24. Lampau

86 16 1
                                    

Keesokan harinya, menjelang waktu pulang kerja, Uli menghubungi Juan dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Tanpa berpikir lama, laki-laki yang dijodohkan dengan Uli itu langsung menerima ajakannya dan menawarkan jemputan, tetapi gadis berambut panjang itu menolak dengan tegas. Tidak ada lagi tawar menawar, Juan hanya bisa menerima keputusan Uli.

"Udah lama?" Juan bertanya ketika melihat minuman di gelas Uli sudah tinggal setengah.

Uli menggeleng, kemudian matanya menatap gelas berisi jus jeruk yang dipesannya begitu tiba. "Kebetulan lagi haus aja."

"Udah pesen makan?" Juan menarik kursi dan duduk setelah melihat gadis yang duduk di depannya menggeleng. "Oke, malam ini kita mau makan apa? Kayaknya udah lumayan lama kita nggak makan malem berdua."

Uli menyedot es jeruknya banyak-banyak, hingga tanpa sadar sedotannya sudah menyentuh dasar gelas yang tidak lagi berisi. Suara yang ditimbulkan dari sedotan Uli yang terburu-buru, membuatnya malu.

Juan menganggap tingkah Uli lucu. Ia tertawa dan menarik gelas gadis itu dan segera memesan minuman yang sama.

Uli masih melongo ketika Juan menatapnya lama.

"Lo benar-benar nggak berubah. Masih aja lucu." Laki-laki jangkung yang memiliki mata mirip kucing itu tersenyum senang. "Inget nggak, waktu abis Sekolah Minggu lo pernah nonjok cowok yang ganggu Petra? Padahal lo masih kecil banget."

Uli berusaha mengingat-ingat kejadian itu. Kemudian satu kenangan itu berputar di kepalanya seperti kaset lama. "Ah, yang ngeledekin Bang Petra karena ompong itu, ya?"

Juan tertawa. "Ah, iya, betul karena itu. Kebetulan Pattar nggak dateng Sekolah Minggu, kalo ada Pattar, aku berani jamin, bakalan ada adegan tonjok-tonjokan."

Uli hampir lupa tujuannya bertemu dengan Juan. Ia malah tertawa dan melanjutkan kalimatnya. "Kalo nggak langsung dipisahin kakak sekolah minggu, kayaknya bakalan baku hantam sih, sama gue."

"Gue kadang heran, bisa ya, Petra sama Pattar kembar, tapi kepribadiannya beda banget gitu."

Uli mengangguk setuju. "Dari zaman bocil emang Pattar udah kayak bokem, sih, kelakuannya."

"Iya, nggak beda jauh sama lo." Juan kembali tertawa. "Selain kejadian jatoh dari pohon, nonjok anak orang, ada satu lagi yang paling gue inget."

"Apa, tuh?"

Juan tidak lagi tertawa. Ia berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya. "Waktu kita tuker kado di acara natal, lo inget nggak, lo ngomong sesuatu waktu itu?"

Kepala Uli tiba-tiba dibuat pusing ketika ia mencoba mengumpulkan serpihan kenangan masa kecilnya yang sudah awur-awuran. Kalau saja sel-sel otak Uli adalah pekerja, pastilah kini mereka tengah bekerja lembur di hari libur. Sebelum Uli bertemu dengan Juan, ia sudah menyiapkan berbagai macam skema jawaban dari pertanyaan Juan tentang alasan keputusannya, ia sama sekali tidak menduga kalau harus terjebak dan malah dibuat pusing karena pertanyaan dari Juan.

Dahi Uli mengkerut, matanya menyipit, kentara sekali masih berusaha berpikir. Kalimat apa gerangan yang sudah ia lontarkan di zaman bocah dahulu kala hingga bisa membuat Juan tidak bisa melupakannya barang sebentar?

"Gue nyerah. Nggak kepikiran apa-apa, sumpah." Uli mengangkat kedua jarinya dan membentuk huruf V.

Juan tersenyum penuh arti. "Oke, selesai makan, bakal gue kasih tahu."

Uli berdecak. "Abis makan banget? Nggak bisa sekarang aja. Tinggal bilang doang."

"Makan dulu, oke. Nanti lo nggak bisa makan kalo gue ngomong." Juan masih mempertahankan senyumnya.

Akhirnya, Uli menurut. Ia makan sambil terus bertanya-tanya tentang kalimat yang ia ucapkan dulu. Namun, seberapa keras pun berpikir, ia tetap tidak bisa menemukan jawabannya.

Setelah menyelesaikan makan, Uli langsung buru-buru bertanya, "Jadi, gue bilang apa?"

Juan tersenyum tipis. "Kalo udah gede, kamu harus nikah sama aku. Kata bocil enam tahun di depan pohon natal."

Wajah Uli kontan memerah. Ia ingat kalimat itu. Ia tahu kalau Juan tidak berbohong. Kini ia harus menanggung malu dari perbuatan yang dilakukan tanpa pikir panjang. Ya, bocah mana yang bisa memprediksi kalau kalimatnya di usia enam tahun, bisa membuatnya malu setengah mati di umur dua puluh tujuh tahun lebih sedikit.

Juan tersenyum penuh arti. Kemudian ia mengeluarkan sebuah kotak dan membukanya di depan Uli.

Gadis bermata besar itu sudah membelalak, ia tidak menduga kalau akan mendapat hadiah ketika akan menyatakan keputusannya yang mungkin akan di luar nalar. "Ini maksudnya?"

Juan menatap gelang yang ada di kotak dan gelang yang masih digunakan Uli. "Gue denger, gelang yang lo pake, itu dari Nael."

Uli hampir kehabisan kata. Ia sudah siap menjelaskan, tetapi semua kata seolah-olah tertahan dan tidak diizinkan keluar dari tenggorokannya.

"Nggak usah kaget. Lo pasti tahu, gue tahu dari siapa." Juan menarik napas pelan. "Gue mau minta kesempatan buat ganti gelang yang ada di tangan lo."

Uli menatap gelang yang masih melingkar di tangannya. Kemudian, tatapannya beralih pada cincin yang diberikan Juan pada saat ulang tahunnya. Bukannya melepas gelang pemberian Nael, Uli malah menyentuh cincin dari Juan. Dengan perlahan, ia melepaskan cincin itu dan menggenggamnya erat, sebelum menyerahkannya pada laki-laki yang ada di hadapannya. "Juan, maaf. Gue sama sekali nggak bermaksud jahat sama lo, tapi gue nggak bisa terima hadiah dari lo."

Bukannya menunjukkan ekspresi kecewa, Juan malah menerima cincin Uli dan menutup kotak gelang yang ia pegang. "Nggak apa-apa. Sebenarnya gue udah duga, sih."

Uli langsung merasa bersalah. "Udah duga?"

Juan mengangguk. "Siapapun yang lihat cara lo ngomong sama Nael, pasti tau kalo kalian punya ikatan yang buktinya nggak bisa gue tembus. Gue udah berusaha dan akhirnya tahu hasilnya. Gue harap lo sama Nael juga mau berusaha. Terima kasih udah jadi temen gue dari zaman bocah, sampe sekarang. Gue menghargai semua kenangan yang kita buat bareng-bareng."

Uli menatap Juan, ia tidak menemukan kebohongan dari kalimat yang Juan ucapkan. Laki-laki itu benar-benar tulus.

"Untuk urusan keluarga, nanti gue bakal jelasin pelan-pelan ke orang tua gue. Kalo harus, gue juga bisa ke rumah lo buat ketemu sama Tulang dan jelasin kondisi kita."

"Makasih, Juan."

Juan tersenyum, tetapi matanya tidak bisa berbohong. Ada sorot kecewa yang luar biasa terpancar dari mata cokelat miliknya. "Makasih juga. Seenggaknya gue udah ketemu sama temen kecil gue."

Uli sedikit lega. Satu bebannya terangkat begitu saja. Ia tidak menduga kalau Juan sedewasa itu. Ia juga tidak menduga, tanpa perlu repot menjelaskan, ia malah mendapat jawaban dengan mudah.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang