Bianca berjalan hilir mudik di koridor rumah sakit, dirinya gelisah memikirkan Rio yang sedang menjalani operasi. Sena telah menceritakan apa yang terjadi, gadis itu terlihat sungguh terguncang.
Setelah kejadian tersebut, sebuah mobil melintas dan berbaik hati mengantarkan mereka ke rumah sakit, setelah itu Sena menelpon Dion, satu-satunya yang terpikirkan oleh Sena. Dion juga yang telah memberitau Bianca serta kedua orang tua Rio. Sekarang orang tua Rio sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Sedangkan Sena, gadis itu semenjak tadi tak berani untuk masuk kedalam rumah sakit. Ia terus menunggu di halaman rumah sakit, duduk merenung sendirian di bangku taman yang memang disediakan oleh pihak rumah sakit. Sudah berulangkali Bianca membujuknya untuk ikut masuk, namun Sena terus menolak.
"Gue nunggu disini aja sampai dia sadar. Gue nggak suka suasana rumah sakit." Selalu itu yang menjadi jawaban Sena. Seperti Sena, Bianca juga tak menyukai suasananya, terkesan seram dan banyak penderitaan. Dipenuhi oleh orang yang sakit, bagaimana mungkin tercipta kebahagiaan.
"Bagaimana Rio?" Seorang wanita menghampiri Dion, Bianca mengenalnya sebagai Tante Evelyn, Mama Rio. Bianca belum pernah bertemunya secara langsung, Tante Evelyn sangat cantik, sungguh modis penampilannya di usianya yang terbilang tak muda lagi. Dari sekilas saja langsung terlihat betapa miripnya Rio dengan mamanya itu. Disebelah Tante Evelyn, Oom Rudi bersamanya nampak cemas mendengar berita kecelakaan Rio.
"Belum ada kabar dari dokter, tante tunggu saja." Ujar Dion. Sahabat Rio itu pun tak kalah cemas.
Sudah lebih dari 3 jam dokter berada di ruang operasi, tak ada tanda-tanda akan selesai. Bianca masih melanjutkan kegiatannya berjalan bolak-balik di koridor. Jika diam, ia akan semakin gelisah.
"Bianca! Lo bisa diem nggak?! Gue pusing liat lo tau!" Protes Dion. Tak ingin cari ribut, Bianca akhirnya duduk disebelah Dion. Cewek itu berkomat-kamit memancarkan doa kepada Tuhan supaya Rio baik-baik saja.
Tante Evelyn diam saja di kursinya, namun ekspresi wajahnya nampak khawatir. Sedangkan Oom Rudi terlihat jauh lebih tenang, ia berusaha menenangkan istrinya. Walaupun orang tua Rio dingin, ternyata mereka menghawatirkan Rio juga.
Lampu ruang operasi telah mati, seorang dokter dengan pakaian operasi berwrna hijau keluar dari ruang operasi. Seketika, kedua orang tua Rio serta Dion dan Bianca menghampirinya. "Bagaimana keadaan anak saya, dok?" Tanya Oom Rudi.
Dokter laki-laki berwajah ramah itu tersenyum menenangkan, "Dia belum sadarkan diri. Tapi, dia pasti baik-baik saja. Kita kehabisan stok darah O. Siapa disini yang bergolongan darah O dan bersedia mendonorkan darahnya untuk pasien?"
Oom Rudi menggeleng, "Saya AB dan istri saya A. Kita tidak bisa." Tante Evelyn terisak, tapi wanita itu berusaha untuk menutupi tangisnya.
"Maaf Oom, saya A." Ujar Dion parau.
"Gue O!" Seru Bianca. "Saya yang akan donor, Dok!"
Dokter menggeleng ketika melihat Bianca, "Pendonor yang berumur kurang dari 17 tahun dilarang." Sepertinya ia menyadari ketika melihat seragam SMA yang masih digunakan Bianca.
"Tapi kenapa? Saya sehat dan bisa mendonor." Protes Bianca.
"Maaf, kita tak bisa membahayakan nyawa pendonor. Pendonor harus lebih dari 17 tahun, setelah itu baru bisa mengikuti tes apakah cukup sehat untuk mendonorkan darahnya." Jelas Pak Dokter.
Bianca langsung tertunduk lesu, begitu pula yang lainnya. Sekarang, dimana mereka bisa mendapatkan darah O secepat mungkin untuk Rio?!
"Alex!" Seru Dion tiba-tiba. "Gue yakin dia O. Dia pasti mau donor untuk Rio."
"Ayo jemput Alex sekarang!" Seru Bianca. Kini ada secercah harapan untuk mereka. Dion mengangguk.
"Tante, Om, Kita permisi dulu." Dion berlari keluar rumah sakit diiringi Bianca.
-------------------------
Sena tak tau, sudah berapa lama waktu yang dihabiskan Sena untuk memandang langit sore itu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, orang-orang yang sakit dan para penjenguknya di rumah sakit ini hampir semuanya memancarkan kesedihan, tak ada yang peduli, betapa menderitanya perasaan Sena saat itu. Hal itu membuat Sena merasa lebih baik.
"Sena!" Suara Bianca mengagetkannya. Dilihatnya Bianda dan Dion berlari menghampirinya. "Kita mau ke rumah Alex. Rio butuh donor darah O. Golongan darah lo apa? Tapi udahlah, yang belum 17 tahun nggak boleh donor."
Sena menggeleng. "Gue A. Orangtua Rio?"
Kini, Bianca yang menggeleng, "Nyokapnya A, bokapnya AB."
Sena mengernyitkan dahi, dirinya kembali teringat tentang pelajaran Hukum Mendel yang pernah dipelajarinya ketika SMP. Bianca tak memberikannya kesempatan berbicara karena gadis itu langsung menarik Dion untuk pergi, "Gue pergi dulu! Mending lo masuk aja! Ntar gue kabari Sophia."
"Bi! Kenapa lo nggak telpon Alex aja?!" Sena melambaikan tangannya karena Bianca sudah berjalan lumayan jauh.
"Biar cepat!" Seru Bianca. Gadis itu dan Dion kini telah pergi keluar rumah sakit. Sena tak mengerti cara pikir Bianca.
"Senaa!!" Seorang perempuan melambai kepada Sena dari arah gerbang, dari jarak sejauh itu Sena bisa mengenali bahwa perempuan itu adalah Pia. Pia berlari menghampiri Sena yang tengah duduk sendirian. Cewek itu langsung kemari begitu mendengar kabar dari Bianca tentang Rio. "Lo nggak masuk?"
Sena menggeleng lemah, "Di dalam ada Oom Rudi, gue nggak bisa masuk. Tolong lihat keadaan Rio buat gue ya."
Pia turut sedih dengan keadaan Sena, "Oke, Sen. Secepatnya gue akan balik untuk nemenin elo." Ujarnya. Sena mengangguk. Setelah itu, Pia masuk ke dalam rumah sakit meninggalkan Sena yang masih larut dalam pikirannya.
Sena melihat seorang perempuan paruh baya keluar dari dalam rumah sakit, ia duduk di bangku taman tak jauh dari tempat Sena berada. Cukup lama Sena memperhatikan wanita tersebut, ia tampak sedih dan letih. Sena mengerti perasaan wanita itu, bagaimana sedihnya jika ada orang yang kau sayangi sakit.
Semakin diperhatikan, semakin Sena merasa kalau wanita itu terasa mirip dengan seseorang. Baru ketika mendekatinya Sena menyadari mirip siapa wanita tersebut.
"Tante Evelyn?" Sena memastikan kalau wanita ini memang adalah ibu Rio.
"Ya? Kamu siapa?" Tanya Tante Evelyn.
"Saya Selena, teman Rio." Jawab Sena. Gadis itu duduk disebelah tante Evelyn.
Tante Evelyn tersenyum sekilas, "Kalau kamu mau jenguk Rio, masuk saja ke dalam. Papanya ada disana."
Sena menggeleng. "Aku mau tunggu disini saja." Tante Evelyn hanya mengangguk. Hanya melihatnya sekali saja langsung terlihat kalau Mama Rio ini bukanlah orang yang ramah, namun Sena memakluminya mengingat anak semata wayangnya sekarang tengah kritis.
"Tante.." Ujar Sena setelah melewati jeda waktu yang panjang dalam kebisuan. "Saya ingin bertanya satu hal kepada Tante."
"Apa?" Tanya Tante Evelyn.
Sena melambatkan setiap kata yang diucapkannya, takut membuat wanita itu tersinggung, "Sebenarnya... Rio itu anak siapa?"
---------------------
Nah yo! bentar lagi kelar nih cerita
saya masih tunggu vote dan commentnya yah
Vote + comment kalian itu penambah semangat saya
hehesalam
author ketjeh~
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour
RomanceSelena sang murid teladan bertemu dengan Rio sang Playboy yang kesepian. Pertaruhan dibuat hingga mereka terpaksa untuk saling menaklukkan satu sama lain. Ketika cinta tiba-tiba datang dan kenyataan pahit menunggu mereka. Apakah yang sebaiknya merek...