Typo tandain!
Jangan lupa vote!
***
Sepulang bermain, Jendra meratapi nasib sandalnya yang putus. Bagaimana ia tidak sedih akan sandalnya yang putus? Sandal itu sudah menemaninya selama 4 tahun terakhir. Saat ditawari mengganti sandal pun ia tidak mau karena ia sudah terlanjur nyaman dan sayang dengan sandalnya tersebut.
"Assalamu'alaikum, Jendra pulang!" serunya memberi salam setelah mengetuk pintu dan membuka pintu tersebut.
"Yah, sendal Jendra putus, nanti Jendra pake sendal Bang Bian yang dulu aja ya?" ucapnya memberitahu. Namun ayahnya tersebut tidak mendengarnya. Bahkan ibu dan kedua kakaknya juga tidak mendengarnya. "Ngobrolin apa sih?" monolognya dan berjalan mendekati keempat anggota keluarganya.
"Iya minggu depan Erfan berangkat kesana, udah Erfan urus semua."
Deg!
Apa? Erfan mau pergi kemana? Pikirnya.
"Bang Erfan mau kemana?" tanyanya tiba-tiba. Kedua orang tuanya dan kedua kakaknya tersebut menoleh kearahnya dengan wajah yang jelas bahwa mereka terkejut.
"Ah Jendra, kenapa ga ucap salam sama ketuk pintu dulu hm?" tanya Erfan mengalihkan pembicaraan. Namun, karena pertanyaannya belum dijawab ia kembali pada topik awal. Kemana Erfan akan pergi.
"Udah tadi, kalian aja yang ga denger. Jadi, Bang Erfan mau pergi kemana minggu depan?" tanya Jendra to the point. Erfan menatap sendu Jendra yang menatapnya penuh tanda tanya. Disamakannya tinggi badannya dengan tinggi badan sang adik. Lalu ia pegang bahu adiknya yang masih sangat kokoh tersebut.
"Jen.. Abang diterima di kampus Jepang, Abang harus pindah kesana, ga mungkin kan abang kuliah di sana tinggal di Indonesia? Minggu depan Abang berangkat, nanti sesekali Abang pulang kok," jelasnya dengan separuh hati yang tak tega.
Jendra terkejut? Jelas. Namun, ia sangat pintar mengendalikan raut wajahnya agar nampak biasa-biasa saja.
"Wah? Abang diterima di sana? Demi apa? Keren dong! Abang masuk fakultas apa?" tanyanya antusias. Dibalik tingkahnya yang antusias, Erfan dan Bian tahu bahwa adiknya itu terkejut, sedih, kecewa, dan mungkin masih banyak yang ia rasakan.
"Fakultas Pertanian," jawab Erfan pelan.
"Abang kenapa mukanya begitu? Jelek tau! Mirip Bang Bian," celetuk Jendra saat memperhatikan wajah Erfan yang nampak sendu. Sontak Bian memicingkan matanya. Kenapa dirinya dikatakan jelek? Jelas-jelas ia lebih tampan dari pada Erfan dan Jendra.
"Kan gue adeknya bego! Masa iya kagak mirip, btw kalo gue jelek lo juga belek," sahut Bian ketus dan membuat Jendra cengengesan.
"Berarti Ayah jelek dong?" tanya Jendra dengan polosnya sembari menatap sang ayah yang memperhatikannya.
"Eh?" Bian pun kehabisan kata-kata. Benar yang dikatakan adiknya. Kalau mereka jelek, berarti ayahnya juga jelek.
"Jadi Abang berangkat minggu depan? Ada yang perlu dibantuin ga Bang? Buat nyiapin apa-apa gitu," tanyanya kembali pada topik utama obrolan tersebut.
"Engga, udah selesai semuanya, Jen." Jendra mengangguk paham dan mengangkat tangannya yang masih menggenggam sandal jepit kesayangannya yang putus tersebut. Sontak yang lain terdiam dan tertawa melihat kondisi sandal yang dipakai Jendra selama 4 tahun terakhir.
"Liat deh! Gara-gara Raka sama Jaegar minta ambilin rambutan di pohon rambutan punya Om Rehan!" adunya dengan bibir yang dimajukan beberapa senti.
"Lah? Terus kamu naik ke pohon rambutannya? tanya Aldiandra dengan tawa yang masih belum berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
26 ALUR ✔
Ficção Adolescente[END] "Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?" Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat...