11. Hari Ulang Tahun

125 16 0
                                    

Pagi Uli sungguh indah karena dimulai dengan pesan manis dari mantan terindah. Uli langsung senyum-senyum layaknya orang sinting setelah membaca pesan Nael. Saking salah tingkahnya, ia menggulung diri sendiri dengan selimut tebal. Kemudian berguling kembali untuk melepaskan diri. 

Setelah memastikan kalau kesadarannya sudah terkumpul, gadis berambut berantakan itu buru-buru membalas pesan tersebut dengan ucapan terima kasih. Ia mengetik, kemudian menghapus. Mengetik lagi, kemudian menghapus lagi. Ia mengulanginya berkali-kali, hingga suara Mamak berseru memanggil namanya berulang kali. 

"Iya, Mak." Uli menjawab dengan suara yang tidak kalah kencang.

"Uli, buka dulu pintu depan. Ada tamu itu. Mamak masih goreng ikan."

Uli menahan segala rasa bahagianya agar tidak kelihatan di depan Mamak atau Bapak. Ia segera meletakkan ponselnya di kasur dan berlari ke pintu depan sambil menggulung rambut. 

"Selamat pagi, paket atas nama Gerdauli." Seorang kurir tanpa seragam menyerahkan buket bunga matahari berukuran besar. 

"Buat saya?" Uli masih mengerutkan dahi ketika buket itu berpindah ke tangannya. 

"Maaf, saya foto sebagai bukti tanda terima, ya, Kak."

Uli masih melongo. Ia pasrah saja difoto sambil memegang buket bunga. Kalau dibandingkan dengan penampilannya kini yang bermuka bantal, bisa dijamin, ia sudah kalah saing dengan bunga yang dipegangnya. 

"Terima kasih. Saya permisi." 

"Terima kasih." Uli menjawab sambil memiringkan kepalanya. Buket bunga di tangannya terasa familier, tetapi juga asing. 

"Bunga dari siapa itu, Nang?" Bapak bertanya sambil membawa kopi menuju teras.

"Nggak tahu. Nggak dikasih tahu siapa yang kirim." 

Bapak berhenti dan meletakkan kopinya di meja ruang tamu. Ia berjalan mendekat dan memeluk Uli. Pelukan hangat yang selalu diberikan setiap anak gadisnya berulang tahun. "Selamat ulang tahun, ya. Bapak doakan semoga jodohmu datang tahun ini. Amen."

Uli langsung memejamkan matanya begitu mendengar doa Bapak. Ia juga rasanya ingin segera memenuhi keinginan Bapak, tetapi kalau ia membawa Nael, yang berakhir bukanlah masa lajangnya melainkan eksistensinya di tengah keluarga. 

"Jangan lupa nanti malam kita ada acara keluarga. Jangan pulang malam kau."

Uli mengangguk kaku. Kemudian ia bergumam, "Bapak betulan nggak bercanda ternyata."

"Gimana, Nang?" Bapak sudah kembali memegang gelas kopinya. 

Uli langsung cengar-cengir. "Nggak, Pak. Nggak apa-apa."

Pria bertubuh tambun itu berbalik sebelum melewati pintu. "Petra yang antar kau hari ini, ya. Bapak libur dulu." 

"Oke, Pak."

Uli berniat buru-buru ngacir ke kamar sebelum diintrogasi Mamak yang kadang keponya suka keterlaluan. Untungnya kamar Uli terletak tidak jauh dari ruang tamu, jadi ia bisa segera selamat dari interogasi, tetapi gerakannya kurang gesit karena Mamak telanjur melihat buket bunga matahari yang segede gaban. 

"Ih, bunga dari siapa itu, Nang?"

Uli buru-buru mencari jawaban paling masuk akal. Walau ia berharap bunga ini dari Nael, tetapi ia tidak bisa mengutarakan praduganya begitu saja. Kalau sampai ia menyebut nama Nael, bisa-bisa acara pertemuan keluarga dimajukan menjadi makan siang, bukan makan malam. 

"Dari Bang Petra kayaknya." Uli menjawab singkat, sebisa mungkin ia menjaga ekspresinya agar terpercaya. "Kan aku ulang tahun."

Mamak mendekat dan memberikan pelukan. "Selamat ulang tahun, ya, Nang. Sehat-sehat. Semoga lancar semua kerjaanmu. Semoga cepatlah kau kawin biar punya hela Mamak."

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang