Jiana masih merekah sampai wanita itu berjalan menjauh dan menghilang saat berbelok arah. 

Perlahan lengkungan bibirnya surut. Jiana mengembuskan napas kasar lalu mengayunkan kaki keluar dari lobi. Bekerja di bidang pelayanan memang harus pintar mengesampingkan perasaan. Meskipun sedang bersedih, ia harus menghaturkan senyuman ramah kepada para tamu. Maka tidak heran jika Jiana mendapatkan penghargaan sebagai karyawan terbaik karena pandai menutupi perasaan yang sesungguhnya. 

Jemari Jiana bergulir di layar ponsel bersamaan dengan embusan angin yang menerpa wajah. Rambut cokelat Jiana lantas berterbangan, menampilkan wajah mungil dengan pulasan make up seadanya.

Baru saja berniat memesan ojek online, sebab terlalu lemas untuk mengendarai motor seorang diri, tiba-tiba lengan Jiana ditarik oleh seseorang.

"Maksud kamu apa Jiana!" Suara yang terdengar tidak asing itu membuat Jiana tersentak dan mendapati rupa Raditya yang merah padam menahan amarah.

"Kamu apa-apaan sih, Dit!" Sontak Jiana menyentak tangan Raditya.

"Kamu yang apa-apaan!" Nada bicara Raditya langsung meninggi. Kedua matanya menyapu ke sekitar sebelum menarik tangan Jiana ke samping hoteI untuk menghindari perhatian.

"Lepasin Radit! Sakit!" Jiana bersusah payah melepaskan cengkraman tangan Raditya yang membuat pergelangan tangannya memerah. 

Raditya melepaskan cengkraman lalu berkacak pinggang. "Kenapa kamu pindah nama kepemilikan rumah kita, ha?"

Alih -alih menanyakan alasan Jiana pergi tanpa pamit dan mematikan ponsel, Raditya justru lebih peduli dengan kepemilikan rumah yang tadi pagi sudah diurus oleh Jiana. Entah darimana Raditya mengetahui hal tersebut.

"Doni bilang kamu menghentikan renovasi rumah, dan bilang…" Kalimat Raditya terjeda sesaat seraya mengurai emosi yang bercokol di dalam dada. "Kalau rumah itu sudah menjadi rumah kamu."

Pandangan Jiana kontan terlempar pada Raditya. "Bukankah itu benar? Apa aku tidak punya hak atas rumah itu? Ibu aku yang membelinya, kamu hanya merenovasi dan membeli furniture. Itu juga sebagian pakai uangku."

"Ma-maksud aku." Nada bicara Raditya memelan sambil memegang bahu Jiana. Namun, Jiana langsung menjauh dan tidak sudi disentuh oleh pria peselingkuh itu. "Jiana, rumah itu punya kita berdua. Tapi bukankah dari awal kita sudah sepakat kalau sertifikat rumah itu atas namaku selaku kepala keluarga?"

Jiana mendengus jengah. Matanya mendadak berair ketika menatap wajah pria yang sempat dicintai selama 7 tahun itu. Sungguh Jiana merasa sangat bodoh dan sudah membuang waktu tidak berguna. Alih-alih hubungan itu diakhiri dengan undangan, justru ditutup pengkhianatan.

Menelan saliva kemudian Jiana menghela napas kasar. "Ya, itu memang kesepakatan kita. Sebelum…." Dada Jiana mendadak terasa nyeri ketika teringat penyatuan cairan antara Raditya dengan wanita lain. "Sebelum aku melihatmu berselingkuh!"

"Se-selingkuh? Omong kosong apa ini?" Raditya terbeliak setelah mendengar penuturan Jiana. "Kamu jangan asal menuduh ya!"

Dengan tangan bergetar, Jiana menggulirkan jemari di layar ponsel untuk mencari foto yang sempat diambil malam itu. "Ini apa Radit! Ini apa!"

Raditya mengambil ponsel Jiana untuk memperbesar layar dan tersentak. la sudah tidak bisa beralasan sebab wajahnya terlihat jelas.

"Ternyata bukan persiapan pernikahan yang membuatmu ragu. Tapi ini! Perselingkuhan ini yang membuatmu selalu marah saat aku membicarakan pernikahan!"

"Oh! Jadi kamu udah mulai nggak percaya sama aku dan menguntit?" Tidak mau kalah, Raditya berusaha memutar balikkan pembicaraan. "Hubungan kita nggak akan berhasil kalau kamu diam-diam nggak percaya seperti ini!"

Jiana kehabisan kata-kata ketika sikap manipulatif Raditya semakin kentara. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya tumpah melindas pipi.

"Aku udah muak Jiana sama sikap kamu yang suka mengatur! Rasanya aku sesak setiap ketemu sama kamu! Hampir setiap menit yang kamu tanya cuma pernikahan! Aku capek Jiana!" seru Raditya yang semakin membuat Jiana mematung.

Air mata Jiana terus mengalir melindas pipi.  Paru-parunya seolah dihimpit dua bongkahan batu hingga kehabisan oksigen. Tangan Jiana meremas kuat-kuat.

Bukankah seharusnya Jiana yang marah? Bukankah ia yang sudah diselingkuhi dan dibodohi selama ini? Serentetan kalimat itu bermunculan di kepala Jiana.

"Ji, aku baru melakukan kesalahan satu kali." Raditya meraih tangan Jiana. " So… kita lupakan semuanya dan perbaiki hubungan ini."

Sepasang mata Jiana merangkak menatap Raditya sembari menghempaskan tangannya. "Kita akhiri saja disini. Aku bantu kamu menghilangkan rasa sesak itu!"

Dengan langkah gontai, Jiana mengayunkan langkah untuk pergi dari Raditya. Sayup suara panggilan Raditya melebur dengan udara. Jiana mengabaikannya. Pertahanan Jiana runtuh diikuti tangis yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi.

Semua perkataan Raditya seperti bencana susulan yang memporak-porandakan hati Jiana. Kaki Jiana terus mengayun tanpa tahu tujuan. la hanya ingin pergi sejauh-jauhnya dari Raditya.

Sementara itu dari kejauhan tampak Vian tengah merekam semua percakapan antara Jiana dan Raditya. Lalu salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas.

"Love is bullshit!" gumam Vian sambil bersedekap.

TO BE CONTINUED ….

Selamat siang, Lovelies. Kembali lagi dengan kisah dari Jiana dan Vian. Happy reading ^^

Touch Me Slowly, Mr. BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang