Tanpa terasa, satu hari terlewati begitu saja. Uli hanya duduk di ruangannya dan berkutat dengan data hasil analisa dari laboratorium mikrobiologi dan dengan segera, waktu sudah menunjukkan pukul lima. Ia berniat mampir ke area kampusnya dulu untuk membeli makanan di sana. Ia berjalan santai menuju mesin presensi, ketika satu panggilan masuk ke ponselnya.
"Udah mau pulang?"
Uli mengangguk sebelum menjawab, "Iya. Baru keluar ruangan."
"Mau langsung pulang atau jajan dulu?"
Uli tersenyum. Setelah mendengar pertanyaan abangnya, ia menjawab dengan semangat, "Mau jajan di deket kampus."
"Kampus Abang?"
Uli melakukan presensi sidik jari, kemudian ia tertawa kecil. "Kampus aku juga. Emangnya Abang doang yang kuliah di sana?"
Petra turut tertawa. "Mau dijemput?"
Uli memang sangat jarang membawa kendaraan pribadi. Biasanya ia diantar jemput oleh Petra atau Bapak, kalau sudah kepepet dan tidak ada pilihan lain, kadang ia juga diantar jemput oleh Pattar. Sebenarnya Uli bisa membawa kendaraan sendiri, tetapi lahir di keluarga yang dipenuhi laki-laki, seringkali Uli diperlakukan layaknya tuan putri.
"Enggak usah, ketemu di sana aja. Capek Abang bolak-balik." Gadis berpakaian dinas cokelat itu memilih untuk duduk sejenak di lobi kantornya. "Katanya mau lembur? Nggak jadi?"
"Nggak jadi, Prof. Adi tiba-tiba ada urusan, nggak jadi rapat. Kamu lagi pengen sesuatu?"
Uli mengerutkan dahi dan melipat tangan di dada. "Pengen mantan."
"Aku udah denger ceritanya dari Pattar, ...." Suara Petra terdengar terbata. Ada kekecewaan yang terdengar dari suaranya.
Uli langsung tertawa. "Si Kampret cerita apa? Bukan mantan yang itu, Abang. Mangga ketan maksudnya."
Terdengar suara Petra menghela napas lega. "Ah, kirain."
Uli segera membuka aplikasi ojek online dan memesan saat itu juga. "Ketemu di sana aja, ya? Aku udah pesan ojek. Udah bilang Bapak juga kalo pulang sama Abang."
"Yakin, nggak usah dijemput?"
Uli kembali tertawa. "Abang, aku udah 26 tahun lebih banyak. Bukan anak SD yang harus dianter jemput terus. Udah, ah. Aku tutup teleponnya."
Jarak kantor Uli dan kampus tidak begitu jauh, hanya butuh waktu sepuluh menit untuk tiba di area kuliner kampus. Tanpa menunggu Petra, gadis yang menggulung rambut itu langsung menuju tempat penjual mantan alias mangga ketan.
Mangga ketan adalah salah satu makanan kesukaan Uli. Makanan itu viral tepat sebelum masa kelulusannya dari kampus. Hal itu membuat Uli sering bolak-balik ke kampus meski tidak lagi menyandang status mahasiswa. Yang membuatnya jatuh cinta pada makanan itu adalah mangga manis. Sejak kecil, Uli memang sangat suka mangga. Seringkali Uli, Pattar dan Petra melakukan pencurian berencana pada mangga tetangga. Biasanya, Uli akan jadi inisiator dan juga eksekutor. Pattar sebagai penadah sekaligus penganggung jawab area. Sedangkan Petra, biasanya hanya bisa pasrah mengikuti kedua adiknya yang sering banyak tingkah.
Uli memesan dua mangga ketan dan menonton penyajian makanan tersebut dengan wajah yang semringah. Ketika ia menerima nampan berisi dua mangga ketan, tubuhnya berjingkrak sedikit karena kegirangan, tetapi begitu berbalik. Ia langsung membeku. Matanya bergetar. Kakinya tidak bisa bergerak seolah-olah ada paku besar yang menahan gerakannya untuk melarikan diri dari sana.
Dua pasang mata itu terkunci satu sama lain. Menikmati waktu yang terasa terhenti hanya untuk mereka sendiri. Dengan gerakan kelewat lambat, Uli bisa melihat seorang laki-laki berwajah sangat familier berjalan menghampirinya. Sebuah senyum yang sudah dua tahun tidak ia lihat secara langsung, kini nyata berada di depannya.
"Apa kabar, ... Uli?"
Pertanyaan serupa yang membuat Uli menangis tempo hari, kini mampu membuatnya oleng dan hampir menumpahkan isi nampannya. Beruntung, laki-laki berkulit pucat itu segera menahan nampan tersebut dan berhasil menyelamatkan dua mangga ketan yang ada di atasnya.
"Hati-hati." Laki-laki bermata sipit itu langsung mengambil alih nampan dan kembali tersenyum. "Mau duduk di mana?"
Uli masih tidak meninggalkan tempatnya. Ia malah hanya memandangi punggung mantan terindahnya itu.
"Uli? Duduk bareng, mau?" Laki-laki berbibir tipis itu bertanya dengan nada kelewat lembut. Seperti yang sudah-sudah, ia selalu meminta pendapat Uli sebelum melakukan sesuatu.
Entah mengapa, kombinasi suara dan senyum Nael bisa membuat Uli sempoyongan. Ia merasa ingin salto sekarang juga. Sepertinya gadis bermata besar itu harus melakukan segala macam cara agar kewarasannya kembali. Bukannya menolak demi menjaga kondisi hatinya yang hampir goyah, Uli malah melakukan kebalikannya. Ia mengangguk pelan.
Nael tersenyum hingga matanya membentuk garis lurus. "Ayo."
Uli melangkah mengikuti laki-laki yang telah mengambil alih nampan, juga hatinya.
Begitu tiba di meja yang sebelumnya ditempati Nael, gadis berpakaian dinas itu duduk kaku seperti menghadap pimpinan di kantornya.
Berbeda dengan Uli yang panas dingin dan gugup, Nael malah kelihatan santai. "Mau ketemu sama Bang Petra?"
Uli mengangguk.
"Udah lama nggak ketemu." Nael menopang dagu dengan tangan kanannya. Ia menatap Uli selama mungkin, kemudian tersenyum. "Seneng liat kamu kelihatan baik-baik aja."
Uli mengumpulkan semua keberaniannya untuk tersenyum selebar mungkin. Ia bicara dengan suara yang agak gemetar sedikit. "Seneng juga liat kamu baik-baik aja."
Nael tidak lagi menopang dagunya. Kini tangan kirinya diletakkan di meja. Tangan kanannya mengaduk mangga ketan. "Sebenernya nggak baik-baik aja."
Kecanggungan sempat memenuhi ruangan itu. Uli terus berharap agar Petra segera muncul untuk menyelamatkannya.
"Ngomong-ngomong, kamu udah nikah?" Pertanyaan itu diajukan Nael tepat ketika Uli baru menyuapkan suapan pertamanya.
Uli batal mengunyah. Ia hampir terbatuk. Untungnya ia bisa mengendalikan diri. Dengan cepat, Nael langsung menyerahkan tisu padanya.
"Maaf, kalo pertanyaannya bikin kamu kaget, tapi jujur, aku penasaran. Gimana hidup kamu setelah, ... ya, kamu tahu."
Uli tersenyum canggung, kemudian menggeleng.
"Kalo pacar?" Entah ada apa gerangan, Nael tiba-tiba bersemangat. Ada kilat menggebu-gebu di matanya. "Bapak masih mau kamu sama cowok Batak?"
"Ya, gitu." Uli mulai celingak-celinguk menanti kedatangan Petra.
Nael menghela napas pelan. Laki-laki berkaus putih dilapisi kemeja kotak-kotak itu kelihatan kecewa. Hanya dengan sekali lihat, Uli tahu kalau laki-laki itu kecewa.
Nael menunduk dalam. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tangannya sibuk mengaduk mangga ketan yang tersisa sedikit.
Sadar kalau mantannya itu kehilangan semangat, Uli berinisiatif mencari topik pembicaraan. "Kalo kamu? Masih sendiri?"
Nael mendongak. Gerakannya terasa lambat. Sangat lambat hingga Uli bisa melihat tahi lalat di dekat bibir dan di bawah mata laki-laki itu.
"Kayak yang kamu lihat sekarang. Kalo aku punya pacar, ngapain aku makan mangga ketan sendirian di tempat favorit mantanku?"
Ada yang meleleh di hati Uli. Hanya dengan melihat sorot mata teduh yang dipancarkan Nael, gadis berambut tergulung itu sudah ingin nekat membawanya ke rumah sebagai calon menantu Bapak, tetapi apa boleh buat? Nael dan latar belakangnya akan tetap menjadi nilai minus di mata Bapak.
"Jangan buat alasan yang bikin aku ngerasa bersalah. Kamu juga suka mantan." Uli berusaha bercanda dengan kondisi yang sebenarnya ia tahu tidak bisa ditolong lagi hanya dengan bercanda.
"Nggak perlu ngerasa bersalah." Nael tersenyum, kemudian ia menatap Uli dengan tatapan hangat. "Ayo, kita temenan lagi."
"Hah?"
"Kamu nggak capek? Tanpa sadar, kita udah menghindar satu sama lain." Nael menjeda kalimatnya. "Selama dua tahun."
Uli menyambut uluran tangan Nael, kemudian keduanya tersenyum.
Hanya berteman, seharusnya tidak akan terjadi apa-apa, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️
Romance"Jadi, kapan kita pesta? Umurmu sudah 27 tahun." Bahaya! Pertanyaan yang selama ini dianggap keramat, akhirnya keluar juga dari mulut Bapak. Pertanyaan itu dilanjut sesi ceramah panjang tentang kriteria calon menantu yang semakin didengar malah sema...