Chapter ini lumayan panjang jadi baca nya santai aja yaa ...
•••
Jiwoong sangat berat hati akan meninggalkan Matthew dalam beberapa waktu ini. Bagaimana jika ada hal yang di luar kendalinya terjadi pada Matthew?
Hal semacam itulah yang di takuti oleh Jiwoong. Seharusnya ia tak boleh berfikir seperti itu, hanya saja berpura pura tak mengingat perasaan akan hal itu juga tak mudah untuk ia tepis begitu saja.
Untuk beberapa saat Jiwoong hanya diam di tepi ranjang dengan perasaan yang campur aduk. Disatu sisi ia tak ingin membangunkan Matthew di satu sisi lainnya ia harus memberitahu garis besar pada Matthew akan keberangkatannya ke Sao Paolo.
Apakah sebaiknya ia menitipkan pada temannya sementara waktu? Bagaimana jika justru menjadi bom waktu.
Rasa ketakutan masih terlalu tinggi ia rasakan.
Hingga ...
Tangan terulur yang tiba tiba saja menggenggam tangan Jiwoong.
Matthew tengah menatap Jiwoong dengan seksama.
"Siapa kau sebenarnya? Aku harus mengetahui nya agar aku tak salah paham denganmu."
Kalimat pertama yang meluncur begitu saja pertama kali dari belah bibir Matthew.
Sontak Jiwoong menatap ke arah Matthew.
"Kau sudah bangun? Aku membangunkan mu?"
Matthew menghela nafas nya sejenak, sebelum mendudukkan tubuhnya.
"Tak usah pedulikan itu, tetapi tolong jawab pertanyaan ku sebelumnya."
Jiwoong terdiam. Ia di puncak kebimbangan. Ia tak tahu apa yang sebaiknya ia katakan pada Matthew dan tidak.
"Ka..-kau seperti bom waktu Matt. Sejujur nya aku tak berniat menculikmu seperti ini, hanya ini satu satu nya jalan agar kau tak terbunuh dari ayahku."
Hening...
Matthew membulatkan maniknya dan perlahan melepaskan tangannya dari Jiwoong.
Rasa takut tentu saja menyerang nya saat ini, karena bagaimana pun juga Matthew terkejut dengan kata 'terbunuh'.
Bukankah artinya ia tengah di cari? Mengapa ia hendak di bunuh?
"A..-apa alasan nya aku hendak di bunuh? Aku memiliki kesalahan?"
"Bukan kau yang salah, tetapi ayah kandungmu—Kim Minseok."
Matthew semakin menegang.
Peluh keringat mulai membanjiri keningnya. Sungguh ia tak menyangka akan mendengar nama itu ketika ia sudah lama tak mendengar nama itu, karena hati kecil nya ia meraaa 'dibuang'.
"Aku bukan putranya," ujar Matthew mengepalkan tangannya berusaha menahan kekesalannya.
Masih ingat betul dalam ingatannya akan sosok sang ayah yang meninggalkannya begitu saja, beruntung ia bertemu dengan seorang pria paruh baya yang baik hati dan dirinya diangkat menjadi anak nya.
Jiwoong tersenyum kecil.
"Baiklah, anggap saja ucapan mu benar, karena aku juga telah berusaha memusnahkan data datamu yang tersisa, dan semoga saja ayahku mempercayai Kim Woohyun telah mati."