Jiana terbangun dengan perasaan kebingungan yang mendalam. Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kamar yang tidak familiar baginya. Saat ia bangkit dari tempat tidur, ia terperanjat melihat bahwa tubuhnya memakai kemeja besar yang sepertinya milik Vian. Ingatan Jiana lantas melayang pada kejadian semalam, saat Vian dengan brutal merobek baju lalu mengigit puncak dada dan beradu dalam momen yang begitu intim.
"Astaga, sepertinya aku ketiduran," gumam Jiana seraya menyugar rambut. Well, lebih tepatnya kelelahan. Sebab semalam Vian benar -benar menggempur Jiana berulang kali. Entah sudah berapa banyak cairan Jiana meletus karena hentakan pria itu.
Jiana meraih kemeja yang jauh lebih besar dari ukurannya dan membiarkan busana itu meluncur dari bahu. Sesekali ia menghidu aroma maskulin Vian yang tersisa dalam kemeja tersebut. Rasa canggung pun terpesona menyeruak dari dalam hati secara serentak.
Sambil menahan perih di kedua paha, Jiana mengayunkan kaki turun dari ranjang. Dengan langkah perlahan, ia menjelajahi kamar yang seolah-olah tak ada habisnya.
Walking closet Vian terbuka di hadapan Jiana, dan berhasil dibuat tercengang oleh sebaris jam tangan mewah bertabur berlian yang berjejer manis. Mereka bersinar di dalam kotak kaca, seperti harta karun yang tersembunyi. Jiana mengamati setiap detail dengan kagum.
"Wow," seru Jiana terpana.
Kemeja hitam dan putih tergantung apik di lemari dengan lampu LED yang menyala otomatis ketika didekati. Tidak heran jika Vian kerap mengenakan warna kemeja yang sama. Pria itu hanya menyimpan warna netral untuk busananya.
Langkah Jiana terhenti, ketika menginjak sebuah pigura tergeletak di lantai. la merunduk untuk mengambil pigura tersebut. Senyuman Jiana tercetak ketika melihat potret Vian tersenyum manis dalam pangkuan sang ibu. Sementara itu di sebelahnya saudara kembar Vian, Jival hanya bengong menatap kamera. Bibir mungil bocah itu hampir menghilang dihimpit pipi gembul. Well, meskipun kembar Vian dan Jikal sangat berbeda, sebab mereka merupakan saudara kembar tidak identik.
Senyum Jiana perlahan surut, saat mengamati potret Vian dengan seksama. "Apa sebelumnya pernah bertemu? Wajah Vian ketika kecil seperti tidak asing bagiku."
Lantas arah bola mata Jiana teralihkan pada bocah laki -laki berusia sekitar tiga tahun duduk di sebelah Silvia. Jiana sempat mendengar celetukan karyawan hotel, jika Vian dan Jival memiliki kakak tiri. Ibu mereka sudah pernah menikah sebelum akhirnya menjadi istri kedua Aditama.
Aroma telur goreng yang harum, menarik atensi Jiana. la kemudian meletakkan pigura tersebut di atas meja rias dan memutuskan untuk turun mengikuti aroma masakan tersebut.
Ketika ia tiba di bawah, pemandangan yang lebih mengejutkan menantinya. Vian berdiri di dapur, tampak luar biasa tampan dengan kaus pendek putih yang memamerkan lengannya yang kuat dan celana pendek. Ini adalah tampilan yang sangat berbeda dari Vian yang biasanya serius dengan setelan jasnya.
Vian tersenyum hangat saat melihat Jiana dan menyambutnya dengan lembut, "Kamu sudah bangun? Turunlah, Aku sudah menyiapkan sarapan."
Jiana masih tercengang, tetapi kemudian tersenyum malu. "Selamat pagi." Spontan tangan Jiana mengeratkan kemeja yang membungkus tubuh.
Melihat tingkah Jiana, Vian mengulum senyum. "Nggak perlu ditutup, aku sudah melihatnya semalam."
Kontan ucapan Vian membuat wajah Jiana merona kemerahan. la membuang muka lalu menarik salah satu kursi untuk meletakkan bokongnya.
Mata Vian mengamati langkah Jiana. Entah mengapa pesona wanita dengan kemeja kedodoran dan rambut yang diikat tinggi itu bisa berlipat ganda. Apalagi wanitanya adalah Jiana. Semalam Vian membawa Jiana ke kamar ketika wanita itu terkulai lemas di sofa. Merasa empati dengan Jiana karena pernyataan dokter tentang kejadian tempo hari, membuat Vian berinisiatif untuk menyiapkan sarapan. Dokter tersebut berkata jika kemungkinan Jiana memikul trauma masa lalu yang hebat. Tidak berbeda dengan Vian. Well, atau anggap saja sarapan kali ini hadiah untuk kerja keras Jiana semalam.
"Makanlah," ucap Vian seraya menyajikan scramble egg lengkap dengan sosis dan roti panggang.
"Terima kasih," jawab Jiana canggung.
"You're welcome," jawab Vian sembari duduk di hadapan Jiana dengan tatapan intens ke arahnya.
Sial! Tatapan itu membuat jantung Jiana semakin berdebar tidak karuan. Otot tubuh mendadak kaku dan tidak berkutik.
"Ma-maaf."
Salah satu alis Vian terangkat, "untuk?"
"Soal pertanyaan itu. Seharusnya aku tidak bertanya hal yang sangat pribadi kepadamu." Jiana menjeda ucapannya sebentar sembari mengumpulkan keberanian untuk melihat Vian. "Setiap orang punya rahasia, termasuk aku."
"Apa rahasiamu?" tanya Vian dengan tatapan dalam - dalam ke arah Jiana.
Jiana tersentak dengan pertanyaan tiba- tiba itu. "Ra -rahasiaku?" ucapnya sambil meneguk saliva.
Vian mengambil sebuah apel lalu mengupasnya. "Kamu tidak perlu bercerita jika tidak ingin."
Hening beberapa waktu menyelimuti mereka berdua. Jiana meremas pinggir kemeja dengan kedua tangan di bawah meja. Kenangan kelam yang selama ini mengusik Jiana kembali berputar dalam benak.
"Waktu aku masih kecil, seorang wanita yang tidak aku kenal, membawaku ke sebuah rumah kosong." Jiana mulai bercerita, membuat gerakan mengupas Vian terhenti. Kemudian ia memberikan perhatian penuh pada Jiana.
"Aku tidak mengenal wanita itu, tetapi dia terus berteriak kepadaku." Tatapan Jiana tertuju lurus pada tembok sembari mengais memori masa lalunya. " Dia berkata kalau aku anak haram dan tidak seharusnya terlahir. Waktu itu aku tidak tahu apa itu anak haram. Sampai ketika aku dewasa, aku baru tahu jika mungkin saja ibuku adalah orang ketiga yang merusak keluarga wanita itu."
Buliran bening perlahan membasahi kedua pipi Jiana. Spontan, Vian menyodorkan sekotak tisu untuk Jiana.
"Ah, maafkan aku. Seharusnya aku tidak menangis." Jiana mengulas senyuman tipis seraya menghapus air mata.
"Lalu?" tanya Vian penasaran.
"Lalu wanita itu menggantung di depanku," lanjut Jiana. "Aku ketakutan, sampai akhirnya ada seorang anak laki-laki yang menolongku. Aku ingat lengan anak itu terluka karena pinggiran pagar. Dia membawaku keluar dari rumah itu. Kami berlari ke kantor polisi terdekat.
Tidak salah lagi, Jiana adalah bocah yang sama dengan kenangan Vian. Dulu Vian selalu berharap bisa bertemu dengan Jiana. Sebab sikapnya yang manis cukup membekas di ingatan Vian.
"Entah sekarang dia berada di mana. Aku harap dia akan baik-baik saja," tukas Jiana.
"Kejadian itu sudah lama, tapi kamu masih mengingat bocah itu?" tanya Vian penasaran. la kembali melanjutkan kupasan apelnya.
"Meskipun aku tidak terlalu mengingat wajahnya, tetapi aku tidak akan melupakannya."
"Kenapa?"
"Hmmm." Jiana berpikir sesaat kemudian mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, mungkin karena dia adalah cinta pertamaku."
Kalimat terakhir Jiana secara tidak sadar membuat jari Vian teriris. Darah merah segar lantas menetes membasahi meja.
"Vian!" teriak Jiana ketika melihat jari Vian berlumur darah. la segera beranjak mengambil tisu untuk dibalut ke jari Vian. "Kenapa kamu tidak hati-hati?"
Tidak berubah. Seperti itulah kekhawatiran Jiana ketika lengan Vian tergores pinggiran pagar beberapa tahun silam. Tidak salah lagi, Jiana adalah bocah masa lalu Vian.
TO BE CONTINUED....
Halo, Lovelies. Maaf ya lama update-nya 😁 selamat membaca bab ini
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Me Slowly, Mr. Billionaire
RomanceADULT ROMANCE 21+ ADITAMA SERIES - VIAN BAIDURYA ADITAMA- BANYAK TERDAPAT ADEGAN VULGAR, MOHON BIJAK DALAM MENANGGAPI BACAAN. SESUAIKAN DENGAN UMUR! Jiana Valeria harus mengubur impian pernikahannya setelah melihat Raditya bercinta dengan wanita l...