Mendengar namanya disebut, Vian berdecih kesal. "Sial."
"Hentikan, Vian." Jiana mendorong tubuh Vian dengan napas yang memburu. Ia segera menurunkan rok ketika jemari Vian terlepas dari lembah basah itu.
"Kita lanjutkan nanti." Vian mengedipkan matanya genit. Lalu ia menjilat cairan Jiana yang tersisa di jari. "Tetap di sini, jangan keluar sebelum aku pergi," tambahnya sambil menjatuhkan kecupan singkat di bibir Jiana.
Kepala Jiana mengangguk patuh. Ia berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik pohon sambil membiarkan Vian pergi.
"Dominic," panggil Vian menghampiri pria bertubuh jangkung itu.
"Tuan Vian, apa yang anda lakukan di sini?" tanya Dominic seraya memanjang leher, menelusur ke belakang punggung Vian.
"Hanya merokok. Sepertinya ada sesuatu yang harus diubah, Dominic." Vian merangkul Dominic untuk pergi dari taman samping itu.
Sesekali ia menoleh sebentar untuk memastikan Jiana segera pergi tanpa ketahuan. Lalu senyum tipis terbit ketika mendapati bayangan Jiana setengah berlari seperti kelinci. Menggemaskan sekali.
Sementara itu Jiana segera melesat menuju ke kamar mandi untuk menghapus jejaknya dari Dominic. Segera ia menutup pintu lalu berdiri di depan wastafel. Senyuman kembali merekah di wajah. Dada Jiana masih berdebar saat mengingat kejadian gila beberapa menit yang lalu. Ia lantas terkekeh. Semakin lama bersama Vian, Jiana mulai terbiasa dengan gaya bercintanya yang tidak biasa. Selain itu, hati Jiana seolah ditumbuhi bunga yang bermekaran. Ia sangat bahagia.
***
Setelah menempuh jarak udara selama 8 jam, Vian tidak membuang waktu untuk mengantarkan Jiana ke rumahnya.
"Kamu mengantarku ke rumah Ibu?" tanya Jiana sambil melemparkan tatapan pada pria di sebelahnya.
"Memangnya kamu mau pulang kemana? Ha?" Tangan Vian mencubit pipi Jiana gemas. "Pulanglah dulu, ibumu sudah menunggumu dari tadi."
Jiana menoleh dan mendapati sang ibu sedang berdiri di depan jendela dengan raut cemas. Selama tinggal di rumah Vian, Jiana meminta Rossie untuk berbohong kepada sang ibu. Menginformasikan jika Jiana menginap di rumahnya.
"Ibu tahu dari mana aku kembali dari Canberra hari ini?" tanya Jiana.
"Aku yang memberitahunya," jawab Vian mengaku.
Selama berada di Canberra, Vian selalu mengirim pesan pada Kenanga. Memberitahukan keadaan Jiana dan sesekali mengirim fotonya yang sedang berpose di tempat bersejarah Canberra.
Jiana bergeming sesaat. Matanya mulai berkaca-kaca saat melihat Kenanga yang menatap mobil mereka dari dalam rumah. Tampak harap-harap cemas.
"Cepat masuk, besok aku ajak kamu ke pasar malam lagi," tukas Vian seolah menyogok wanita itu agar mau pulang ke rumah.
"Benarkah?" Jiana menyodorkan tubuhnya pada Vian. Ia benar-benar sedang dimabuk cinta.
"Tentu saja. Kita belum sempat naik semua wahana di sana." Vian melanjutkan seraya mengelus puncak kepala Jiana. Jika diamati Jiana seperti Pororo dengan matanya yang bulat itu. Tinggal menambahkan kacamata bulat warna kuning saja.
"Janji." Jiana menyodorkan kelingking kepada Vian.
Vian terkekeh. "Seperti anak kecil aja sih," responnya yang kemudian menautkan kelingking di kelingking Jiana.
Senyuman merekah kembali menghiasi wajah Jiana yang berseri.
"Aku masuk dulu." Jiana membuka seatbelt lalu Kamaniya mengiyakan dengan anggukan kepala dan membiarkan wanita itu keluar.
Ia melambaikan tangan pada Jiana yang sesekali menoleh ke arahnya.
Nada pengingat pesan dari ponsel sejenak memecah perhatian Vian. Lantas ia menggulirkan layar untuk membuka pesan masuk. Nama Nawasena muncul di layar ponsel.
Tanpa membuang waktu, Vian melajukan mobilnya untuk menemui Nawasena.
Hanya membutuhkan waktu 20 menit bagi Vian untuk tiba di sebuah restoran yang menyediakan makanan khas Bali. Alunan musik yang dihasilkan dari rindik Bali, alat musik tradisional seolah membawa Vian ke suasana pedesaan.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Vian untuk mencari posisi Nawasena. Pria paruh baya itu terlihat mencolok dengan tampilan necis dan rambut klimis tersisir rapi ke belakang.
"Halo, Om," sambut Vian seraya mengulurkan tangan.
"Kamu sudah datang, Vian." Nawasena menyalami Vian. "Thanks, sudah meluangkan waktu buat Om."
"Don't worry, Om. Kebetulan aku juga ada waktu senggang," ucap Vian santai.
"Mau pesan sesuatu?" Nawasena berbasa-basi.
"Hot coffee."
Setelah memesankan minuman untuk Vian, Nawasena mulai memberikan tatapan yang lebih serius.
"Vian, ada yang ingin Om bicarakan."
"Sure. Pasti ada sesuatu yang penting sampai Om menghubungi aku terlebih dahulu." Vian melemparkan punggung ke sandaran kursi lalu menyilangkan kaki.
"Om tahu ini terkesan tidak tahu malu, tapi bisakah kamu mempertimbangkan Ruby kembali?"
Salah satu alis Vian tertarik ke atas lalu ia terkekeh. "Mempertimbangkan kembali?"
"Ruby sangat menyesal dengan kesalahannya Vian. Om yakin dia sudah mendapatkan pelajaran dan tidak akan mengulangi jika kamu memberikan dia kesempatan." Kecemasan seorang ayah tergurat jelas di wajah Nawasena. Sepertinya ia sudah kehabisan cara untuk menyelamatkan kedua putrinya.
"Hubunganku dan Ruby sudah tidak bisa diperbaiki lagi, Om. Kami sudah selesai," tandas Vian.
"Om tahu Ruby sudah keterlaluan. Itu semua salah Om karena terlalu memanjakan dia," terang Nawasena. "Cara didik Om salah sampai membuat Ruby semanja ini. Tapi Vian, kamu tahu jika Ruby adalah putri Om yang sangat berarti."
Vian meraih cangkir tehnya lalu menyeruput pelan. Setelah meletakkan ia mendesah. "Ah, lalu bagaimana dengan putri Om yang lain. Apakah dia juga begitu berarti untuk Om?"
Mendengar ucapan Vian, Nawasena tercengang. Selama ini ia menutup rapat fakta mengenai Jiana dari khalayak umum. Namun, bagaimana bisa?
"Om, cobalah untuk menyelesaikan masalah anda sendiri tanpa mengorbankan anak Om." Vian meluruskan punggung seraya membuka silangan kakinya. "Om harusnya tahu kalau putri Om yang lain juga sudah menderita selama ini. Alangkah lebih baik jika Om tidak menambah deritanya."
Nawasena terpaku, seperti kehilangan kata-kata.
Vian lalu beranjak dari duduknya. Sebelum melenggang pergi, ia berkata, "satu lagi, aku nggak akan bisa kembali dengan Ruby."
Mata Nawasena masih tertuju penuh pada punggung Vian yang berjalan semakin menjauh. Ia masih terkejut dengan penuturan pria muda itu.
"Ba-bagaimana bisa?" gumam Nawasena bingung. "Apa dia sudah tahu mengenai siapa Jiana?"
TO BE CONTINUED....
Selamat sore, Lovelies. Kisah Vian dan Jiana bisa kalian baca langsung di Karyakarsa yak ^^ Cukup follow dan kalian bisa baca GRATIS
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Me Slowly, Mr. Billionaire
RomanceADULT ROMANCE 21+ ADITAMA SERIES - VIAN BAIDURYA ADITAMA- BANYAK TERDAPAT ADEGAN VULGAR, MOHON BIJAK DALAM MENANGGAPI BACAAN. SESUAIKAN DENGAN UMUR! Jiana Valeria harus mengubur impian pernikahannya setelah melihat Raditya bercinta dengan wanita l...