1. Menuju Pesta Pernikahan

414 35 0
                                    

Tidur Uli yang terasa baru sekejap mata, langsung berubah menjadi mimpi buruk ketika ia mendengar suara hordeng yang disibak dengan kasar. Perlahan-lahan, suara repetan Mamak turut merusak tidur yang tidak ada indah-indahnya itu. Kesadaran gadis berusia 27 tahun itu segera terkumpul sempurna ketika satu pukulan mendarat di pahanya.

"Uli, Uli, macam mana kau mau kawin kalo bangun pagi aja susah kali? Ayo, bangun. Terlambat nanti kita."

Uli berniat menarik kembali selimutnya, tetapi ia kalah cepat karena Mamak sudah lebih dulu menarik selimut dan mengubahnya menjadi gulungan besar.

"Kebaya kau udah Mamak setrika itu, cepatlah mandi."

Uli mengubah posisinya menjadi duduk. Ia langsung melayangkan tatapan sengit pada Mamak yang tengah memeluk gulungan selimut.

"Ayo, masih mau marsalon lagi kita."

Uli menghela napas berkali-kali sebelum berbicara dengan nada setenang mungkin. "Mamak aja yang ke salon, aku make up sendiri aja."

Mamak langsung meletakkan selimut yang sedari tadi dipeluk hanya untuk melayangkan satu pukulan pelan di lengan anak tunggalnya. "Kau nggak pandai bermekap sendiri, malu nanti Mamak. Siap-siaplah cepat. Udah ditunggu ini kita."

Dengan niat yang hanya setengah, akhirnya Uli mandi dan turut ikut ke salon langganan Mamak. Selama di salon, ia berkali-kali menyerukan protes tentang warna mekap yang terlalu mencolok atau sanggulnya yang terlalu besar, tetapi mulutnya langsung dibungkam dengan tatapan Mamak yang siap menerkam.

Pasangan ibu dan anak itu selesai bersolek setelah menghabiskan waktu hampir tiga jam. Mereka disambut oleh Bapak yang malah tertidur di sofa tamu salon tersebut.

"Pak." Mamak membangunkan Bapak dengan pukulan pelan di lengan.

Bapak terbangun, tetapi bukannya terpesona akan kecantikan istri dan anak semata wayangnya, Bapak malah melonjak kaget. Tanpa bisa dielak, perdebatan kecil sesuai prediksi Uli, akhirnya terjadi.

"Kok, kaget kali kau lihat aku? Udah macam baru lihat hantu aja." Mamak mulai pemanasan.

"Ih, nggak kaget pun aku." Bapak berusaha meredam emosi Mamak.

"Kau kira nggak lihat aku? Jelas-jelas kau kaget tadi!" Kilatan emosi di mata Mamak makin menjadi-jadi.

Untuk mengamankan situasi, Bapak buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Ih, cantik kali boru Bapak."

Uli tersenyum lebar. "Iya, dong. Boru Bapak gitu lho."

Mamak yang masih emosi langsung menimpali, "Oh, jadi aku nggak cantik? Boru kau aja yang cantik?"

Akhirnya, Uli langsung turun tangan. "Cantiknya Mamak aku. Cantik kayak artis film. Tadi Bapak kanget pasti  karena Mamak terlalu cantik, tuh."

Mamak langsung tersipu. "Iya, nya?"

"Iya, dong." Uli mengirimkan kode pada Bapak, untuk segera melanjutkan dengan pujian, tetapi pria bertubuh pendek dan gemuk itu malah melengos pergi setelah mengambil kunci mobil dari atas meja.

"Nggak bisa kali dipujinya Mamak!" Tensi Mamak mendadak naik lagi.

Uli yang memang sudah sangat paham akan kelakuan orang tuanya, hanya bisa tersenyum geli. "Yang malunya Bapak itu. Udah cantik, kok, Mamak."

Akhirnya, mereka bisa pulang dengan tenang. Setelah sampai di rumah, mereka bersiap-siap, kemudian berangkat ke gereja yang jaraknya cukup jauh dari rumah.

Setelah tiba di gereja, Uli mengamati dekorasi yang menghias sekelilingnya. Bunga yang ada di setiap sudut dan bangku, mampu membuatnya merasa baru saja memasuki kastil di negeri dongeng. Langit-langit tinggi yang dihiasi berbagai bunga dan tanaman gantung, serta lampu hias berbentuk kristal membuat Uli semakin terkagum. Tanpa adanya bunga dan aksesoris dekorasi lain, gereja yang dimasukinya kini memang sudah kelihatan indah. Namun, tidak ada orang lain di sana, bahkan pengantinnya pun belum tiba. Uli dan keluarganya adalah yang pertama masuk ke sana. 

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang