Tanpa menunggu lama, malam itu juga Uli berniat datang ke rumah Bapatua untuk meminta maaf. Namun, ia tahu, minta maaf tanpa modal sogokan seolah-olah memasak tanpa garam. Akhirnya, ia meminta bantuan Petra untuk menemaninya membeli kue bolu pisang kesukaan Bapatua.
"Kamu betulan mau nyogok Bapak?"
Uli langsung cemberut. "Bukan nyogok, Abang. Ini namanya upeti. Minimal kalo Bapatua merepet, ada remnya."
Laki-laki yang mengemudikan mobil itu tertawa. "Makanya jangan cari gara-gara. Nurut aja kata orang tua. Kamu, sih, pake nantangin segala."
"Aku nggak nantangin. Kan, cuma nanya. Abang juga nggak tahu, kan, gimana ceritanya Bapatua sama Mamaktua bisa sampe nikah? Padahal, kalo denger cerita Bapak, Opung Doli itu sangarnya minta ampun." Uli hampir lupa kalau abangnya yang satu ini berbeda dengan Pattar yang cenderung pro dengan pemberontakan.
Petra hanya diam, tidak berniat berkomentar.
"Abang beneran nggak pernah diceritain masa mudanya Bapatua sama Mamaktua, gitu?"
Laki-laki yang masih mengenakan kemeja dan celana dasar itu tidak langsung menjawab. "Kalo diinget-inget, kami nggak pernah bahas itu."
Uli langsung menjentikkan jari. "Kan, udah aku duga. Emang Abang nggak penasaran gitu?"
Pertanyaan Uli tidak dijawab karena mereka sudah tiba di toko roti langganan keluarga yang letaknya tidak jauh dari rumah.
"Abang beneran nggak mau turun?" Uli melepaskan sabuk pengaman dan berbalik sebelum benar-benar keluar dari mobil.
"Enggak, kamu aja."
Uli berdecak, tetapi ia langsung tersenyum begitu ingat sesuatu. "Abang mau kue kopi kayak biasa?"
Petra mengangguk pelan.
Uli bisa melihat kalau Petra memainkan ponsel setelah Uli benar-benar keluar. Dalam hati, Uli agak curiga kalau abangnya yang satu itu sedang dekat dengan seseorang karena akhir-akhir ini, laki-laki yang lebih tua tiga tahun darinya itu kelihatan lebih sering melihat hp daripada tumpukan jurnal atau buku bahan ajar.
Begitu tiba di depan toko kue, Uli langsung tersenyum cerah. Ia bisa melihat jajaran kue cantik yang selalu dibuat setiap hari demi menjaga kualitasnya. Sebelum masuk saja, ia sudah bisa menghirup aroma khas toko kue. Uli jarang memakan kue atau roti karena bagi keluarganya, nasi adalah harga mati, tetapi setidaknya sebulan sekali atau ketika ada anggota keluarga yang berulang tahun, mereka selalu membeli kue atau roti dari toko ini.
Tangan Uli baru saja mendarat di pintu kaca toko tersebut ketika satu tangan lain juga turut berada di sana. Gadis yang mengenakan kaus kuning dan celana jeans itu bisa melihat bayangan yang lebih tinggi darinya. Hal itu membuat Uli harus mendongak untuk memastikan siapakah gerangan yang sudah menyerobot jalan masuknya.
"Hai, kita ketemu lagi." Seorang laki-laki dengan senyuman ceria membuka pintu dan memberi jalan.
"Abang es krim?" Uli melongo sempurna.
"Kalo lo manggilnya gitu terus, bisa-bisa gue buka toko es krim betulan." Laki-laki jangkung yang ada di hadapan Uli itu langsung tertawa.
"Emang dikira buka toko es krim segampang itu apa?" Uli berdecak sambil memasuki toko kue tanpa hambatan karena Juan masih menahan pintunya. "Ngomong-ngomong, ya, Juan. Lo nggak mau lanjutin kenalan sama gue."
Juan tersenyum hingga matanya menghilang tenggelam dalam lengkungan yang menurut Uli menggemaskan. "Nggak nyangka banget kalo lo bakal inget nama gue."
Uli mengeluarkan senyuman diplomatis. "Nama lo cuma seuprit gitu, gimana gue bisa lupa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️
Romance"Jadi, kapan kita pesta? Umurmu sudah 27 tahun." Bahaya! Pertanyaan yang selama ini dianggap keramat, akhirnya keluar juga dari mulut Bapak. Pertanyaan itu dilanjut sesi ceramah panjang tentang kriteria calon menantu yang semakin didengar malah sema...