Perjalanan pulang ke rumah terasa sangat panjang karena Uli berusaha untuk pura-pura tidur. Ia jelas mengabaikan Juan secara terang-terangan. Demi melancarkan sandiwara putri tidurnya, Uli tidak mengintip sama sekali, meski ia ingin.
"Gue tahu lo nggak tidur." Juan bicara pelan. "Maaf kalo tadi gue sibuk. Kayaknya baru ini, deh, lo ngambek sampe nggak mau ngomong sama gue."
Uli masih berusaha menahan diri.
"Udahan dong, ngambeknya. Jangan kayak anak kecil." Juan bicara dengan nada setengah bercanda.
Karena sudah keburu kesal, gadis berponi itu meniup poninya sebelum memutar badan untuk menghadap Juan. "Gue bukan anak kecil."
Juan tertawa. "Iya, iya. Bukan anak kecil." Mata sipit laki-laki berkemeja batik itu menatap Uli lebih lama ketika mereka berhenti di lampu merah. "Lo keliatan lucu kalo ngambek."
"Gue nggak ngambek. Cuma ngerasa dibohongin aja. Kata lo acaranya cuma keluarga inti. Tahunya yang dateng sekampung."
Juan kembali tertawa. "Acaranya keluarga inti, cuma tamunya lumayan banyak emang. Mama ngundang semua temen koor di gereja."
Tadinya Uli ingin mempertahankan kekesalan setidaknya hingga esok hari, sekaligus sebagai uji coba tingkat kesabaran Juan dalam menghadapinya. Namun, belum juga Uli melanjutkan perdebatan, laki-laki yang sudah menggulung lengan bajunya hingga siku itu malah bermanuver dengan mengganti topik. "Besok mau gereja bareng?"
Uli jadi curiga, bisa jadi Juan sudah mendapat banyak wejangan dari Petra. Sebagai abang sepupu yang sudah mengenal Uli luar dalam, mengalihkan topik adalah salah satu cara ampuh Petra demi mempertahankan kesabarannya yang seluas samudera.
"Biasanya lo gereja siang, kan?" Juan bertanya sambil tersenyum. Senyumnya kali ini terlihat tidak begitu menjengkelkan bagi Uli.
"Perasaan lo selalu gereja pagi. Tumben banget mau gereja siang?" Rasa kesal Uli sudah berganti menjadi penasaran.
"Kata Petra, lo pinter banget. Masa yang begini aja nggak ngerti, sih?"
Uli agak tersinggung sedikit, tetapi juga bangga. Gadis bergaun biru itu tidak menyangka kalau Petra akan memuji sampai segitunya. Padahal ia tahu jelas, dari semua jajaran persepupuan dari pihak Bapak, Uli punya tingkat kepandaian paling bontot. "Yaudah kalo nggak mau jawab. Besok gereja aja sendiri."
Juan langsung panik. Matanya bergetar. Hidungnya ikut kembang kempis. "Masa ngambek lagi?"
Uli melipat tangan di dada. "Gue nggak ngambek, ya. Lo yang bikin kesel. Kenapa, sih, akhir-akhir ini lo ngeselin banget?"
Juan menepikan mobil yang sebentar lagi tiba di rumah. Ia berhenti dan memusatkan perhatian hanya pada Uli. "Gue ngerasa mood lo emang agak berantakan beberapa hari terakhir. Entah perasaan gue aja atau emang, lo begini setelah telpon waktu itu." Laki-laki jangkung berhidung mancung itu menghela napas sebelum lanjut bicara. "Kata Petra, kalo lagi PMS lo suka galak sama gampang kesel. Jangan-jangan lo lagi PMS, ya?"
Uli mengembuskan napas kesal. "Udah seberapa banyak info yang lo dapet dari Bang Petra?"
Juan kembali menghela napas, sepertinya berusaha menyabarkan diri. Ia melepas seat belt-nya dan memutar tubuh menghadap Uli. "Balik lagi ke pertanyaan gue. Lo mau gereja bareng? Lo tinggal jawab, iya atau enggak."
"Enggak. Gue capek."
Juan sudah frustrasi, tanpa sadar suaranya meninggi. "Kenapa malah jadi emosi, sih?" Laki-laki berbibir tebal itu menekan bibirnya kuat-kuat sebelum bicara, "Oke, kalo gue ada salah, gue minta maaf."
Uli diam. Cukup terkejut mendengar keras dari Juan, padahal ia tahu kalau suara yang baru saja ia dengar bukan bentuk bentakan. Mata besar Uli menatap Juan dengan tatapan tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️
Romance"Jadi, kapan kita pesta? Umurmu sudah 27 tahun." Bahaya! Pertanyaan yang selama ini dianggap keramat, akhirnya keluar juga dari mulut Bapak. Pertanyaan itu dilanjut sesi ceramah panjang tentang kriteria calon menantu yang semakin didengar malah sema...