Sudah hampir satu jam Uli duduk di depan cermin. Ia melihat pantulan wajahnya yang sama sekali tidak terlihat senang. Kurang dari dua jam lagi, ia harus pergi ke rumah Juan. Tadinya, ia pikir Pattar akan cukup membantu, tetapi abang sepupunya itu malah keburu ngambek perkara Uli memilih menjelaskan semua pada Petra lebih dulu. Abangnya yang satu itu memang kadang punya sisi kekanak-kanakan yang berlebihan.
"Udah siap-siap kau, Nang?"
Suara Mamak yang menggelegar mampu membuat Uli langsung bangkit dari duduknya. Bisa-bisa ia kena repetan panjang karena tidak terlihat berniat untuk siap-siap. Demi pencitraan, gadis yang mengenakan kaus oblong itu pura-pura memilih baju di lemari.
"Lagi ngapain kau?" Mamak bertanya sambil melipat tangan di dada. Hanya dengan sekali lirik saja, Uli bisa tahu kalau wanita itu dalam mood yang tidak baik.
"Ini lagi nyari baju."
Mamak bergerak mendekat, masih dengan tangan terlipat di dada. Matanya menyelidik seisi lemari, kemudian berpindah pada kasur dan lantai seolah-olah lokasi tersebut adalah area bekas terjadinya tindak pidana. "Kutengok-tengok, nggak yang nyari bajunya kau. Kalo Gerdauli cari baju, pasti sudah keluar separo isi lemari itu, tapi ini, rapinya lemarimu. Nggak ada baju di kasur sama di lantai. Yang seriusnya kau nyari baju?"
Uli menghela napas. Ia merasa memang percuma berbohong pada orang tua. Mamak paham betul semua kelakuan Uli dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit sekalipun. "Saking seriusnya, makanya rapi semua."
"Alah. Kalo mau pergi sama Nael, kau keluarin semua baju di lemari, sampe lemari Mamak pun ikut kau bongkari."
Uli memutar bola matanya malas. Ia mendengkus pelan, kemudian ganti melipat tangan di dada. "Aku curiga, jangan-jangan Mamak sudah kena pesonanya Nael. Heran aku, sering banget Mamak sebut nama dia."
Lipatan tangan Mamak terurai, kini wanita berambut keriting terikat itu pura-pura sibuk membongkar isi lemari Uli. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan satu dress berwarna biru. "Cantik ini. Sopan juga kutengok."
Tanpa banyak bicara, Uli langsung menggeleng.
"Ih, kau, ya. Udah Mamak pilih baju cantik, malah geleng-geleng."
Akhirnya, Uli mengembuskan napas pelan. "Mamak inget nggak itu baju dari siapa?"
Mamak masih mengagumi dress itu sambil menyentuh ujung roknya yang mengembang ketika gadis berbibir tebal itu bicara, "Itu dari Nael, Mak. Masa aku ke tempat Juan pake dress dari Nael, sih?"
Mamak langsung salah tingkah, ia buru-buru mengembalikan dress itu ke tempatnya dan menutup pintu lemari kuat-kuat. "Suka-suka kaulah situ. Mana yang mau kau pake, pakelah. Yang penting sopan, ya. Jangan bikin malu keluarga."
Uli tersenyum, tetapi hatinya masih merasakan sedih. Setelah bertemu Nael dua hari lalu, ingin rasanya ia menemani Nael pergi ke rumah sakit, tetapi ia bukan siapa-siapa dan tidak berhak untuk memaksa.
Lamunan Uli masih belum usai ketika Bapak mengetuk pintu kamar yang terbuka.
"Iya, Pak."
Bapak berdeham sebelum masuk ke kamar. "Bapak sama Mamak nggak ikut ke tempat Boumu, ya. Nggak enak kurasa badanku. Masuk angin kayaknya. Nggak mau Mamak pergi sendiri."
Uli mengerti mengapa Mamak datang ke kamar sebelumnya. "Ah, iya, Pak. Nggak apa-apa. Aku dijemput Juan, kok, nanti. Lagian acaranya kecil-kecilan, kok."
Dahi Bapak berkerut, mata besarnya menyipit, kepalanya juga turut miring sedikit. "Acara kecilnya kata Juan?"
Uli mengangguk pasti, tanpa tahu yang sebenarnya terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️
Romance"Jadi, kapan kita pesta? Umurmu sudah 27 tahun." Bahaya! Pertanyaan yang selama ini dianggap keramat, akhirnya keluar juga dari mulut Bapak. Pertanyaan itu dilanjut sesi ceramah panjang tentang kriteria calon menantu yang semakin didengar malah sema...