19. Huru-Hara

81 10 6
                                    

Kalau ada kontes orang paling sabar se-Indonesia raya, pastilah Petra akan jadi pemenangnya. Selain sanggup menghadapi tingkah laku kembarannya yang kadang-kadang suka gila, ia juga dianugerahi adik sepupu yang punya spek sebelas dua belas dengan kembarannya. Belum lagi ia juga mendapat bonus orang tua yang doyan me-roasting anak sendiri. Laki-laki yang mengenakan kaus oblong dan celana pendek itu hanya bisa menghela napas ketika Uli membombardirnya dengan panggilan bertubi-tubi.

"Kenapa? Tumben hari libur ke sini?" Petra bertanya dengan nada penuh kelembutan, tanpa ada kerutan sedikitpun di dahinya.

Uli berseru heboh dan buru-buru bersembunyi di balik punggung abang sepupunya itu. "Abang, tolongin."

Kedatangan Pattar yang tengah membawa sapu membuat Petra hanya bisa menghela napas. "Kalian kenapa lagi?"

Pattar berusaha mengatur napas dan membuat sapu menjadi penopang tubuhnya yang sudah sempoyongan. "Gila, ya. Ini adek lo!" Laki-laki yang mengenakan kaus tanpa lengan itu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. "Dia mau ke rumah Juan. Dikenalin sama keluarga besarnya!"

"Ooh, kirain kenapa." Petra menyandarkan tubuhnya ke daun pintu dan menatap kembarannya yang masih berdiri dibantu gagang sapu.

Pattar memelotot. "Apa? Kirain kenapa? Wah, lo bener-bener. Ini adek perempuan lo mau ke rumah cowok. Lo malah nanya kenapa?"

Petra tertawa kecil sebelum mengubah posisinya menjadi berdiri tegak. "Dia cuma main ke rumah Bou. Bukan mau nikah. Respons lo terlalu heboh."

"Nah, orang cuma ke rumah Juan, doang. Lagian sama Mamak Bapak juga kok." Uli mengintip sedikit karena kalau terlalu banyak, ia takut kena pentung sapu yang dibawa abang sepupunya.

Kini Pattar berkacak pinggang. Ia memukul lantai dengan ujung sapu. "Ya, Tuhan. Bapauda sama Inanguda juga ikut? Ini namanya darurat."

Uli berdecak. "Ish, jangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Ketauan kan, lo sering bolos gereja."

Laki-laki berambut agak gondrong itu menyibak rambut. Kini alis tebalnya terlihat mendukung mata sipit yang menatap Uli sinis. "Bocil. Lo mending sini. Jelasin sama gue sekarang juga! Bisa-bisanya lo mau ke rumah Juan padahal kemaren baru ketemu Nael."

Adrenalin Uli tiba-tiba meningkat pesat. Hormonnya berkumpul menjadi satu dan membentuk rasa panik luar biasa hanya karena abang sepupunya membocorkan rahasia dengan mudah. "Heh! Kampret! Ember banget, sih!"

Dengan wajah tidak bersalah, Pattar malah semakin marah. "Apa?"

Petra menarik napas kuat-kuat, kemudian mengembuskannya dengan perlahan. "Oke, mending kalian berdua duduk di ruang tamu. Sekarang."

Kalau nada bicara Petra sudah sampai penuh wibawa, itu artinya Uli dan Pattar hanya bisa meringis sambil tertawa canggung.

Tidak perlu waktu lama, Petra sudah duduk di depan Uli dan Pattar yang kini siap disidang. "Siapa yang mau ngomong duluan?"

Kedua adik Petra itu langsung saling tunjuk dan berusaha melemparkan tanggung jawab bicara pada orang lain.

"Uli dulu."

Tatapan mata abang sepupunya yang sedang serius membuat Uli mati kutu. Kini tubuhnya seolah-olah tengah dirambati dingin yang membuat otaknya turut membeku.

"Uli nggak mau ngomong?" Kini, tatapan Petra teralih pada saudara kembarnya yang duduk dengan sopan layaknya anak TK yang baru masuk hari pertama. "Berarti harus lo yang ngomong."

Pattar melirik Uli, kemudian ia menguatkan diri. "Nggak ada apa-apa. Gue kesel aja, kenapa juga Uli harus dikenalin ke keluarga Juan? Lagian mereka belom pacaran."

"Memangnya belum?" Petra bertanya dengan ekspresi terkejut.

Melihat abang sepupunya yang kaget, Uli malah tambah kaget. "Hah, gimana?"

"Kalian belum pacaran?" Petra kembali bertanya.

"Siapa sama siapa?" Koneksi antar saraf Uli sepertinya sedang eror. Ia tidak bisa menangkap maksud Petra dan malah melongo.

"Masa belom?" Petra kembali mengkonfirmasi dengan cara yang aneh.

Pattar menghentakkan kaki. "Cukup. Apaan, sih, lo berdua nggak nyambung. Uli sama Juan nggak pacaran. Mereka cuma temenan. Sekarang gue tanya, ngapain Juan bawa-bawa Uli ke acara keluarganya padahal mereka cuma temen?"

"Si Kampret, gue cuma cerita, lo malah bocor ke mana-mana." Uli menyambar cepat, seolah-olah koneksi saraf di kepalanya terhubung secepat kilat.

"Nggak bocor. Rembes dikit doang." Pattar malah cengar-cengir.

"Jadi, kalian berantem karena Uli mau ke rumah Juan, terus lo nggak terima gitu?"

Pattar langsung sewot. "Kenapa kesannya gue yang berdosa di sini? Uli juga ogah-ogahan, kok, ke sana."

"Bukan ogah, ya. Cuma nggak siap aja." Uli tidak mau kalah.

"Oke. Buat masalah itu gue ngerti. Sekarang yang berikutnya. Kenapa kemaren Uli ketemu sama Nael?"

Kalau punya kemampuan teleportasi, Uli pasti sudah melarikan diri ke rumahnya dengan segera. Kombinasi dari suara tegas dan tatapan menuntut jawab dari abang sepupunya, mampu membuat gadis berponi itu hampir menangis.

"Uli, ayo jawab." Petra bertanya dengan suara yang tegas, tetapi mirip seperti komdis bagian ibu peri.

Uli memohon pertolongan pada Pattar dengan tatapan mata. "Jadi, .... "

"Gue yang minta mereka ketemu."

Pernyataan spontan dari Pattar membuat Uli terharu. Tiba-tiba abang sepupunya yang doyan membuat masalah itu, malah membantunya saat ia terjepit.

Pattar melanjutkan kalimatnya setelah mengangguk penuh kesombongan pada Uli. Kemudian, tatapan laki-laki bermata sipit itu beralih pada saudara kembarnya. "Lo sendiri tahu, mereka belum selesai. Nggak usah denial. Lo juga sadar, kan?"

Kini tatapan sinis Petra berkurang setengah. Ia menatap Uli yang masih melongo karena menyaksikan pertengkaran abang sepupunya yang biasa adem ayem.

Petra berdeham sebelum bertanya, "Jadi, lo yang bikin mereka ketemu?"

"Iya. Sengaja." Pattar menekankan kata terakhir yang ia sebutkan.

"Kayaknya kita perlu ngobrol berdua."

Hanya dengan melihat kilatan mata dari kedua abangnya yang mirip, tetapi tak sama itu, Uli sudah ngeri sendiri. Ia buru-buru berdiri di tengah keduanya. Meski tingginya kalah jauh, ia berusaha menghentikan tatapan saling menusuk dari keduanya dengan berjinjit dan melebarkan tangan. "Abang, udah, ya. Aku bisa beresin semuanya sendiri, kok. Kalian nggak perlu berantem."

Uli menarik Petra mundur lebih dulu. Begitu abang sepupunya masuk ke kamar, Uli buru-buru menutup pintu. Namun, sebelum menutup pintu ia sudah memberikan peringatan pada Pattar. "Tunggu gue di kamar. Jangan kemana-mana."

Petra melipat tangan di dada. "Kamu masih berhubungan sama Nael?"

Uli kembali merasakan beban tak kasat mata. "Masih, tapi nggak kayak yang ada di bayangan Abang."

"Memangnya bayangan Abang gimana?"

Gadis bermata besar itu mengerjap. "Nggak balikan, kok."

"Kalo sama Juan gimana?" Petra bertanya setelah menyentuh pundak adik perempuannya.

Uli tambah tertekan. "Nggak gimana-gimana. Terakhir, sih, masih temenan."

"Harapan orang tua kita ke kamu sama Juan udah terlanjur besar. Tolong jangan kamu patahin, ya."

Tadinya Uli hendak menolak. Ia ingin menyampaikan pendapatnya sendiri. Ia belum terlalu mengenal Juan. Ia juga takut tidak bisa memenuhi ekspektasi orang banyak.

"Uli dengar Abang?"

Akhirnya, Uli mengangguk.

Tadinya Uli datang ke sana untuk meminta ide gila dari Pattar demi bisa menolak ajakan Juan, tetapi belum juga ceritanya selesai, abang sepupunya sudah keburu murka. Bukannya mendapat alasan untuk menolak, kini masalah Uli malah tambah banyak.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang