Setiap kali melihat Bu Shanti masuk kedalam kelas, yang ada dipikiran Rio dahulu adalah betapa manis dan cantiknya guru matematikanya satu ini ia lebih pantas menjadi model iklan atau majalah ketimbang menjadi guru mata pelajaran paling dijauhi seantero tata surya ini.
Namun kali ini, pikiran tersebut telah sirna, Rio tak bisa lagi bisa berpikir seperti dirinya yang dulu. Tak ada lagi pikiran betapa cantiknya Bu Shanti, yang tertinggal adalah betapa mengerikan pelajaran yang diajarkannya dan betapa menyebalkan tugas-tugas yang menantinya.
Sekarang Rio telah kelas 3 dan kurang dari sebulan lagi ia akan mengikuti Ujian Nasional, itu berarti tak lama lagi Rio akan meninggalkan sekolah ini beserta Bu Shanti dan seluruh perempuan yang pernah hadir di kehidupan SMU-nya.
Rio menatap Bu Shanti yang sedang bercuap-cuap dengan semangat membahas soal-soal yang diberikannya di papan tulis yang bagi Rio dibahas dalam bahasa planet lain. Karena tak mengerti sedikitpun yang dibahas oleh Bu Shanti, Rio mengalihkan perhatiannya keluar jendela disana nampak murid-murid kelas X sedang berolahraga. Alangkah asyiknya berolahraga hari itu ketimbang belajar pelajaran planet lain seperti sekarang, batin Rio. Ia memain-mainkan rambutnya yang jatuh diatas kening dengan meniup-niupnya pelan, murid kelas tiga memang sudah tak mendapatkan pelajaran lain selain pelajaran yang di-UN kan. Tentu saja Rio merasa bosan, pelajaran yang tersisa untuk dipelajari seluruhnya membosankan dan tak ada yang Rio mengerti.
Rio merasa lega ketika mendengar bel tanda istirahat, mejanya bahkan telah bersih 5 menit sebelum bel berbunyi. Bersyukur Bu Shanti sepertinya tak mempedulikan dirinya yang sedari tadi tak memperhatikan pelajaran. Dion yang duduk disebelahnya bahkan sudah membuka laptopnya dan dengan asyiknya bermain game.
"Bro, kalo lo ke kantin gue nitip minuman dingin 1. Tapi lo yang bayar ya." Ujar Dion seenaknya ketika Bu Shanti telah keluar dari kelas mereka. Murid-murid lainnya telah berhamburan keluar kelas.
"Enak aja lo. Gue lagi krisis nih." Rio langsung berlari keluar kelas sebelum Dion dapat melancarkan rentetan permohonan dan rengekan.
Rio terkejut mendapati seorang perempuan telah berdiri didepan kelasnya, dasinya bergambar sebuah bintang pertanda ia adalah murid kelas 1. Gadis itu, Bianca, tersenyum manis begitu melihat Rio datang menghampirinya.
"Lo ada apa..?"
"Kita Putus." Kata Bianca tenang sebelum Rio sempat menyelesaikan pertanyaannya. Gadis itu tetap tersenyum manis walau ada setitik kesedihan tersirat dari matanya.
"Tapi kenapa? Bukannya kemarin kita sudah baikan? Gue udah janji bakal berubah demi lo, kan?!"
"Dari awal kita memang nggak cocok. Dan ini adalah keputusan terbaiknya. Kita putus." Masih dengan senyumnya yang penuh pengertian, Bianca meninggalkan Rio dengan ribuan tanda tanya.
Ini adalah kali kedua Rio dicampakkan oleh seorang gadis, dan keduanya adalah gadis yang menjadikannya bahan taruhan. Ternyata Tuhan masih ingin memberi Rio pelajaran.
Dion tenang-tenang saja mendengar Rio baru saja diputusi oleh Bianca, 'bukannya lo sudah biasa putus cinta? Itu artinya lo bisa lebih bebas dekat dengan siapapun sekarang kan' hanya itu komentarnya.
Rio tak merasa sedih namun merasa bebas apalagi senang pun tidak. Ia tak bisa mendeskripsikan sendiri perasaannya, perasaan yang ditinggalkan namun tak kesepian namun tidak benar-benar tak peduli. Entahlah, Rio tak mengerti.
Kali ini, Rio akan membiarkan Bianca sendiri dulu. Ketika ia sudah tenang baru Rio akan membiacarakannnya baik-baik. Karena Rio sudah berjanji akan berubah untuk Bianca. Gadis itu yang ada selama 6 bulan ini untuk Rio, tetap setia kepadanya meskipun beribu kali Rio sakiti. Rio yakin, walaupun tadi Bianca menampakkan wajah tersenyum yang tenang namun dirinya sama sekali tak tenang.
Sepulang sekolah Rio sudah berjanji kepada papanya untuk datang ke kantor untuk mempelajari bisnis orang tuanya. Hanya dari bisnis inilah Rio merasa dekat dengan orang tuanya, Rio jadi mengetahui bagaimana cara kedua orang tuanya menghabiskan waktunya sepanjang hari. Sebagian besar adalah hal yang membosankan seperti duduk dibalik meja untuk memeriksa berkas-berkas yang membosankan. Namun apa boleh buat, janji adalah janji, Rio bukan laki-laki rendah yang akan ingkar janji.
Jadi, sepulang sekolah Rio mengendarai motor besarnya menuju gedung perusahaan makanan ringan milik orang tuanya. Gedung itu menjulang diantara gedung-gedung lainnya, nampak megah dan mewah dengan pilar-pilar yang berukiran sempurna.
Beberapa staf dan pegawai yang mengenal Rio menunduk begitu ia berjalan memasuki kantor namun ada pula yang mencibir melihat penampilan Rio yang memang berantakan tanpa dasi dengan kemeja setengah keluar. Rio tak mempedulikan siapapun, ia berjalan begitu saja menuju ruang kerja papanya yang sudah dimasukinya seringkali belakangan ini.
Sekretaris papa yang luar biasa sopan dengan kualitas bahasa Indonesia yang mampu menyaingi guru bahasa Indonesia Rio disekolah menyambut Rio. Wanita berambut ikal itu mempersilahkan Rio masuk ke ruang kerja Pak Rudi Hartanto, ia mengatakan bahwa Pak Rudi sedang ada pertemuan dengan kliennya di ruangan lain, mungkin akan memakan banyak waktu, sehingga Rio diminta untuk mempelajari dokumen yang sudah disiapkan Papanya diatas meja.
Rio membolak-balik kertas-kertas tersebut dengan enggan menampilkan angka-angka rincian pengeluaran perusahaan beserta pendapatan dan sebagainya yang lebih banyak tidak dimengerti oleh Rio.
Bosan dengan kertas-kertas tersebut, Rio mulai meneliti ruang kerja Papanya. Tak ada barang pribadi yang diletakkan Papa disana, hanya beberapa pena dan sebuah jas kerja yang disampirkan dibelakang kursinya. Tak ada foto-foto keluarga seperti yang diharapkan oleh Rio. Tak ada sesuatu yang menarik selain pekerjaan.
Rio mulai berjalan melihat melihat keadaan jalanan dari jendela, pemandangan tampak lucu karena terlihat kecil dari sini mengingat ruangan kerja ini berada di tingkat 28. Melihat orang-orang dalam ukuran kecil yang berlalu-lalang ditengah kota membuat Rio menjadi haus–entah apa hubungannya. Rio membuka-buka lemari Papanya, mencari siapa tau ada makanan atau minuman yang bisa Rio makan, dirinya malas memanggil Office Boy untuk membuatkan minuman.
Lemari Papa hanya terdiri dari buku-buku tebal dan dokumen dalam map-map yang berjejer rapi. Sepertinya pencarian Rio sia-sia karena Pak Rudi Hartanto bukan tipe orang yang suka menyimpan makanan ringan atau snack. Ironi sekali dalam perusahaan makanan ringan seperti ini Rio kebingungan mencari makanan ringan.
Rio kembali duduk di kursi Papanya, masih berusaha mencari minuman dengan membuka laci kerja ayahnya. Sebuah Map menarik perhatian Rio, Rio ingat Map itu telah ada di laci ayahnya sejak lama. Rio mengigatnya karena warna map tersebut mencolok, berbeda dengan map-map lain yang biasa digunakan Papanya.
Karena penasaran, Rio meraih map tersebut dan membukanya. Terdapat sebuah foto perempuan berambut lurus yang sedang tersenyum menghadap kamera dalam foto tersebut, foto itu terlihat jelas hasil jepretan zaman dahulu dari kualitas gambar yang terlihat. Rio mengamati dengan baik wajah perempuan yang tersenyum dalam foto tersebut, Rio merasa tak asing dengan wajah dalam potret itu.
Tak bisa mengingat mirip siapa wanita dalam foto tersebut, Rio mengambil kertas yang lain. Kertas yang menampilkan kop sebuah rumah sakit swasta yang terkenal, tanggal yang tertera disana menandakan hasil lab tersebut diambil tak kurang dari 6 bulan yang lalu.
Membaca satu demi satu huruf dan angka yang tertera dalam kertas tersebut membuat Rio gemetaran, sebuah nama yang ada disana membuat Rio merasa rindu namun itu adalah nama terakhir yang diharapkan Rio tertera dalam hasil lab tersebut.
Sekarang Rio sadar siapa wanita dalam foto tersebut, ia adalah Tante Dian. Ibu Sena yang pernah ditemui Rio. Sedangkan hasil lab yang Rio baca adalah tes DNA Papanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Amour
RomantizmSelena sang murid teladan bertemu dengan Rio sang Playboy yang kesepian. Pertaruhan dibuat hingga mereka terpaksa untuk saling menaklukkan satu sama lain. Ketika cinta tiba-tiba datang dan kenyataan pahit menunggu mereka. Apakah yang sebaiknya merek...