25. Putar Arah

85 15 1
                                    

Uli pulang tanpa diantar oleh Juan, sebenarnya laki-laki jangkung itu sudah menawarkan hingga nyaris memaksa, tetapi Uli tetap ingin pulang sendiri. Tanpa mengandalkan Petra atau Pattar, ia menggunakan jasa ojek online untuk pulang ke rumah. Namun, belum juga masuk ke area rumah, Uli malah dibuat kaget karena melihat laki-laki berkulit pucat yang masuk melewati pagar lebih dulu. Tidak perlu diragukan, laki-laki itu adalah Nael.

Jantung Uli sudah mendadak disko ketika melihat Bapak membuka pintu kemudian memelototi Nael seolah-olah laki-laki itu adalah tawanan perang. Tatapan Bapak adalah kombinasi dari rasa tidak suka, marah sekaligus kecewa.

Hanya dengan melihat sorot mata Bapak, Uli merasa dejavu. Seolah-olah sebuah film, ingatan kejadian beberapa tahun lalu terputar ulang di kepalanya. Potongan kejadian itu teringat jelas di benaknya.

"Jadi, marga apa kau?" Bapak bertanya sambil melipat tangan di dada. Gaya duduknya sudah seperti komandan militer yang siap mengatur strategi perang.

Nael sudah berusaha keras untuk menegakkan kepala, tetapi pertanyaan yang satu itu langsung membuatnya menciut dan menunduk dalam. "Kalo marga Batak, kebetulan nggak ada, tapi kalo marga cina, ada."

Belum selesai Nael menjelaskan tentang marganya, Bapak sudah keburu emosi. Ia melotot galak, seolah-olah matanya bisa melompat kapan saja dari tempatnya. "Nggak ada marga Batak kau bilang? Terus gimananya maksudmu?"

Laki-laki berkulit pucat itu menatap Uli dengan wajah yang lebih pucat dari biasanya.

Uli menghela napas, kemudian mencoba ikut bicara. "Bapak, jangan emosi dulu. Nael belom selesai ngomong."

Laki-laki paruh baya yang bermata besar itu langsung menatap anak gadisnya, kemudian melembutkan suara. "Bapak perlu ngomong sama kawanmu ini, kau masuk ke kamar dulu, ya."

Uli hendak menolak dan bertahan di sana, tetapi tatapan Bapak ditambah gerakan Mamak yang mengusirnya secara terang-terangan, membuat gadis berponi itu tidak punya pilihan lain. Ia berjalan ke kamar dan tidak menutup pintunya dengan rapat. Ia bisa mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi di ruang tamu.

"Nah, cobalah kau jelaskan dulu. Selama ini kami tahunya kau kawan kuliah Uli, bukan pacarnya. Terus sekarang katanya mau serius kalian? Macam mana mau serius, marga aja nggak punya kau. Apanya maksudmu ke sini?" Bapak bertanya dengan nada yang tidak ada santai-santainya. Ibarat kata knalpot motor, nada bicara Bapak sudah serupa dengan knalpot motor racing.

"Jadi, gini, Om."

Bapak langsung memotong tanpa memberi Nael kesempatan menjelaskan. "Bah, Om pula kau bilang. Amang jo tahe."

Suara Nael tidak lagi terdengar.

Kini Mamak akhirnya bicara. "Mau minum apa kau?"

Nael tidak bisa menjawab. Jangankan minum, untuk bernapas saja pasti laki-laki itu sudah kesulitan.

"Serius yang gimananya maksudmu? Mau kawin kalian, gitu?" Meski sudah berjeda cukup lama, emosi Bapak sepertinya tidak ada surut-surutnya.

"Iya, Om ..., eh, maaf, saya nggak tahu harus panggil apa." Nael berhenti bicara setelah ia gelagapan. Beberapa saat kemudian, suara laki-laki berbibir tipis itu kembali terdengar, meski semakin pelan. "Kami memang ada rencana mau menikah, dalam waktu dekat."

Ada suara keras yang memekakkan telinga, saking kagetnya, Uli tidak bisa menebak apakah suara itu berasal dari tamparan, sebuah benda yang dibanting atau kombinasi dari keduanya. Kerasnya suara itu membuat Uli hampir melonjak dari posisinya. Kini, tangan gadis berbaju biru itu sudah gemetar, jantungnya berdegup kelewat kencang, tanpa-aba-aba, dadanya juga diselimuti sesak yang seolah-olah memaksa semua oksigen di paru-parunya memberontak.

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang