Epilog

161 12 12
                                    

⚠️TW: Terdapat pembahasan soal kematian dan percobaan mengakhiri nyawa yang kemungkinan membuat sebagian pembaca merasa tidak nyaman.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Cecilia tersadar pada suatu pagi yang dingin dan berjalan keluar seorang diri. Di tangannya, dia membawa serta sebuah belati yang diambil diam-diam dari Espen.

Semua orang kelelahan gara-gara merawatnya sampai melupakan tugas jaga. Maka dari itu tidak sulit bagi Cecilia untuk menyelinap keluar, tidak mempedulikan tubuhnya yang masih hangat karena demam. Digenggamnya belati dengan lebih erat, mencari tempat yang sepi agar tidak mengganggu siapa pun.

Begitu menemukan lokasi yang sesuai, Cecilia mengeluarkan belati dari sarungnya. Diamatinya pantulan diri yang tidak lagi dikenali pada bilah belati itu. Sesosok gadis gila dengan rambut lepek dan wajah penuh noda tanah.

Gadis yang seharusnya tidak pernah hidup.

Cecilia merasakan tusukan dari belakang bola matanya sebelum air matanya lagi-lagi mengalir. Bagian bawah matanya telah terasa pedih saat dia mengusapnya, tetapi dirinya tidak bisa berhenti memikirkan Connor, atau kenyataan bahwa dialah yang seharusnya mati.

Connor. Kakak yang baik dan anak yang luar biasa. Putra pertama yang disayangi, yang begitu beruntung bisa menerima cinta orang tuanya. Yang begitu murah hati sampai bersedia menerima kelahiran sang adik walau itu merenggut Mama darinya. Kenapa orang sebaik dirinya harus pergi?

Cecilia memegangi bilah kedua belati itu dengan tangannya. Dia memejamkan mata, membayangkan betapa dunia ini akan menjadi indah bila dia tidak pernah hadir.

Lalu namanya dipanggil.

"CECILIA!"

Tersentak mendengar teriakan tersebut, Cecilia menjatuhkan belatinya. Dia baru saja berbalik dan tubuhnya telah ditabrak, dipeluk begitu erat oleh Dion.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Dion dan Papa tiba tak lama setelah Cecilia pergi. Sang adik mencarinya saat sadar Cecilia tidak ada di dalam gua, berbekal bantuan jejak kaki yang masih tercetak jelas di tanah bersalju.

Ketika kembali ke gua, Cecilia mendapati Papa telah berada di samping Connor. Tidak ada air mata atau raungan marah. Hanya ada keheningan, dikelilingi orang-orang yang ada di sana. Dion pun hanya mengamati Connor dari jauh dalam diam, tidak bertanya sama sekali walau sempat terkesiap dan terperangah begitu menyadari kakak tertuanya telah tiada. Dia memeluk lengan Cecilia begitu erat tanpa berniat melepasnya.

Espen berjalan ke arah mereka dan menyampirkannya selimut ke sekitar pundak Cecilia. Pria itu bahkan tidak bertanya walau wajahnya mengerut, barangkali sangat ingin memarahi Cecilia. Sambil berjuang membungkam mulutnya sendiri, pemuda itu meraih tangan Cecilia dan menggosoknya berkali-kali agar lebih hangat.

Papa menoleh ke belakang dan Cecilia tidak bisa berbuat apa-apa sewaktu bersitatap dengan ayahnya. Dia tahu kakinya melemah dan dirinya jatuh bersimpuh. Sekujur tubuhnya gemetaran akibat tangisan yang ditahan-tahan.

"Maafkan aku," Cecilia memohon. Kedua tangannya meremas tanah. "Aku tahu aku tidak berguna, aku tidak bisa menjaganya."

Dion memanggil namanya dari samping, mencoba menariknya bangun dari posisi bersujud. Akan tetapi tidak ada yang bisa menggerakkan Cecilia. Tidak mungkin ada yang bisa memaafkannya atas semua dosa ini.

Seharusnya aku yang mati, Cecilia ingin mengucapkan itu. Sebuah tarikan kasar memaksanya bangun dan dia memaksa matanya tetap terbuka, bersiap menerima pukulan dari ayahnya.

The Cursed Blessing [#2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang