16. Kado Ulang Tahun

81 11 2
                                    

Setelah lama bengong di ruangannya akibat datang terlalu pagi, akhirnya Uli memilih beranjak dan berjalan-jalan mengelilingi kantornya. Tidak lupa ia membawa bungkusan kecil makanan kucing yang memang sering ia bawa kemana-mana. Begitu tiba di taman, ia langsung meletakkan makanan kucing di mangkuk yang memang ada di sana. Tidak lama kemudian, seekor kucing muncul dan makan dengan tenang. Uli masih berjongkok di sana hingga satu suara mengalihkan perhatiannya.

"Tumben pagi-pagi udah nongkrong di sini?"

Uli menoleh dan tersenyum. Ia melihat salah satu rekan kerjanya yang memang sudah jadi budak permanen bagi kucing-kucing yang ada di kantornya. "Kepagian, bosen di ruangan. Belum ada kerjaan juga."

Wanita yang mengenakan name tag serupa dengan Uli itu langsung mengangguk paham dan menghela napas kemudian. "Lagi menghindari seseorang?"

"Kok, bisa tahu?" Uli melongo sempurna.

"Pangeran kodok lo ada di lobi pas gue dateng. Dia keliatan kaget pas satpam bilang lo udah dateng."

Tanpa pikir panjang, Uli langsung bangkit berdiri dan menjulurkan kepala serta menyipitkan mata untuk mencari objek yang tengah mereka bicarakan.

"Udah balik orangnya." Wanita itu tertawa ketika melihat Uli menghela napas kecewa. "Lagi berantem?"

Uli menggeleng. Ia juga bingung apa sebenarnya yang ia hindari?

"Seumur-umur, baru ini gue liat ada cowok yang effort-nya nggak main-main kayak pangeran kodok lo."

Uli menoleh dan meniup poni. "Nggak main-main gimana maksudnya?"

"Cowok mana yang tiap pagi dateng cuma buat ngasih sarapan dan nggak pernah maksa buat ketemu lo? Gue curiga pangeran kodok lo itu punya kerjaan sampingan jadi kurir anter sarapan. Ini anak sekantor, semua kenal sama dia padahal nggak semua kenal sama lo? Kurang effort apa coba?"

"Dia emang punya hobi bagi-bagi makanan. Dari zaman kuliah juga, tiap Jumat seneng banget ikutan bagi-bagi nasi kotak padahal dia nggak solat Jumat."

Uli teringat masa-masa kuliahnya dengan Nael. Ia jadi sering ikut berjemur di bawah panasnya matahari untuk menemani pacarnya yang punya hobi agak lain dibanding cowok-cowok pada umumnya. Selain doyan mentraktir Uli plus sekompi teman-temannya, kebiasaan Nael yang satu itu juga jadi salah satu alasan yang membuat Uli jatuh cinta berkali-kali pada Nael.

"Pasti dari keluarga utuh, ya? Anaknya baik banget gitu."

Uli tersenyum canggung. Tidak semua anak baik lahir dari keluarga utuh. Keluarga Nael terlihat baik-baik saja, tetapi ia adalah anak broken home. Nael dibesarkan oleh kakek dan neneknya karena kedua orang tuanya berpisah dan membangun keluarga baru. Hal ini juga yang membuat Bapak menolak keras Nael sebagai menantu.

Menurut Bapak dan keluarga besar Uli, pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup dan yang dapat memisahkan pasangan hanya maut. Perceraian dianggap hal yang tidak baik. Sebenarnya, Uli tidak begitu setuju dengan pandangan keluarganya tentang perceraian, tetapi ia tidak bisa menyuarakan pendapatnya dengan lantang demi menghormati orang tua dan keluarganya.

"Keluarganya emang baik banget." Uli tidak berbohong. Keluarga Nael sangat baik, bahkan Uli pernah bertemu beberapa kerabatnya dan Uli diperlakukan dengan sangat baik. "Kalo Nael Batak, kayaknya gue udah nikah terus punya anak, deh."

"Memangnya harus sama Batak banget? Bapak lo nggak bisa di nego?"

Uli menghela napas berat. "Kalo Bapak gue bisa dinego, keluarga besar gue bakalan turun tangan buat nolak. Berani jamin gue, mah."

"Terus masih mau lo lanjutin sama Nael?"

Uli tidak pernah menyangka kalau satu pertanyaan sederhana itu mampu membuatnya tercekat. Kata-kata di tenggorokannya seolah-olah tertahan dan mulutnya terbungkam sempurna.

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang