Chapter 15: The World Without Law (IV)

27 2 0
                                    

"Kecuali kalau kalian adalah orang yang baik, kalian mungkin akan membantu mereka."

Sebelum melangkah pria bertopeng itu menambahkan, "Tapi jangan membawa anak-anak."

"...."

"Om, apa Om baik-baik saja?"

Naira memegangi punggung Altair dengan perasaan khawatir.

Altair terbatuk sekali, kemudian berusaha bangkit dengan napas terengah-engah.

"Y-ya, aku tidak apa-apa," ucapnya dengan ekspresi menahan sakit.

"Altair?"

"Aku tidak apa-apa."

Saat Gisella hendak mendekat, Altair menegaskan bahwa dia baik-baik saja.

Altair tidak memahami maksud dari perkataan pria bertopeng barusan, satu-satunya cara untuk memastikannya adalah dengan memeriksanya sendiri.

"Apa-apaan ini?"

Altair dikejutkan oleh pemandangan yang begitu mengerikan. Semburat cahaya menyinari lewat sela-sela ventilasi, memperlihatkan ruangan bercat merah alami, berbau amis. Tak bisa dihitung serpihan tubuh manusia yang bergelimpangan di atas lantai di antara genangan merah yang sudah mengental, sungguh penampakan yang begitu memuakkan dan bengis. Mengingat seberapa kuat satu serangan dari pria bertopeng itu, Altair tidak bisa membayangkan, bagaimana caranya dia membantai orang-orang itu.

Satu—dua orang terlihat masih bernapas sesenggukan tanpa lengan dan kaki, dibiarkan mati perlahan-lahan dengan rasa sakit yang pelan-pelan menuntun pada kematian yang tidak terelakkan.

"Jangan-jangan?"

Altair menyadari suatu hal, ia berasumsi bahwa pria bertopeng itulah yang dimaksud oleh Avreia untuk tidak dijadikan sebagai musuh. Kalau dilihat dari seberapa kuatnya, pantas saja Avreia memperingatinya. 

Atau ada yang jauh lebih kuat?

"Ini diluar dugaanku."

Suara Ayudia terdengar bergetar.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Awalnya, balas dendam," jawab Ayudia. "Aku merasa puas, sepertinya."

Ayudia berjalan mendekati seorang pria di pojok ruangan yang sudah bermandikan darah dan masih bernapas.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

Altair mengamati, apakah dia akan mengakhiri penderitaan pria itu atau membiarkannya mati secara perlahan. Entah mengapa, keduanya terdengar keji. Meski dirinya sendiri sudah membunuh banyak orang dengan cara yang sama, Altair tidak membiarkan mereka hidup.

Ayudia mengeluarkan sebilah belati dan dengan cepat menebas tenggorokan pria itu.

Meski memiliki dendam di dalam hatinya, Ayudia masih memiliki rasa kemanusiaan, sehingga tidak tega membiarkan orang itu mati dengan cara yang menyakitkan secara perlahan-lahan.

Altair tidak memasang ekspresi apapun saat melihatnya.

"Lalu di mana mereka menyekap para wanita?" tanya Altair.

"Mungkin mereka sudah diselamatkan oleh dua orang tadi dan pergi lebih dulu."

Altair menaruh curiga pada wanita di hadapannya saat itu, ketenangan yang terpampang di wajahnya tidak bisa dikatakan normal. Dia terlalu tenang dalam situasi semacam ini, seakan sudah terbiasa.

"Itu benar."

Altair menyarungkan pedang. Meski merasa agak janggal karena hanya terlihat pria bertopeng itu berdua dengan rekannya. Altair tidak ingin membahas hal tidak penting. Kalau asumsinya benar, dirinya patut bersyukur karena pria bertopeng itu bukanlah musuh. Kemungkinan para wanita yang ditawan sudah melarikan diri lebih dulu saat pria bertopeng dan rekannya sedang melakukan looting.

Era Of RebirthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang