Part 5 : Pertemuan Kedua

269 12 2
                                    

Sena mengetuk-ngetukkan kakinya dengan tidak sabar, ia sudah pasti terlambat sekolah jika tidak tiba di sekolah dalam 10 menit. Sedangkan bus yang ditunggunya tak kunjung datang juga. Sena mendesah, menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah. Seumur hidupnya belum pernah sekalipun Sena terlambat sekolah, Sena adalah murid yang baik dan selalu disiplin. Apa kata ibunya nanti jika ia ketahuan terlambat.

Sena kesal sekali, Pia meninggalkannya duluan ke sekolah. Karena tadi Sena tak kunjung selesai mandi. Itu memang kebiasaan buruk Sena, ia lama sekali kalau disuruh mandi atau makan. Lebih cepat menjawab soal matematika ketimbang makan.

Seharusnya tadi Sena tidak bersantai-santai ketika makan, ia jadi menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya. Sudah sepantasnya Pia kesal, karena jika Pia menunggu Sena, ia juga bisa terancam datang terlambat ke sekolah.

Sena melirik ke kanan dan kiri, ia bertekad untuk masuk ke dalam Bis pertama yang datang. Tak boleh ketinggalan seperti bis sebelumnya. Bis itu, harapannya. Tak kunjung juga tiba. Sena sempat berpikir untuk lari ke sekolah atau naik taxi, tapi ongkos taxi sangat mahal dan tak ada taxi yang lewat disekitar sini. Sena gelisah.

Sebuah motor berhenti tepat di depannya, Sena merasa tidak asing dengan laki-laki yang mengendarainya. “Hai, Sena!”

Sena mengernyit, ia baru sadar sekarang kalau laki-laki itu adalah Kak Rio. Orang yang dilabraknya kemarin. Seketika emosi Sena langsung naik kembali, gara-gara dia Sena harus membeli seragam sekolah lagi. “Ngapain lo disini?!”

Rio menaikkan sebelah alisnya, “Lo nggak sopan banget ya sama kakak kelas.”

“Kalo kakak kelasnya kayak lo, nggak perlu di sopanin.”

“Yaudah. Terserah lo. Baru aja gue mau nawarin elo buat nganter lo kesekolah. Lo udah mau ngaret ke sekolah kan, Sen?!”

Sena terdiam. Skak mat baginya. Ia malas sekali meminta bantuan kepada cowok sombong di depannya ini. Tapi jika tidak, ia bisa terlambat datang.

“Ayoo.. Cepetan. Tinggal 8 menit sebelum gerbang ditutup.” Rio melihat jam tangannya.

Sena masih diam ditempat.

“Tik Tok.” Ujar Rio mengingatkan kalau waktu berjalan terus.

“Tik Tok.”

“Bisa diem nggak sih. Lo?!”

“Kakak!” Rio mengingatkan. “Tik Tok. Tinggal 7 menit. Semakin lama lo nunggu, semakin besar kemungkinan lo ngaret. Ayo dipercepat Sena.”

Sena akhirnya menyerah dan naik ke atas motor Rio.

“Permintaan tolongnya mana?” Rio menggoda.

“Gue minta tolong.”

“Kakak.” Rio mengingatkan lagi, “Lo tuh ya, nggak sopan bener. Udah mau gue tolongin juga.”

“Kak Rio, tolong anterin gue kesekolah sebelum telat.”

Rio tersenyum, tak menyangka ternyata Sena mengetahui namanya juga. “Oke, kalo gitu pegangan yang kenceng. Karena waktunya tinggal 5 menit.” Rio langsung menancap gasnya.

Rio melajukan motornya dengan luar biasa kencang. Menyalip dengan gesit mobil-mobil dan truk. Ia juga berbelok tanpa mengurangi kecepatannya. Rio bahkan sempat menerobos lampu merah.

Sena merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena jatuh cinta atau semacamnya. Tapi karena takut, ia jarang sekali naik motor, sehari-hari ia selalu menggunakan angkutan umum. Sena tak mau nyawanya berakhir seperti ini, ia tak ingin masuk ke koran pagi yang memberitakan sepasang remaja tewas akibat ugal-ugalan. Itu jelas bukan dia.

Sena memejamkan matanya, tak berani menatap mobil dan motor yang berulangkali nyaris ditabrak Rio. Sena mengeratkan pegangannya pada Rio, lebih baik seperti itu daripada ia terjatuh.

“Sena, Lo nggak papa?” Rio berteriak kencang untuk menandingi deru angin. Ia menyentuhkan tangannya pada tangan Sena yang melingkar erat di pinggangnya.

Sena mengangguk, menyadari Rio tak dapat melihat gerakannya, ia menjawab. “Iya, gue nggak papa.”

“Oh, bagus deh. Pegangan yang erat ya. Kalo nggak gini lo bakal telat ke sekolah.”

Sena menyadari sesuatu yang janggal, ia dan Rio kan satu sekolah. Tapi Rio tak menggunakan seragam. “Lo nggak sekolah?! Bolos?!”

Rio menggeleng, gerakannya dapat dilihat oleh Sena. “Gue lagi sakit.” Jawabnya enteng.

Haahh? Selena terbelalak. Rio Sakit? Tapi tampaknya ia segar bugar saja. “Sakit apaan lo? Bohong ya. Masa orang sakit bisa kebut-kebutan gini.”

Rio tertawa keras, “Gue sakit hati nih.”

Sena mendengus, ia tak pernah mengerti jalan pikiran manusia seperti Rio. Apa gunanya bolos sekolah, hanya merugikan diri sendiri dan orang tuanya saja. Tapi Sena tak mau ambil pusing, toh itu bukan urusannya.

“Turun gih. Lo niat banget meluk gue.”

Sena membuka matanya, ternyata ia sudah sampai di Sekolah, ia tidak terlambat. Rio telah menghentikan motornya, tapi bukan di halaman tempat parkir. Melainkan lapangan basket. Cepat-cepat Sena melepaskan pelukannya pada Rio dan meloncat turun dari motor. Seluruh pandangan siswa dan siswi tertuju padanya, jelas saja karena sekolah sudah ramai dan lapangan basket adalah center sekolah sehingga dapat dilihat dari  hampir disegala penjuru sekolah.

“Hati-hati Sena.” Rio melambai sambil menyengir lebar.

“Ugh..” Sena malu bukan main, ia menjadi tontonan seluruh murid lagi. sedangkan Rio sepertinya tak peduli dengan tatapan siapapun.

“Jangan panggil gue Sena. Panggilan itu cuma untuk orang yang akrab sama gue.” Desis Sena kesal.

Rio mengangkat bahunya, “Gue gampang akrab sama siapapun kok.”

“Tapi bukan gue!”

“Yah.. Gue kan udah nganter lo kesekolah.”

Memang sangat susah melawan Rio, Sena tak mau meladeninya lagi. Cepat-cepat ia beranjak dari sana.

“Terima kasihnya mana.” Seru Rio sebelum Sena dapat pergi terlalu jauh.

“Makasih!” Ucapnya sambil berlari meninggalkan Rio.

Rio hanya melambai-lambai sambil tersenyum gembira, “Sampai besok, Sena..”

AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang