9. Menuju 27+

207 16 0
                                    

Setelah secara terang-terangan menabuh genderang perang di depan keluarga besar, Uli jadi menghindar bertemu Bapak. Setelah pulang dari rumah Amangboru, Uli langsung ngacir ke kamar. Pagi ini, ia buru-buru melarikan diri dari rumah sebelum Bapak nongkrong di teras sambil minum kopi.

"Lho, kok, lo yang jemput?" Uli langsung meyerukan protes begitu melihat Pattar dan bukannya Petra yang ada di depan rumahnya.

"Dih, bawel. Untung-untung gue mau jemput, ya." Laki-laki yang masih mengenakan baju tidur itu memutar bola matanya malas. Ia juga melempar sebuah jaket yang sejak tadi ia sampirkan di bahu.

"Bisa nggak, nggak usah pake lempar-lempar?" Uli sudah kesal, tetapi ia tetap memakai jaket itu.

"Berisik. Bisa nggak, nggak usah protes."

"Abang ke mana?" Uli ogah dibonceng Pattar, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Dengan gerakan lambat, ia mengambil helm yang menggantung di spion motor abang sepupunya itu.

Pattar berdecak, tetapi ia tetap menurunkan pijakan kaki motornya dan menegakkan motor begitu Uli bersiap untuk naik. "Mual-mual dia. Kayaknya kebanyakan minum bir semalem. Tau sendiri, tuh, orang suka nggak enakan."

"Udah tau nggak kuat minum, masih aja." Uli duduk dengan nyaman di boncengan Pattar. "Harusnya lo yang minum-minum, Bang Petra bagian ngobrolnya. Biar gue tebak, lo pasti cabut duluan semalem?"

Pattar mengangguk. Segaris senyumnya tertarik. "Abis lo balik, gue sama nyokap langsung balik. Bodo amat Petra sama Bapak nggak pulang-pulang."

Uli tertawa. Pecakapan itu jadi percakapan terakhir mereka hingga Uli tiba di kantornya. Sepasang sepupu itu memang seringkali tidak banyak bicara. Namun, diam mereka bukan jenis diam yang canggung.

"Makasih." Uli bicara dengan suara pelan. Nyaris berbisik.

"Dih, bilang makasih aja bisik-bisik. Untung gue nggak budek." Pattar menerima jeket dan helm Uli, kemudian memasukkannya ke bagasi. "Nanti gue yang jemput. Sekalian. Ada cek lokasi deket sini."

Uli melongo. "Tumben amat. Kok, baik?"

Pattar menghela napas. "Ya udah, nggak usah. Nanti gue bilang Bapauda buat jemput sekalian."

Mendengar Bapak disebut-sebut, Uli langsung mengeleng cepat. "Lo aja yang jemput."

Tawa Pattar pecah seketika. "Lo pasti lagi perang dingin, ya, sama Bapauda? Gue saranin cepet baikan, deh. Awas kualat."

Uli cemberut. "Dih, nggak ngaca."

Pattar berdecak, kemudian segera mengendarai motornya pergi dari sana.

Rasanya Uli ingin bernyanyi selamat pagi ala Sherina supaya hidupnya tidak sepi-sepi amat, tetapi belum juga ia mulai bernyanyi, ia malah terkena serangan jantung mendadak. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Nael berdiri di hadapannya. Wanita yang mengenakan kemeja putih itu buru-buru mengerjap dan mundur dua langkah.

Nael tersenyum. Dua lesung pipi kecil di dekat bibirnya terlihat jelas. "Kamu kaget banget, kayak lihat hantu."

Ya, gue kira juga hantu. Ternyata orang betulan. Uli hanya bisa cengar-cengir, sambil mengatur napas karena hampir kehilangan kemampuan untuk bicara.

"Kamu nggak apa-apa?" Tangan kanan Nael terulur, berniat membantu Uli yang sudah sempoyongan.

Nggak apa-apa muatamu? Nggak liat gue hampir semaput gini? Tadinya Uli berniat mengumpat sepenuh hati, kemudian ia ingat kalau yang berdiri di depannya kini bukan Pattar, tetapi Nael --mantan terindahnya. Gadis berambut terikat itu kembali mundur dan mengangkat tangannya. "Nggak apa-apa."

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang