Bab 28

89 8 13
                                    

Cecilia harap para penyihir tidak kelabakan mencari mereka. Dirinya dan Connor pergi pagi-pagi sekali sebelum siapapun sadar. Mereka hanya menitipkan pesan pada salah satu pengawal yang berjaga, kalau-kalau ada yang mencari mereka.

Mula-mula Cecilia dan Connor pergi ke desa sebelah terlebih dahulu. Kebetulan, Vira pun tengah menginap di rumah adiknya, menjadi orang yang membuka pintu dan pertama menyambut Cecilia. Di dalam, dia dan Servi sedang bersiap-siap. Connor pasti telah membuat janji dengan mereka sejak kemarin siang.

"Aku sudah dengar apa yang terjadi." Vira menepuk-nepuk lengan Cecilia agak keras, menyalurkan kebanggaan yang membara dalam dirinya. "Kau cocok menjadi ksatria. Bisakah kau bertarung, Cecil?"

"Vira, jangan mulai," tegur Connor.

"Espen pernah mengajariku cara meninju," cerita Cecilia, "tapi aku lebih suka melilit mereka dengan sulurku."

"Hoho, ganas juga kau rupanya." Vira mengangguk-angguk penuh persetujuan. "Pertimbangkan untuk melatih kekuatanmu lebih intens, dan kau akan punya banyak keuntungan jika dihadapkan dengan pertarungan."

Connor memutar bola matanya. "Tidak akan ada pertarungan dan adikku tidak akan melawan siapa-siapa. Sekarang, bisakah kalian bersiap lebih cepat?"

Servi dan Vira mendecakkan lidah secara bersamaan, lalu mengambil sepatu mereka dengan gerakan yang serempak pula. Jika dilihat-lihat, kelihatannya usia di antara mereka terpaut tidak begitu jauh, belum lagi dengan fitur wajah yang mirip, hanya berbeda di tatanan rambut dan bentuk mata. Tapi Espen dan Freya juga kelihatan hampir seusia, padahal umur mereka begitu jauh.

"Cecil, kenapa tidak kau panggil Espen?" suruh Servi. Dia dan kakaknya berkutat dengan tali sepatu lama-lama, sengaja ingin membuat Connor jengkel. "Suruh dia bersiap sebelum kakakmu merecokinya juga."

Cecilia baru saja keluar dan setengah menuruni tangga—bahkan dia masih bisa mendengar ocehan Connor—ketika dirinya teringat mengenai pertemuan terakhirnya dengan Espen.

Ingatkah dia soal itu? Cecilia bertanya-tanya dalam hatinya. Seharusnya Espen tidak ingat, atau hanya mengingat secara samar, terlebih dalam kondisi setengah sadar seperti itu. Tapi, sekadar memikirkannya membuat degup jantung Cecilia begitu keras hingga dia takut seisi desa bisa mendengarnya.

Pintu rumah Espen sudah terbuka ketika Cecilia naik ke atas. Begitu tiba di teras depan, terlihat sang penghuni rumah sedang duduk di kursinya dan berkutat dengan sebuah tas selempang kecil. Pasti dia sudah mendengar kedatangan seseorang sehingga matanya tertuju ke tangga, menantikan kemunculan sang tamu. Sewaktu melihat Cecilia, pemuda itu terdiam, seperti tidak yakin dengan matanya sendiri.

Cecilia menghela napasnya yang sedikit terengah. "Kau sudah tahu kita akan pergi?"

Espen mengenakan tas jeraminya dan berdiri. "Kakakmu sudah mengajak kami sejak kemarin."

Muncullah saat-saat hening ketika keduanya tidak bicara, tapi masih bertukar tatapan, seakan saling menunggu satu sama lain untuk memulai percakapan duluan. Tatapan Espen seperti rasa gatal yang tidak jelas sumbernya, membuat Cecilia ingin menggaruk untuk mengusir sensasi tersebut tapi bingung bagian mana yang harus digaruk.

Mungkin bagian pipinya, karena wajahnya terasa geli di bawah tatapan Espen. Terasa gelenyar samar di sepanjang tulang punggungnya ketika mengingat sentuhan Espen kemarin, membuat Cecilia bergidik diam-diam.

"Kau sudah sembuh?" Cecilia mencoba berbasa-basi.

Salah satu alis Espen berkendut samar. "Berkat seseorang."

Sambil memasang wajah lega, Cecilia mengangguk-angguk. "Aku harus berterima kasih pada seseorang itu atau aku akan merasa bersalah."

"Entah mengapa aku merasa kau tahu siapa orang yang berbaik hati ini," Espen memakukan pandangannya ke Cecilia. Tangannya dilipat di depan dada. "Berkenan memberi tahunya?"

The Cursed Blessing [#2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang