19.

48 3 1
                                    

“So, who is Dewa?”

Baru saja tiba, Javas sudah disambut pertanyaan aneh dari rekan kerjanya. Hari ini Javas ada jadwal syuting sebagai model video klip lagu terbaru dari seorang penyanyi papan atas, Julian Gabriel.

“What do you mean?” tanyanya tak mengerti dengan maksud pria itu

“you’r trending on twitter now”

“Why?”

“Kenapa jadi nanya gue? Siapa Dewa?”

“Lo kenal Sadewa?”

“ahhhh, so his name Sadewa? Lagi mau cobain batangan apa gimana?”

Julian tersenyum tipis ketika bertanya pada Javas. Dan lagi lagi pertanyaan itu. Javas rasanya sudah muak mendengar hal semacam itu dari mulut orang-orang disekitarnya.

Memang, yang tahu perihal orientasi seksualnya hanya segilintir orang terdekatnya, itulah kenapa Javas sering kali merasa muak dengan pujian ataupun kalimat memuja dari fans nya. Mereka melakukan itu hanya karena belum mengetahui siapa Javas yang sebenarnya kan? Setelah nanti mereka tahu, mereka akan pergi dan mencaci.

Baru akan mengambil posel dikantung celananya untuk mengecek ucapan Julian tadi, Chelsea sudah memanggil Javas untuk segera bersiap. Kakinya segera melangkah ke arah asistennya itu setelah tadi pamit pada Julian yang  tengah sibuk dengan kertas ditangannya.

___

“Jav Jav, ada aja tingkah lo” Yudhis yang tengah berada di sebuah coffee shop bersama Hansen hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat kehebohan yang terjadi di social media.

“Kenapa lagi dia?” Tanya Hansen yang belum melihat beritanya sama sekali.

“Postingan Dewa dari seminggu lalu di like sama dia hari ini”

“salahnya dimana?”

“Duh gue lupa lo sama begonya kaya Javas”
Hansen melemparkan tissue ketika mendengar ucapan Yudhis.

“Javas yang selama ini gak pernah like postingan orang kecuali temen-temen atau keluarganya terus tiba-tiba dia like postingan seminggu yang lalu dari orang asing? Apakah menurut lo wajar?”

“Of course. Apa yang salah dari like postingan orang? Lagian juga Javas sama Dewa udah saling kenal. Justru yang aneh adalah orang-orang yang heboh Cuma karena hal kaya gitu, kurang kerjaan banget dah”

“Percuma gue bahas ginian sama lo, mending gue pergi ke café ka Ghara”

Setelah mengatakan itu, Yudhis beranjak dari tempat itu, meninggalkan Hansen yang sibuk dengan makanan dihadapannya.

___

Siapa yang bisa mengukur seberapa dalam perasaan seseorang? Siapa yang bisa menebak isi hati dan pikiran seseorang? Jawabannya tidak ada. Tidak akan pernah ada selain Tuhan. Bahkan kita sendiri pun terkadang masih sangat sulit memahami isi hati dan pikiran kita sendiri.

Dewa mencengkram setir mobilnya dengan perasaan berkecamuk. Marah, sedih, ingin teriak, ingin menangis, ingin meluapkan semua hal yang berusaha dia pendam selama ini, ingin menumpahkan air matanya dan meraung mengadu pada semesta untuk segala kesakitan yang selama ini dia rasa. Namun lagi-lagi, Dewa memilih untuk menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiran dan perasaannya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja, meyakinkan dirinya bahwa Haidar tak pernah bermaksud untuk menyakitinya, ia hanya sedang kalut dengan perasaannya dan secara tidak sengaja meluapkan itu pada Dewa.

Setelah menempuh perjalan kurang lebih 30 menit, akhirnya Dewa tida di café Ghara. Tadi saat Dewa masih di kampus, dia menghubungi Mahes untuk bertemu disini.

Kakinya melangkah masuk setelah tadi memarkirkan mobilnya. Matanya mengedar mencari keberadaan sahabatnya itu. Setelah menemukan Mahes yang tengah asik tertawa dengan Ghara, Dewa berjalan ke arah mereka. Tanpa banyak kata atau sekedar menyapa, dia langsung mendudukkan dirinya disamping Mahes. Mahes yang menyadari kedatangan sahabatnya itu dan melihat raut lelah dari wajahnya langsung menyodorkan minuman pada Dewa.

“Lagi banyak tugas dek?”

Tanya Ghara lembut. Saghara Adiyaksa, sosok laki-laki dengan pemikiran yang dewasa. Pembawaannya yang tenang membuat Mahes atapun Dewa merasa nyaman berada disekitar lelaki itu. Tak pernah keduanya melihat Ghara marah, bahkan saat Yudhis bersikap sangat menyebalkan pun, dia hanya akan tersenyum dan memberikan pengertian. Itulah yang membuat Mahes dan Dewa berjanji untuk selalu menjaga Ghara, memastikan kebahagiaan lelaki yang telah mereka anggap sebagai kakak tertua bagi mereka berdua.

“Bukan tentang tugas kak”

“Haidar?”

Telak. Entah bagaiman, tapi Mahes selalu bisa menebak dengan benar masalah yang sedang Dewa hadapi, seolah dia adalah sebuah buku cerita yang sudah terbaca isinya seperti apa.

Mendengar tak ada jawaban, mahes menghela napasnya, melakukan hal yang sama dengan Dewa, melempar kepalanya pada sandaran sofa.

“Kenapa lagi dia?” Ghara kembali melontarkan pertanyaan

Tak mendengar jawaban dari orang disampingnya, Mahes melirik sebentar dan terkejut ketika melihat setetes air mengalir dari kelopak mata Dewa yang tengah terpejam. Pundak sahabatnya itu terlihat bergetar. Mahes langsung menegakkan tubuhnya, menarik Dewa dalam pelukan, memberikan usapan perlahan pada punggung pria itu.

“Dia ngomong apalagi sama lo?”

Mahes menjauhkan tubuh dewa ketika melihat pria itu sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

“Dia maksa lo lagi? Bilang lo sok jual mahal lagi karena gak mau sama dia? Ngerendahin lo lagi?”

Mendengar pertanyaan beruntun dari Mahes membuat Dewa kembali meloloskan air matanya. Kejadian di kantin tadi, serta kejadian kejadian sebelumnya kembali terlintas bagai potongan film. Dewa berusaha menenangkan dirinya, mencari pegangan agar tetap bisa berdiri tegak.

“Gue tadi ngomong jahat sama Haidar. Gue bilang kalo perasaan dia ke gue Cuma obsesi semata. Gue bilang kalo selama ini perjuangan dia gak nyata”

Dewa tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dadanya sesak sungguh. Rasanya seperti ada tali tak kasat mata yang tengah melilitnya, membuatnya mengepalkan tangan dan mengarahkan pada dadanya, berharap mendapatkan sedikit rasa lega.

“Itu gak jahat. Dewa denger gue”

Mahes menarik tangan sahabatnya dan meminta dewa untuk menatap padanya.

“Lo gak jahat, lo Cuma kasih dia fakta yang selama ini gak pernah dia sadari. Lo gak jahat, lo Cuma berusaha bikin dia sadar. Yang jahat itu dia yang dengan gampangnya rendahin lo Cuma karena perasaannya gak dibales. Yang jahat itu dia yang dengan teganya bikin berita aneh tentang lo sampe lo jadi bahan omongan satu kampus. Yang jahat itu dia, bukan lo”

“Enggak, yang jahat itu gue Mahes. Dia dan haidar bener, gue gak tahu terima kasih udah dicintai sebegitu besarnya tapi malah nyakitin mereka. Harusnya gue bersyukur kan, disaat bahkan keluarga gue sendiri aja udah buang gue karena orientasi seksual gue, mereka masih dengan besar hati mau nerima gue dihidup mereka. Mereka bener, gak bakal ada orang yang bisa nerima dan mencintai gue, sebesar mereka mencintai dan menginginkan gue. Mereka bener Mahes, gue yang salah”

Mahes dan Ghara saling menatap melihat sahabat mereka menangis penuh kesakitan. Mereka berdua tak lagi berusaha menenangkan Dewa, mereka membiarkan pria itu selesai dengan rasa sakitnya. Membiarkannya menumpahkan segala bisikan jahat yang selama ini bersarang dalam kepalanya.




🐱🐥




Waw 1000+ word. ini udah mulai masuk konflik ya jadi maaf kalo agak panjang dan membosankan. Bacanya pelan-pelan aja biar dapet feel nya ❣️

Very welcome untuk kritik dan saran
Thank you 🙌🏻

RumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang