HALAMAN KEDUA PULUH LIMA; KEMARAHAN BIAN DAN TAKDIR

38 13 0
                                    

Typo tandain!

Jangan lupa voment!

***

Jendra melangkah gontai menuju kamarnya. Sekarang ia sudah berada di rumahnya, pagi tadi ia berpamitan pada Raka untuk pulang. Semalam, setelah ia sadar dari pengaruh mabuknya, Raka benar-benar menginterogasinya. Bahkan laki-laki itu membawa Hendra--ayahnya--untuk menginterogasi Jendra. Si Bungsu Dewangga yang tidak ingat apa-apa hanya diam menyimak semua pertanyaan mereka sembari mengingat-ngingat apa saja yang terjadi tadi sore

 Sejak semalam ia terus merasa kepanasan walaupun Raka yang tidur sekamar dengannya sudah merasa kedinginan karena suhu pendingin ruangan yang sangat rendah. Badannya terasa remuk, kepalanya juga terasa berputar. Itu membuat pandangannya sering kali memburam. Jangan lupakan perutnya yang mulai terasa perih akibat tidak makan sejak kemarin dan juga efek ia meminum minuman dengan tingkat kandungan alkohol yang tinggi.

"Jadi gini rasa sama efek dari mabok? Gak lagi-lagi deh gue." Jendra bermonolog dalam hati. Jika ia berucap sembari bersuara, Jendra takut nyawanya akan melayang detik itu juga karena ulah Bian. Omong-omong Bian, sejak tadi Jendra pulang, laki-laki itu hanya diam memperhatikan adiknya. Walaupun dalam hatinya terselip rasa bersalah, Bian lagi-lagi kalah dengan egonya. Jendra juga masih takut memulai obrolan dengan Bian karena kejadian kemarin.

Semua kata-kata Bian berhasil mengukir luka baru di hati Jendra. Luka yang terbuat diatas luka yang belum mengering. Mengingat dengan lantangnya Bian berkata bahwa dirinya tidak berguna membuat Jendra mulai menyalahkan dirinya. Ada disatu sisi dimana Jendra ingin kembali ke masa kecilnya saat semua anggota keluarganya masih lengkap, tapi disisi lain ia juga tidak ingin kembali pada masa suramnya. Masa dimana Jendra merasa tidak ada yang ia punya selain dirinya di rumah. Makanan sehari-harinya adalah omongan pedas Sinta, wejangan tidak masuk akal Aldiandra, tatapan kasihan Erfan, dan bentakan Bian.

Jendra benci saat-saat itu.

Jujur saja, Jendra sempat menggerutu dalam hati karena Bian tidak meminta maaf padanya. Tapi Jendra tahu, jika Bian tidak bisa menurunkan egonya, lebih baik ia yang menurunkan egonya sendiri. Jika tidak ada yang mengalah, Jendra yakin hubungan antara dirinya dengan Bian akan merenggang secara perlahan tapi pasti. Nanti ia akan meminta maaf pada Bian, walaupun Jendra tidak yakin Bian akan memaafkannya dan kejadian kemarin terulang kembali. Kalau sampai itu terjadi, Jendra akan mengalah dan menerima semuanya dengan lapang dada.

Walau nyatanya, pasti ada luka baru yang terukir dihatinya.

Tubuh anak itu mulai limbung dan nyaris jatuh. Jendra pikir sebentar lagi tubuhnya akan bersentuhan dengan lantai rumah yang dingin. Tetapi dugaannya itu salah, Bian menangkap tubuh adiknya yang nyaris saja membentur lantai. Jendra diam sejenak, mencerna apa yang sedang terjadi. Anak itu memberanikan diri menatap mata abangnya yang juga sedang menatapnya dalam. Jendra sendiri tidak mengerti arti tatapan dari Bian.

"Makasih, Bang." Walau seperti itu, Jendra masih tahu berterima kasih. Segera ia melepaskan tangan Bian yang masih menopang tubuhnya dan melanjutkan langkahnya menuju kamar. Padahal hanya tersisa kurang lebih tujuh langkah, tetapi bagi Jendra yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, ini seperti berjalan beribu-ribu kilometer. Tetapi pada kenyataannya Jendra sendiri tidak tahu rasanya berjalan beribu-ribu kilometer.

Bian hanya diam memperhatikan Jendra dari belakang. Terlihat Jendra yang kesulitan berjalan dengan tangan kanan yang memegangi dinding dan tangan kiri yang memegangi kepalanya. Tanpa sadar, Bian melangkah cepat dan menarik Jendra ke dalam gendongannya. Sontak anak itu terkejut saat Bian membawa dirinya ke dalam gendongan abangnya tanpa sepatah kata pun.

Jendra mulai berpikir, ada bencana apa setelah ini?

"Bang, ngapain? Gue bisa jalan sendiri," ucapnya sembari berusaha turun dari gendongan sang abang. Tetapi semakin Jendra berusaha turun dari gendongan Bian, semakin erat pula dekapan Bian pada tubuh adiknya. Pada akhrinya, Jendra menyerah. Ia hanya pasrah dengan apa yang ingin Bian lakukan padanya. Jendra menghela napas perlahan dan dapat didengar jelas oleh Bian.

26 ALUR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang