HALAMAN KEDUA PULUH ENAM; MENUJU SUATU TEMPAT

37 15 0
                                    

Typo tandain!

Jangan lupa voment!

***

Bian melangkah gontai menuju ruang rawat adiknya. Sekarang adalah hari ketiga Jendra dirawat di rumah sakit. Kemarin Jendra berhasil melewati masa kritisnya, namun sampai saat ini anak itu belum membuka matanya sedikit pun. Lima hari setelah kepergian Erfan, sekarang Bian merasa ada yang hilang, namun itu bukan hanya abangnya. Tetapi adiknya juga. Ingatannya selalu melayang pada waktu dimana ia memarahi Jendra dan menyalahkannya atas kepergian Erfan.

Padahal, bukan hanya Bian yang kehilangan melainkan Jendra juga. Anak itu terlalu diam sampai Bian tidak tahu bahwa banyak luka yang ia peluk. Sejak kecil, bahkan sebelum lahir, keluarganya sudah memberinya luka. Menuduhnya dengan hal yang tidak Jendra lakukan. Seandainya Bian tahu, apakah ia juga akan memperhatikan Jendra sebagaimana Erfan memperhatikannya disaat yang lain tidak menganggap anak itu ada?

Ia menghela napas. Menahan air matanya agar tidak kembali terjatuh saat melihat kondisi adiknya yang jauh dari kata baik. Wajah pucat itu, luka-luka yang sudah ditutup, kepalanya yang dililit oleh perban, nasal kanul yang terpasang apik, dan selang infus yang senantiasa menjadi penguat seolah-olah menggenggam tangan anak itu dan menguatkannya.

Walaupun ditahan mati-matian, air mata Bian tetap meluruh begitu saja ketika melihat pemandangan menyakitkan di hadapannya. Bian mulai menyadari kalau dirinya gagal menjadi seorang abang yang baik bagi Jendra. Seharusnya Bian tahu bahwa kini Jendra hanya memiliki dirinya sebagai saudara kandung, begitu juga sebaliknya. Bian hanya mempunyai Jendra-adik satu-satunya-yang bisa mengerti dirinya sebagai sesama laki-laki.

"Jendra..." Rasanya, kehilangan Aldiandra dan Erfan untuk selama-lamanya tidak sebanding dengan rasa sesak yang dirasakan Bian ketika melihat kondisi adiknya yang sedang berjuang antara hidup dan mati.

"Maafin Abang..." Sudah tiga hari terakhir kata itu tidak pernah lupa Bian ucapkan setiap kali membesuk Jendra. Bian merasa deja vu. Mengingat saat Jendra meminta maaf pada hari pemakaman Erfan dan Bian membentaknya sampai anak itu kabur dari rumah.

"Maaf."

"Gue bilang maaf lo gak akan balikin Erfan, Jendra!"

Dan Bian merasa bahwa kalimat itu juga berlaku bagi dirinya, maafnya tidak akan membuat Jendra siuman. Ia merutuki dirinya yang begitu egois pada adiknya sendiri. Mengedepankan egonya dan mengesampingkan perasaan adiknya yang jelas-jelas pasti terluka oleh sikapnya tersebut.

"Ayo bangun, Dek... Jendra gak salah, Abang yang salah," ucapnya dengan diselingi isakan. Hanya satu yang saat ini Bian harapkan, yaitu; Jendra sadar dari tidur yang sudah terlalu lama.

Disela-sela tangisannya, Bian tidak sengaja menangkap sebuah pergerakan kecil dari tangan adiknya. Mata Bian membulat kala mendengar lenguhan kecil dari mulut Jendra.

"Jendra?"

Perasaan panik dan senang bercampur menjadi satu saat Bian melihat Jendra yang mulai mengerjapkan kedua matanya perlahan. Dengan tangan gemetar, laki-laki yang kini mempunyai status sebagai anak sulung tersebut menekan tombol nurse call yang ada di sana. Tak lama, Dokter Dilan dan beberapa perawat datang untuk memeriksa keadaan Jendra. Seperti yang diperintahkan Dokter Dilan sebelumnya, kini Bian terduduk di depan ruang rawat sang adik dengan hati yang tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk adiknya.

Jika Jendra benar siuman sekarang, Bian berjanji akan memperlakukan Jendra sebaik mungkin. Seperti Erfan memperlakukan anak itu disaat yang lain tak menganggap keberadaannya.

26 ALUR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang