HALAMAN KEDUA; BUNGSU DEWANGGA

133 15 0
                                    

Typo tandain!

Jangan lupa voment!

***

Pagi menjelang. Ayam-ayam jantan sudah berhenti berkokok sedari tadi. Udara pagi yang dingin namun segar, menusuk kulit siapapun yang tengah berada di luar sana. Matahari pun masih enggan menunjukkan dirinya yang bersinar, hanya menunjukkan sedikit sinarnya yang menembus awan-awan di sana. Semburat sinar mentari menembus awan, lantas menembus sebuah jendela kaca yang ditutupi gorden, mengenai wajah seorang bocah cowok yang usianya baru saja genap dua belas tahun beberapa bulan lalu.

Tidurnya mulai terganggu kala tajam sinar mentari perlahan menembus masuk pada kelopak matanya. Perlahan tapi pasti, kelopak matanya mulai terbuka. Menampilkan bening teduh bola mata coklat hazel miliknya. Ia mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk di tepi ranjang kasur miliknya. Setelah diam sesaat dan menggosok-gosok matanya, cowok itu menatap jam dinding berbentuk bundar yang terpasang apik di dinding kamarnya.

Pukul enam lewat lima belas menit.

Cowok itu menganggukkan kepala dan sekali-kali menggaruk tengkuknya. Sepersekian detik kemudian, barulah ia sadar bahwa dirinya sudah terlambat. Tanpa pikir panjang ia melompat dari kasur, berlari menuju pintu kamarnya-yang disitu tersampir handuk berwarna abu-abu miliknya, lantas membuka pintu tanpa berperasaan. Karena ia langsung berlari menuruni anak tangga untuk menuju kamar mandi, cowok itu tidak menyadari bahwa wajah abangnya yang sedang berjalan santai di depan kamarnya menjadi korban bantingan pintu itu. Salahkan tukang bagunan yang waktu itu salah memasang pintu kamarnya. Sehingga jika dibuka, arah pintunya bukan ke dalam, namun keluar.

"NAJENDRA ALFHAJRIN DEWANGGA!"

Sontak bocah itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, di mana abangnya yang masih berdiri di depan pintu kamarnya dengan tatapan tajam yang bertemu dengan tatapan terkejut darinya. Ia berdecak dalam hati, aduh! Si Abang malah pake acara mau ceramah lagi! Gerutunya dalam hatinya.

"Apa?"

Salah besar dirinya bertanya 'apa' pada sang abang yang sudah kesal itu. Satu kata yang keluar dari mulut Jendra berhasil memperkeruh suasana di antara keduanya. Begitu ia sadar dengan apa yang baru dirinya katakan, Jendra segera mengatup mulutnya rapat-rapat. Begitupun nyalinya yang menciut begitu saja. Kata tanya itu terkesan menantang jika kondisinya seperti ini. Jelas saja amarah sang abang sudah tak terbendung lagi. Sudah hidungnya sakit-bahkan terlihat ada sedikit darah yang keluar dari hidungnya, dan sekarang adiknya menantangnya? Pagi macam apa ini?

"Lo-"

"Shttt!! Nanti aja ceramahnya! Jendra mau mandi dulu, udah telat ini!" potong Jendra dan langsung melesat begitu saja menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur. Meninggalkan abangnya yang melongo karena kelakuan ajaib dan penuturan adiknya pagi ini. Setidaknya tidak separah kemarin, yang mana Jendra malah melupakan kotak bekalnya dan baru mengatakannya saat sekolahnya sudah di depan mata. Erfan-abang sulung mereka yang mengendarai mobil malah memutar balikan arah ke rumah, alhasil mereka semua terlambat.

Terutama Bian yang sekolahnya paling jauh.

Sembari memikirkan penuturan adiknya, Bian melangkahkan kakinya menuju meja makan. Yang di situ juga ada abang sulungnya yang sedang mengotak-atik laptop dan beberapa kertas di sampingnya. Tanpa berniat mengganggu Erfan yang nampak sibuk, Bian menempati tempat duduknya dan meletakkan tas yang tadi tersampir di bahunya pada bawah meja. Menyadari salah satu adiknya yang sudah duduk rapi di meja makan, Erfan mengulas senyum dan merapikan kertas-kertas yang sebelumnya berceceran.

"Pagi, Yan."

Yang disapa lantas menatap balik abangnya yang tadi menyapa dirinya. "Pagi."

Erfan yang memperhatikan menyadari perbedaan pada Bian. Mulai dari raut wajahnya yang nampak berpikir, dan ya, hidungnya yang memerah.

26 ALUR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang