23. Patahkan Aturan

76 11 1
                                    

Waktu masih SMP, sangat mudah bagi Uli untuk menolak cinta cowok yang mengejar-ngejarnya tanpa ampun. Saat itu, ia tidak perlu repot berpikir sampai-sampai harus membongkar seluruh isi lemari pakaian, lemari buku dan lemari sepatu di kamarnya sekaligus. Gadis yang sudah menggulung rambut secara asal itu, masih sibuk melepas semua baju dari gantungan, ketika Bapak pamit untuk berangkat kerja.

"Nggak usah semua kau bongkari. Kayak lagi banyak aja pikiranmu." Bapak melangkah melewati tumpukan baju yang berada dalam plastik.

Uli tersenyum. Berusaha menutupi kalau isi kepalanya sedang semrawut. Sebenarnya, ia menyusun ulang semua barang yang ada di kamarnya karena ada banyak hal yang perlu di rapikan. Bukan di kamar, tetapi di kepalanya.

"Pergi dulu Bapak, ya."

Uli bangkit dari duduknya dan menyalami Bapak. "Hati-hati."

Demi menyusun segala pertanyaan dan benang kusut yang ada di kepalanya akibat pertanyaan sederhana dari Pattar, Uli sampai harus mengambil cuti. Ia memilih rehat sejenak demi menjawab pertanyaan itu.

Nael atau Juan?

Kalau hanya berdasarkan rasa sayangnya saja. Uli pasti langsung memilih Nael, tetapi kalau sudah berhubungan dengan marga, mau dicoba ratusan kali juga, Juan akan tetap jadi pemenangnya. Kalau keduanya dibandingkan, kemudian diukur berdasarkan standar Bapak, maka, Juan akan menang telak. Namun, jika yang digunakan adalah standar pribadi Uli, jelas Nael yang akan keluar sebagai pemenangnya.

Tanpa terasa, Uli sudah berkutat dengan berbagai benda di kamarnya hingga tengah hari. Ia juga tahu karena Mamak datang ke kamarnya. "Udah jam 12 ini, sarapan pun belum kau. Makanlah dulu! Pingsan nanti kau!"

Wanita yang mengenakan baju daster batik itu langsung menggeleng dan mendekat begitu melihat Uli yang menyusun buku dengan tatapan kosong. Tidak lagi bertanya atau melontarkan repetan khas yang bisa membuat Uli pening jika mendengarnya lebih dari semenit, Mamak menepuk pundak anak gadisnya dan menatap dalam. "Kau nggak apa-apa, Nang?"

Entah karena sedang galau gundah gulana atau memang ia sedang cengeng saja, bahu Uli yang tadinya kokoh langsung merosot. Mata yang sebelumnya kosong, berubah menjadi sendu. Saat itu juga, Uli menangis. Air matanya mengalir deras tanpa kompromi layaknya kran bocor.

Mamak memeluk anak semata wayangnya dengan segera. "Kenapa kau?"

Bukannya menjawab, tangis Uli malah makin kencang. Tidak hanya bahu, kini seluruh tubuhnya juga gemetar.

Mamak menangkup wajah Uli dan menatapnya dengan lembut. "Cerita sama Mamak, siapa yang buat kau sampe nangis kayak gini?"

Uli hanya bisa diam. Tangisnya sudah tidak lagi bersuara.

"Juan yang udah bikin kau nangis?" Mamak bertanya dengan agresif. Jiwa-jiwa premannya yang selama ini dipendam dalam-dalam, langsung keluar tanpa diundang. Mamak menggulung lengan bajunya, bergaya layaknya anak SMK yang siap tawuran.

Uli menggeleng.

"Oh, berarti si Nael." Mamak bangkit berdiri tanpa berpikir panjang.

Uli langsung berseru. "Bukan, Mak."

Mamak menoleh dengan dramatis. "Terus siapa? Si Pattar? Kalo dia, yakin Mamak, kau bisa lawan. Masa sampe nangis begini. Mamak udah curiga karena kau tiba-tiba cuti cuma buat rapikan kamar. Tadinya Mamak udah mau undang pendeta, takutnya kau kesurupan hantu rajin."

Uli yang tadinya sedih tak terhingga, malah dibuat hampir tersedak karena jawaban random Mamak. "Mak, ih."

"Lho, aku tahu boruku kayak gimana. Nggak mungkin kau cuti cuma mau rapikan kamar kalo nggak karena ada apa-apa." Mamak kembali duduk di samping Uli. "Ceritalah dulu sama Mamak, kayak mananya?"

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang