3. Pertanyaan Bapak

165 28 2
                                    

Pesta pernikahan pariban kandung stok terakhirnya Uli membuat gadis bermata besar itu mengalami kelelahan parah. Satu minggu sebelum acara, Uli, Petra dan Pattar sudah dibuat sibuk karena mereka kebagian tugas untuk menukarkan uang untuk keperluan acara adat, memasukkannya ke dalam amplop, mengurusi seragam keluarga besar, membagi tugas pada sepupu-sepupunya yang lain, memastikan semua anggota keluarga mendapatkan tempat penginapan dan terasportasi, juga memastikan hadiah paket liburan untuk pengantin baru, siap dan tidak ada kekurangan apapun. Urusan lainnya sudah diurus oleh wedding organizer. 

Uli dan sepupu kembarnya ketiban tugas mengurusi itu semua karena mereka adalah anggota keluarga inti yang belum menikah. Uli sebenarnya senang-senang saja, tetapi yang membuatnya tidak senang adalah roasting dari keluarganya sendiri. Setelah pesta, keluarga besar kembali ke kediaman Amangboru alias orang tua pengantin untuk lanjut makan malam bersama dan mengadakan syukuran sekaligus memberi wejangan pada pengantin baru. Sialnya, Uli juga jadi ikut-ikutan dapat wejangan. Berbagai jenis wejangan bagi gadis yang belum menikah diterima Uli meski harus bertarung dengan mata yang sudah mengantuk. Tidak tanggung-tanggung, wejangan itu berakhir ketika ayam berkokok. 

Uli baru saja menarik kembali selimutnya ketika Mamak masuk ke kamar dan membuka hordeng kuat-kuat. "Uli, jam berapa ini, nggak gereja lagi kau?"

Gadis berbaju tidur itu menggeliat dan kembali tidur.

Satu pukulan mendarat di paha Uli. "Udah berapa kali Mamak bilang, anak gadis nggak boleh bangun siang."

"Ah, Mak. Masih capek aku. Libur dulu gerejanya."

"Amang tahe, banyak kali alasan kau. Kalo masih bisa kau jawab Mamak, sehat berarti. Ayo, cepat. Kalo nggak gereja kau, Mamak buang semua bukumu itu, ya." Mamak kembali melayangkan pukulan di paha anak semata wayangnya. 

Uli langsung mengacak rambut dan bangkit duduk dengan cepat. "Mamak nggak ngerti, lho, capek aku ini."

"Kau kira kau aja yang capek? Mamak lebih capek lagi. Kau, duduk-duduk aja-nya kerjamu di pesta, capek kau bilang." 

Sebuah tinju melayang ke udara karena Uli tidak mampu lagi menahan emosinya. 

"Oh, mau melawan kau?"

Uli mendengkus. "Nggak melawan, cuma kesal aja."

Mamak menatap anak semata wayangnya, kemudian tatapannya berubah setelah mereka bertukar tatap beberapa detik. Mamak yang tadinya berkacak pinggang, kini mengubah posisinya dan duduk di tepi ranjang Uli. "Yang pusing-nya kau karena omongan yang semalam itu?"

"Nggak pusing, cuma capek aja. Kenapa cuma aku yang diserang sampe pagi? Bang Petra sama Si Kampret, ..., " Uli menutup mulutnya, "maksudnya Pattar, nggak ada yang disinggung gitu. Lagian, itu namanya nggak semalam. Kita pulang aja udah jam lima subuh."

"Karena kau perempuan. Abang-abangmu itu, yang penting kerjanya bagus, dapatnya nanti jodohnya." Mamak menghela napas dan memelankan suaranya. "Nggak kasihan rupanya kau sama Bapak?"

Uli mengikat rambut panjangnya asal dan menyisakan anak rambut di sekitar dahinya. "Kasihan kenapa? Bapak senang-senang aja gitu."

"Kau kira kenapa Mamak paksa kau terima bunga kemaren?"

Uli berani bersumpah, seumur hidupnya, kemarin adalah kali pertama Mamak kelihatan kelewat memaksa. Meski agak keras, biasanya Mamak tidak suka memaksa sesuatu yang seharusnya bisa diputuskan sendiri oleh Uli. Sejak kecil Uli sudah dididik untuk memilih baju, sepatu, dan semua hal untuk kepentingannya secara mandiri. 

"Kenapa?"

"Dua tahun ini Bapakmu sering nanya Mamak, ada-nya pacarmu, kenapa nggak pernah lagi bawa laki-laki ke rumah, kenapa kau di rumah aja kalo libur. Takut dia nanya kau. Takut tersinggung katanya. Itulah, sayang kali sama kau bapakmu itu." Mamak tidak langsung melanjutkan kalimatnya. Wanita gemuk berdaster bunga-bunga itu meraih tangan Uli dan menggenggamnya erat. "Yang takut-nya, kau nikah? Atau masih belum selesai urusanmu sama Si Nathanael itu?"

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang