Terus terang saja, Pattar sama sekali tidak terlihat terkejut ketika Uli menceritakan kalau ia bertemu Nael di gereja. Bukan karena Nael adalah Kristen bagian intel, alias jemaat yang hanya bergabung ke gereja di hari tertentu. Masalahnya, laki-laki yang tidak memiliki darah Batak itu malah datang ke gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Harus diulangi sekali lagi, Nael beribadah di gereja HKBP. Biasanya yang beribadah di HKBP hanya untuk 'yang Batak Batak aja'.
Yang membuat berita itu harusnya terdengar dahsyat adalah Nael sudah membawa Buku Ende alias buku lagu yang isinya bahasa Batak semua. Jangankan Nael, Uli yang seratus persen Batak saja, masih suka keseleo lidahnya ketika membaca buku lagu itu. Bisa-bisanya laki-laki keturunan chindo itu malah memiliki buku lagu versi bahasa Batak.
"Kok lo kayak nggak tertarik gitu, sih, denger cerita gue?" Uli menyerukan protes setelah melihat Pattar yang malah sibuk menyeruput mi gomak.
"Berisik, ah." Kini Pattar meminum teh hangat miliknya hingga tandas.
"Kalo aja Bang Petra bisa dengerin cerita gue, nggak bakal gue mau cerita sama lo!"
"Siapa bilang nggak bisa? Cerita aja sana!" Pattar menutup kalimatnya dengan seringai.
"Jangan bilang lo masih ngambek masalah minggu lalu, ya?" Gadis yang mengenakan sarung itu menyenggol kaki Pattar dengan kakinya yang terlipat.
"Enggak, tuh." Laki-laki yang mengenakan kaus oblong itu mengambil kerupuk mi, lalu mengunyahnya keras-keras sambil menatap Uli sinis.
Uli sudah kesal. Namun, ia tidak bisa bicara terlalu keras karena kini, mereka tengah terjebak di ruang tengah rumah. Setidaknya ada tiga puluh orang yang tengah berada di sana, termasuk Juan dan keluarganya.
Ketidakhadiran Mamak dan Bapak pada acara ulang tahun pernikahan orang tua Juan membuat pertanyaan besar. Mamak membuat acara makan-makan sebagai alasan karena tidak enak pada keluarga Juan. Bermodalkan mi gomak, kerupuk mi, serta beberapa camilan, Mamak berhasil mengumpulkan hampir seluruh anggota keluarga.
"Dimakanlah ya, yang ada. Cuma ininya yang bisa kami buat. Tapi, nggak ketering lho ini, Da. Masak sendiri aku." Mamak bicara sekalian curhat pada ipar dan calon besannya. "Gimana, enaknya?"
Mamak-mamak yang berkumpul di bagian ruang tengah yang paling dekat dengan dapur itu langsung kompak mengangguk. "Enak, lho, Da. Udah bisa besok-besok buat katering, Eda."
Mamak tersenyum malu-malu.
Rasanya Uli ingin membeberkan fakta kalau mamak dibantu oleh Maktua yang memang ahli membuat mi gomak berbagai variasi. Namun, Uli langsung batal menunaikan niatnya karena pertanyaan lain.
"Ih, teringatnya Da, jadi nggak Si Uli kawin tahun ini?"
Tanpa menoleh, Uli sudah tahu kalau yang bertanya adalah adik perempuan ayahnya.
"Nah, itulah. Jadi, gimananya, Da?"
Uli agak panik begitu melihat Mamak mepet-mepet pada Mama Juan.
Mama Juan tersenyum ramah. Senyumannya mirip seperti milik Juan. Tanpa tes DNA pun, sudah dapat dipastikan kalau mereka adalah ibu dan anak. "Kalo aku, sih, pengennya jangan lama-lama, Da. Udah pengen kali aku nimang cucu."
"Ih, samalah kita, Da."
Mama Juan yang tadinya kalem-kalem saja, auto semangat karena membahas cucu. "Iya, Da. Udah ku bilang sama Si Juan, janganlah lama-lama. Nanti kayak kami pulak. Lama nunggu Si Juan. Udah tua aku ngelahirin dia. Padahal nikah muda, lho aku, Da."
Uli sudah mulai ketar-ketir. Pembahasan keluarganya bukan lagi sekedar perjodohan gemas, tetapi sudah ke arah yang lebih serius.
"Iya-nya? Karena masih cantik itu Eda, lupa aku kalo udah lumayan juga umurnya, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️
Romansa"Jadi, kapan kita pesta? Umurmu sudah 27 tahun." Bahaya! Pertanyaan yang selama ini dianggap keramat, akhirnya keluar juga dari mulut Bapak. Pertanyaan itu dilanjut sesi ceramah panjang tentang kriteria calon menantu yang semakin didengar malah sema...