Menurut Uli, tidak ada hal lebih menyebalkan dari datang ke pernikahan sepupu hanya untuk menerima sindiran dari keluarga besar. Setelah menyelesaikan pemberkatan di gereja, bukannya sibuk untuk mempersiapkan acara adat di gedung, keluarganya malah sibuk memaksa Uli untuk menerima buket bunga yang dipegang pengantin selama pemberkatan. Sumpah demi apapun, Uli tidak sepingin itu untuk buru-buru menikah. Namun, demi kelangsungan hidupnya yang mulai diteror sana-sini, akhirnya Uli menerima bunga itu dengan berat hati.
"Nah, gitu, dong. Biar cepat kau nyusul."
"Permisi, Bou, Maktua, Inang. Aku ke gedung sama Bang Petra, udah nunggu itu dia." Uli hanya bisa memaksakan senyum. Melihat Petra yang berdiri tidak jauh dari tempatnya, gadis berkebaya merah itu langsung menyelamatkan diri dengan kembali menghampiri sepupunya.
"Kenapa, dapet bunga, kok, malah cemberut gitu?"
"Rasanya udah mau kubuang bunga ini. Tahu nggak, aku dipaksa terima ini biar cepat nikah. Padahal bisa aja dikasih ke yang lebih membutuhkan." Uli bicara sambil berjalan bersama sepupunya.
"Kamu mau ikut ke gedung sama Abang, apa sama Bapauda?"
Tanpa pikir panjang, gadis berbibir merah itu langsung menjawab cepat. "Ikut Abang aja. Tahu nggak, Mamak, tuh, ikut-ikutan ngomporin Bou-Bou buat kasih bunga ke aku! Males banget. Pasti nanti di mobil bakalan dibahas sama Mamak."
Petra hanya bisa tertawa. Ia mengambil buket bunga dari tangan Uli dan meletakkannya di jok belakang. "Udah bunganya taro belakang aja. Kamu masuk mobil aja dulu, Abang bilang ke Nanguda dulu kalo kamu ikut mobil sini."
"Oke." Baru saja Uli memijit kaki setelah melepas sepatu hak tingginya, pintu belakang mobil terbuka dengan kasar, kemudian ditutup dengan sebuah bantingan.
"Perasaan ini mobil gue, kok, ada buket bunga penganten?" Pattar melemparkan jasnya ke kursi depan dengan sembarangan.
"Emang, ya, dasar Kampret! Liat nggak ada orang di sini?" Emosi Uli langsung meledak seketika.
"Eh, ada cabe-cabean. Wah, wah, jangan bilang lo nyolong buket penganten. Gue aduin lo."
Uli sudah tidak peduli pada kebaya atau rok sempit yang ia gunakan. Ia langsung memanjat jok dan berbalik hanya untuk melemparkan kembali jas Pattar kepada pemiliknya. Lemparan Uli tepat sasaran.
"Nggak ada sopan-sopannya sama Abang sendiri!"
"Siapa Abang gue? Mana?" Uli langsung menatap Pattar sengit.
Tidak tinggal diam, Pattar kini ingin melemparkan buket bunga ke arah adiknya. Uli sudah siap untuk mengelak dengan cara menggenggam sandaran jok. Namun, belum juga baku hantam terjadi, Petra membuka pintu mobil dan langsung dibuat menghela napas karena kelakuan kedua adiknya.
Pattar dan Uli membeku di tempat. Petra masuk tanpa melakukan apapun, bahkan pintu mobilnya tidak ditutup. Melihat aura Abang yang menyeruak, Uli auto balik badan dan kembali duduk anggun layaknya wanita baik-baik. Diam-diam, Pattar juga memungut jas yang jatuh dan mengembalikan buket yang ada di tangannya ke jok.
"Duduk baik-baik atau kalian berdua bakal diturunin di tengah tol." Petra menutup pintu mobil sambil berusaha tenang.
Uli takut, tetapi ia tetap ingin mengoreksi sesuatu. "Nurunin penumpang di tengah tol itu tindakan kriminal tahu, Bang."
"Setuju gue, kalo emang mau nurunin, ya, pakek perasaan dikitlah. Di rest area, gitu." Pattar menyahut sambil manggut-manggut.
"Iya, es krim sama sostel yang di rest area itu enak banget, kan, ya?" Uli lanjut menanggapi.
"Gue suka es kopinya, sih." Pattar lanjut menjawab seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.
"Kalian berdua mau kuturunin di rest area aja?" Petra bertanya dengan suara tenang, tetapi menusuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️
Romance"Jadi, kapan kita pesta? Umurmu sudah 27 tahun." Bahaya! Pertanyaan yang selama ini dianggap keramat, akhirnya keluar juga dari mulut Bapak. Pertanyaan itu dilanjut sesi ceramah panjang tentang kriteria calon menantu yang semakin didengar malah sema...