Chapter 19: Desire, disease, curse, fate

22 3 0
                                    

Saat sesendok kecil mencapai lidahnya, Avreia terpejam dengan ekspresi kegirangan, menikmati setiap tetes kuah sup yang dituangkan ke dalam mulutnya dengan penuh kehati-hatian, rasa asin yang khas, aroma sedap, perpaduan rempah-rempah Indonesia meleleh di dalam mulutnya.

Avreia tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya.

"Sedapnya, ini pertama kalinya aku menikmati rasa seperti ini."

Gisella tersenyum atas pujian itu.

"Terima kasih atas pujiannya."

Merasa jengkel dengan kehadiran peri itu, Altair berkomentar, "Tapi, tidak ada yang gratis di dunia ini, bukankah begitu?"

Avreia mengerutkan kening dengan tatapan kesal, lalu melirik sang koki saat berkata, "Gisella, ini gratis, kan?"

"Eh?" Gisella tidak bisa menjawabnya dengan spontan, dia menoleh ke kiri dan ke kanan, bingung ingin memihak siapa sebelum memutuskan, "Ya."

"Lihat?" Avreia menyeringai, membalas tatapan datar Altair.

Tidak berselang lama, Gisella menambahkan, "Tapi, tidak untukmu."

Avreia tidak bisa berkata-kata dengan kondisi mulut menganga, dikhianati oleh harapannya sendiri.

"Baiklah, baiklah, terserah kalian. Lagi pula aku tidak akan rugi."

"Fey, fey!" Naira mendekati Avreia dengan penasaran, memintanya untuk mengubah sendok menjadi kecil seperti yang dilakukan Avreia dengan sendok dan mangkuknya.

"Ini milikku, bukan diperkecil." Melihat ekspresi mata Naira membuat Avreia merasa tidak tega untuk mengabaikannya dan mau tidak mau memunculkan sendok dan mangkuk kecil dari ketiadaan, membuat semua yang melihatnya terus dibuat terkejut.

"Keren!?"

Beberapa menit kemudian, setelah Avreia menyelesaikan makan malamnya. Altair meminta bayaran, "Kau harus membayarnya."

Avreia menghela napas dengan malas sebelum menjawab.

"Baiklah, apa yang kau mau?"

"Sepuluh ribu koin." Altair menjawab dengan wajah sedatar tembok.

"Kau mau jadi abu?"

"Bercanda."

Saat dia berkata seperti itu, semuanya hanya memasang ekspresi datar setelah mengetahui bahwa itu adalah gurauan.

Altair melanjutkan, "Ah, baiklah. Langsung ke intinya, apa yang menyebabkan manusia bisa berubah menjadi monster?"

"Maksudmu jawabannya adalah bayaran untuk makananku?"

"Ya."

"Baiklah." Avreia terbang sambil menyilang kedua kakinya di udara. "Kalian juga sudah melihatnya, jadi tidak masalah kalau kuberitahu."

Semuanya memerhatikan dengan serius.

"Aku tidak akan memberitahu kalian tentang abyss, karena cepat atau lambat kalian akan mendapatkan jawabannya sendiri. Dan untuk jawaban dari pertanyaanmu, itu memiliki banyak sebutan, karena tidak ada nama yang resmi untuk itu; ada yang menyebutnya sebagai kutukan, penyakit, parasit, dan sebagainya."

"Di duniaku, kami menyebutnya sebagai, 'abyssal desire' keinginan terdalam umat manusia."

Altair mengerutkan keningnya, dugaan mereka tidak sepenuhnya salah. Akar-akar hitam yang membuat manusia menjadi monster itu mungkin bisa dikatakan sebagai sejenis parasit ekstraterestrial yang menjangkiti dan mengambil kendali tubuh inangnya.

Tapi, "desire" keinginan yang dimaksud oleh Avreia masih menjadi pertanyaan.

"Kenapa desire?" Altair bertanya sebab penasaran. "Apa alasan yang menjadikan keinginan sebagai awal gejalanya?"

Era Of RebirthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang