Uli menerima panggilan dari Nael, tepat di depan Juan. Ia langsung merasa tidak enak begitu laki-laki jangkung itu permisi ke toilet. Gadis bermata besar itu mengikuti pergerakan Juan yang melangkah menjauh. Setelah Juan tidak lagi terlihat, barulah Uli kembali menatap layarnya.
"Lagi sama Juan?"
Uli melongo seketika, ia tidak menduga kalau Nael tahu tentang Juan. Mulut Uli masih setengah terbuka ketika laki-laki berbibir tipis itu kembali bicara.
"Kalo nggak mau jawab, nggak apa-apa." Laki-laki berkulit pucat itu menunduk dan terlihat sedang mengatur napas dan mengembalikan fokus pada Uli.
"Lo nggak kenapa-napa, kan?"
Satu pertanyaan dari Uli, mempu membuat senyuman tipis di wajah Nael, menghilang seperti permen kapas yang terkena air. Air muka laki-laki berwajah oriental itu langsung berubah sedih. Ia menatap Uli dengan mata sipit yang jauh lebih sendu dari biasanya.
Uli tahu, Nael sedang tidak baik-baik saja. "Butuh temen cerita?"
Dengan gerakan lambat, laki-laki berambut hitam tebal itu langsung mengangguk.
"Mau telfon atau mau ketemu?" Uli bertanya dengan tatapan khawatir. Hanya dari matanya saja, Uli bisa tahu kalau Nael sedang menderita.
"Sebisa lo aja." Nael menjawab pelan sambil berusaha menahan air matanya dengan cara mendongak.
"Oke. Nanti gue ke rumah."
Nael buru-buru menolak. "Jangan ke rumah. Kita ketemu di luar aja."
Uli paham betul kalau rumah adalah salah satu tempat teraman bagi Nael, tetapi kali ini ia memilih untuk tidak bertemu di rumah. Mau tidak mau, gadis berponi itu jadi berpikir yang tidak-tidak. Namun, ia buru-buru menjawab, "Oke. Nanti chat aja tempat ketemunya."
Setelah itu, panggilan mereka terputus. Uli duduk tidak tenang. Ia jelas gelisah. Namun, kedatangan Juan yang kembali ke tempat duduknya membuat Uli menahan diri untuk menunjukkan kekhawatirannya pada Nael.
"Udah telfonnya?" Juan bertanya, jelas basa-basi.
Uli mengangguk saja karena sudah tidak punya energi untuk mendebat.
"Nggak mau jelasin sesuatu?" Juan melipat tangan di dada, tatapannya menusuk. "Contohnya, siapa itu Nael?
Uli menghela napas berat. Ia merasa seperti dihakimi. Ia tidak melakukan apapun yang melanggar etika, tetapi kini ia merasa tengah ditelanjangi hanya dengan tatapan sinis Juan. Uli tidak merasa harus menjelaskan apapun pada Juan. Mereka tidak dalam hubungan yang harus saling menjelaskan urusan pribadi.
Juan berdeham. Kemudian, ia melonggarkan lipatan tangannya dan bersandar. Ia masih menatap Uli sambil menunggu jawab.
"Nael, temen gue. Lagi butuh temen curhat katanya."
Tatapan sinis Juan langsung berubah menjadi lengkungan kembar. Ia tersenyum, tidak hanya matanya, tetapi juga ekspresi wajah seluruhnya. "Gue seneng lo jujur."
"Ye, gimana nggak jujur, tatapan lo kayak guru BK yang mau razia." Uli menyahut sewot.
Juan kembali tersenyum. "Lusa gue jemput, ya?"
Uli memutar bola matanya malas. "Perasaan gue bilang bisa dipertimbangkan, bukan pasti dateng."
Juan pura-pura cemberut. "Gue yakin, hasil pertimbangan lo pasti dateng."
"Ya, Tuhan, pede-nya selangit." Rasanya Uli ingin tepok jidat saja.
"Nggak apa-apa pede aja dulu. Masa lo nggak dateng, sih, yang ngundang gue, lho."
KAMU SEDANG MEMBACA
SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️
Storie d'amore"Jadi, kapan kita pesta? Umurmu sudah 27 tahun." Bahaya! Pertanyaan yang selama ini dianggap keramat, akhirnya keluar juga dari mulut Bapak. Pertanyaan itu dilanjut sesi ceramah panjang tentang kriteria calon menantu yang semakin didengar malah sema...