15. Oh No!

82 12 0
                                    

Uli kira, gonjang-ganjing perasaannya akan berakhir begitu pagi tiba, tetapi dugaannya salah. Ia malah dibuat tambah pusing ketika kedua laki-laki yang mengirimkan pesan semalam, kompak mengirim pesan di pagi hari. Isi pesan keduanya juga hampir serupa. Menawarkan jemputan untuknya. Beruntung, selain dua laki-laki yang membuatnya pusing, ada satu pesan lain yang masuk dari musuh bebuyutannya, alias Pattar. Jika semalam ia langsung melewati pesan dari abang sepupunya itu, kini Uli malah buru-buru membalas pesan Pattar lebih dulu.

Setelah mengirim pesan pada abang sepupunya, gadis berbaju tidur itu langsung beranjak ke kamar mandi. Soalnya, berbeda dengan Petra yang memiliki kesabaran seluas samudera, Pattar punya level kesabaran setipis tisu dibagi dua puluh. Kalau Uli tidak siap ketika abang sepupunya tiba, bisa-bisa gadis berponi itu harus repot menunggu ojek online plus bakal kena repetan Mamak dan Bapak.

"Tumben, pagi kali kau udah siap?" Bapak bertanya setelah betemu Uli sebelum membawa kopi ke teras.

Uli auto cengar-cengir. "Hari ini yang jemput Si Kampret, eh, maksudnya Pattar. Kalo nggak siap, bisa-bisa aku ditinggal."

"Lho, katanya Juan mau jemput kau semalam. Kok malah pergi sama Pattar?" Bapak menaikkan satu alis dan menatap Uli curiga.

Uli yang sudah berpakaian rapi, langsung sibuk mencari alasan paling masuk akal. Ia juga mendengar percakapan Bapak dan Juan tentang acara jemput menjemput. Dengan sopan dan penuh perhatian, Juan juga sudah meminta izin pada Bapak, tetapi Uli merasa tidak adil kalau harus memilih salah satu dari Juan atau Nael, akhirnya ia menggunakan kartu As-nya. Meski sering menyebalkan, hanya Pattar yang bisa bersikap se-netral mungkin jika sudah membicarakan soal Nael.

"Ah, iya. Aku ada kerjaan mendadak, jadi harus berangkat lebih pagi. Kebetulan Bang Pattar juga ada kegiatan pagi banget. Makanya bareng. Kasian Juan kalo harus pagi-pagi ke sini." Dalam hati, Uli tengah memohon ampun pada Tuhan atas kebohongan yang sudah ia karang. Namun, ia buru-buru mengoreksi kalau kata-katanya tidak sepenuhnya bohong, ia memang ada pekerjaan mendadak, yaitu menghindari dua laki-laki yang memiliki potensi membuatnya sakit kepala.

"Oh, gitunya. Ya sudah, sarapan dululah kau. Kalo Pattar biasanya malas dia sarapan."

Uli langsung mengembuskan napas lega begitu berhasil melewati Bapak. Ia memakan sarapannya dengan cepat. Untungnya Mamak memang doyan bangun pagi-pagi, jadi Uli bisa berangkat ke kantor dengan perut kenyang.

Ketika Uli menyalami Mamak untuk pamit berangkat, wanita berdaster bunga-bunga itu mendekat dan berbisik pada Uli, "Bilang sama Nael, ya, terima kasih kadonya. Semalam Bapak nggak mau kasih titipan Nael ke kau, katanya takut kau malah jadi lagi sama dia. Ternyata pas udah dibuka, ada catatannya di bungkus kadonya. Satu buat Mamak, satu lagi buat Bapak."

Uli hanya bisa tersenyum kecut ketika mendengar laporan dari Mamak. Padahal kemarin-kemarin Mamak paling anti pada Nael, begitu dapat sogokan, eh, malah langsung putar haluan. Atau jangan-jangan selama ini Mamak hanya pura-pura tidak menyukai Nael hanya karena latar belakang keluarganya?

"Tadinya Mamak mau hubungi sendiri, tapi kan nggak punya nomornya. Tolonglah kau sampaikan terima kasih dari kami, ya."

Uli mengangguk, kemudian ia buru-buru berlari begitu mendengar suara klakson. Tidak lupa, Uli pamitan pada Bapak yang sudah duduk manis di teras rumah.

"Hati-hati kau." Bapak bicara pada Pattar yang tengah melepaskan pengait helm.

"Siap, Uda." Laki-laki yang mengenakan jaket kulit itu memakaikan helm ke adik sepupunya sambil menjawab sapaan dari pamannya.

"Sakit, tahu!" Uli mengaduh ketika Pattar memukul helm setelah selesai memasangkannya di kepala Uli.

"Makanya jangan manja, lo udah tua. Masa udah 27 tahun lebih, pake helm aja masih nggak bisa sendiri."

Uli yang sudah siap naik ke atas motor, langsung mengurungkan niat. Ia berjalan mengitari motor dan berhenti tepat di depan Pattar. Ia berkacak pinggang dan alisnya mengkerut sempurna. "Bukannnya nggak bisa pake helm. Dasar helm lo aja udah kelewat butut. Sampe susah banget dipasang. Heh! Enak banget ya, ngatain tua! Sekarang gue tanya, tuaan lo apa gue?"

Bukannya menjawab, Pattar malah mengajukan pertanyaan lain. "Lo mau dianter atau gue tinggal sekalian?"

Uli yang sudah siap murka malah jadi tidak punya pilihan. Ia berniat mengadu pada Bapak, tetapi ia keburu disambut pelototan yang membuatnya urung melakukan pengaduan. Dengan wajah pasrah, tetapi diselimuti ketidakrelaan, Uli akhirnya naik ke motor.

"Berangkat dulu, Uda."

Bapak mengangguk, kemudian menatap Uli dengan tatapan tidak ramah. "Jangan berantam kalian. Jangan lawan ito-mu."

Bukannya menjawab, Uli hanya mengangguk sebagai formalitas.

Motor yang dikendarai Pattar melaju dengan kecepatan normal. Uli agak heran karena biasanya, abang sepupunya itu hobi kejar-kejaran dengan malaikat maut. Kecepatan 80 km/jam saja dianggap kecepatan normal bagi abang sepupunya. Namun, gadis itu langsung tahu alasannya segera setelah ia bertanya-tanya dalam hati.

"Gue liat Nael semalem. Nunggu lo depan gerbang."

Biasanya, ketika dibonceng oleh Pattra, Uli akan menjadi budeg seketika, soalnya kecepatan motor Pattar lebih cepat daripada kecepatan rambat suara. Jadi, Uli hanya bisa ber-hah hah ria. Namun, kali ini ia bisa mendengar kalimat abang sepupunya dengan jelas.

"Ketemu nggak?"

"Bisa dibilang ketemu, bisa juga enggak."

Pattar melambatkan laju motornya karena di depan mereka lampu merah. "Kok, bisa gitu?"

"Dia ngobrol sama Bapak, nggak ketemu gue. Cuma sempet liat-liatan doang."

Tanpa aba-aba, Pattar menarik rem secara mendadak. Kontan Uli merosot ke arah abang sepupunya dan tidak menyisakan jarak.

Satu pukulan mendarat di punggung Pattar. "Lo kalo ngerem bisa agak beretika dikit nggak, sih? Gue ini adek lo, ya! Bukan cewek-cewek yang biasa lo bonceng!"

Seruan Uli langsung dihentikan karena Pattar keburu memukul helm adik sepupunya. "Mulut lo kayak nggak pernah disekolahin! Ya, gue kagetlah. Bisa-bisanya Nael ngobrol sama Uda. Enggak dibawain parang, tuh?"

Uli memutar bola matanya malas. "Lo kira, lo aja yang kaget? Gue juga."

Setelah lampu berubah hijau, Uli mulai bercerita tentang kejadian semalam secara detail. Ia tidak menyisakan apapun.

"Wah, pake pelet apaan tuh orang? Perlu gue tanya kayaknya." Pattar malah manggut-manggut.

Kini pukulan Uli tidak lagi menyasar pada punggung abang sepupunya, tetapi pada helm. "Bisa fokus nggak, sih!"

"Bisa. Justru gue lagi fokus banget ini. Gue kira, Uda bakalan ngamuk atau minimal ngusirlah. Lah, kok, malah pake acara ngobrol bareng segala."

"Emang lo kira Bapak sekejam itu apa?"

"Kalo diliat dari masa lalu, ngamuk atau ngusir nggak bakal keliatan kejam kali."

Uli terdiam. Ia menahan diri agar ingatan lampau yang penuh kenangan buruk itu tidak datang menyerangnya. "Kalo menurut lo, Nael ada kesempatan nggak?"

"Kalo ngeliat sejarahnya, enggak." Pattar menjeda kalimatnya cukup lama. "Emang lo mau berjuang sama Nael? Bukannya lo yang dulu ngelepas dia gitu aja?"

Uli kembali diam. Kepalanya dipenuhi banyak tanya. Apakah ia mau berjuang bersama Nael? Apakah ia tidak akan melepasnya seperti dahulu? Atau ia akan memilih jalan termudah dengan mencoba menjalani perkenalan yang sudah diatur keluarganya? Apakah hasilnya akan berbeda kalau ia memilih Juan dan bukan Nael?

Pattar turun dari motor setelah memasang standar dengan yakin. Ia tersenyum, kemudian melepaskan helm yang digunakan adik sepupunya yang masih melamun di tempatnya. "Oy. Mikirin apa sih? Nael atau Juan, gitu? Emang lo kira Juan mau sama lo? Bisa aja dia cuma menghargai keluarganya aja makanya mau dikenalin sama lo yang, ya, lo, tahu. Pariban."

Benar juga, Uli tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Bisa saja Juan hanya bersikap ramah padanya. Bisa saja Juan hanya menganggapnya adik.

Semua kemungkinan sangat mungkin terjadi, kini hanya dirinya sendiri yang bisa memilih jalan mana yang akan ia tempuh.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang