26. Akhirnya

295 20 3
                                    

Tidak ada alasan untuk Uli berpura-pura baik-baik saja. Ia berdiri di depan Nael yang juga bangkit berdiri karena tokoh utama yang dibicarakan malah muncul begitu saja. Uli menangis sejadi-jadinya, ia menatap laki-laki berwajah oriental yang ada di hadapannya.

Hampir saja Nael menarik Uli dalam pelukan, tetapi demi menjaga kepercayaan calon mertua, laki-laki berkemeja biru itu hanya bisa menghentikan gerakannya dan menatap Bapak sambil meminta izin. Akibat tindakannya yang ragu-ragu, Mamak maju lebih dulu.

Tangis Uli malah mereda begitu Mamak memeluknya, kemudian ia memberanikan diri untuk bicara. Dengan suara yang masih bergetar, gadis berbibir tebal itu bicara, "Bapak, tolong kasih kesempatan buat kami. Bapak tahu kami nggak main-main, kan?"

Meski tatapan Bapak sudah melunak, kata-kata yang keluar dari mulutnya malah tidak ramah sama sekali. Pria bertubuh tambun itu berdeham, kelihatan cukup bersusah payah untuk menyampaikan kalimatnya. "Kamu masuk ke kamar dulu, ya, Nang. Biar Bapak selesaikan dulu ngomong sama Nael."

Uli hampir protes kalau saja Nael tidak menarik tangannya pelan dan menggenggamnya sebentar. Hanya tiga detik, seluruh emosi yang bergejolak di dada Uli langsung luruh tak bersisa. Uli dan Nael sempat bertukar tatap sejenak. Hanya dari tatapan mata itu, Uli tahu kalau Nael hanya membutuhkan semangat darinya, tidak lebih.

Tatapan Uli berpindah pada Bapak. "Pak, tolong jangan sakitin Nael lagi."

Setelah mengatakan hal itu, Uli masuk ke kamarnya dan menutup pintunya rapat. Tanpa penjelasan, Bapak sudah pasti tahu arti kata 'lagi' yang Uli ucapkan. Ia percaya, Nael yang sekarang pasti bisa mengatasi masalah lebih bijak dari sebelumnya.

Uli melepaskan seragamnya dan berganti menjadi pakaian santai. Baru juga beberapa menit berlalu, pintunya sudah diketuk. Dari jenis ketukannya, Uli tahu kalau Mamak yang berada di balik pintu.

"Dipanggil Bapak kau, Nang."

Uli agak kaget, tetapi tetap langsung menunaikan panggilan Bapak untuk menghadap. Gadis yang sudah mengenakan baju tidur itu langsung duduk di hadapan Bapak dan Mamak yang sudah duduk berdampingan.

"Sekarang, kaulah Bapak tanya. Gimananya menurutmu Si Nael itu?"

Satu alis Uli langsung terangkat. Dahinya ikut mengkerut. "Gimana apanya, Pak?"

"Sifatnya, tingkahnya, mau dia marah sama kau?" Bapak bertanya, nadanya cukup menusuk dan mampu membuat Uli agak goyah sedikit.

Uli meremas ujung bajunya dan memberanikan diri bicara. "Kalau aku jelaskan sama Bapak, memangnya bakal mengubah fakta kalau Nael nggak punya marga?"

Bukannya menjawab, Bapak malah menghela napas. "Masih sukanya kau sama dia?"

Kalau untuk pertanyaan yang satu itu, gadis berbibir tipis itu tidak perlu mengarang bebas karena jawabannya adalah pasti. "Masih. Bukannya berkurang, malah bertambah karena aku dengar semua obrolan kalian tadi."

"Oke."

Oke? Uli bertanya-tanya. Apa maksud arti kata oke yang disebutkan Bapak barusan.

"Jadi, gini, Nang. Ini Bapak jujur sama kau karena kau udah jujur sama Bapak." Bapak yang sebelumnya duduk tegak, kini memajukan posisinya untuk mendekat pada putri semata wayangnya. "Bukannya Bapak nggak suka sama Nael, masalahnya Nael itu bukan orang Batak. Kau boru sasada. Cuma satunya keturunan Bapak, nggak bisa kau meneruskan marga, kalo nggak Batak suamimu, mana bisa punya marga nanti anakmu. Kalo kayak gitunya, berarti kaulah keturunan terakhir dari Bapak."

Uli menghela napas berat. "Aku tahu, Pak. Nael siap mengikuti adat Batak. Dia mau beli marga. Dia mau diadatin pakai adat Batak."

"Maunya dia? Kalo dari ceritanya, dia anak tunggal dari orang tuanya. Setahu Bapak, adatnya cina juga kuat, lho, Nang. Nggak bisa kita buat dia jadi Batak. Sakit hatilah nanti opungnya."

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang