Typo tandain!
Jangan lupa voment!
***
Sebulan sudah berlalu sejak kepergian Aldiandra Dewangga. Erfan dan Bian sudah kembali ke negara dimana mereka berkuliah dua minggu yang lalu. Walaupun perasaan duka masih menyelimuti hati mereka, tetapi itu tidak boleh sampai menghambat jalannya kehidupan ketiganya. Bian dan Jendra mulai mencari-cari pekerjaan semenjak itu. Dua laki-laki berbeda usia itu kini sudah mendapatkan pekerjaan untuk saling memenuhi kebutuhan satu sama lain.
Bian mendapatkan pekerjaan sebagai staf sebuah band, juga sebagai penyanyi panggilan di sebuah kafe. Sedangkan Jendra bekerja sebagai tukang cukur, tukang tambal ban di pertigaan jalan dekat rumahnya, dan sebagai penyanyi panggilan di beberapa kafe di daerah sekitar. Sangking banyaknya pekerjaan Jendra, membuat anak itu tidak bisa mengatur pola makan dan pola tidurnya. Semuanya berantakan, termasuk pikirannya.
Pekerjaan rumah separuhnya dipegang oleh Jendra. Walaupun pekerjaannya menumpuk, tetapi tugas sekolahnya tetap terselesaikan tepat waktu. Demi lulus dengan nilai tinggi, Jendra berani mengorbankan segalanya−pekerjaanya dikecualikan. Bayangkan saja dari Senin sampai Jumat ia bersekolah, ditambah bekerja sebagai tukang cuci piring di rumah makan yang berada di perempatan samping sekolahnya. Sabtu dan Minggu ia berubah profesi sebagai tukang cukur dan tukang tambal ban, malam harinya ia menjadi penyanyi panggilan di kafe-kafe sekitar tempat tinggalnya.
Walau Jendra sangat-sangatlah sibuk, tetapi soal ibadah tidak pernah terlewatkan sekali pun.
Terkadang Raka dan Jaegar menemani Jendra bekerja. Tidak pernah sekali pun mereka mengeluh saat menemani sahabatnya yang sudah mereka anggap keluarganya tersebut. Hanya saja terkadang mereka cosplay menjadi ibu-ibu arisan di komplek sebelah saat mengingatkan Jendra akan waktu makan dan istirahatnya. Bukan apa-apa, Jendra itu keras kepalanya bukan main. Menurut Jaegar, kalau adik dari Erfan dan Bian itu dilempari batu pada bagian kepalanya, bukan kepalanya yang terluka. Melainkan batunya yang terbelah karena kalah keras dengan kepala anak itu. Sudah terbukti sekarang, penyakit mag-nya kambuh karena pola makan dan istirahatnya yang tidak teratur.
Sekarang hobinya adalah begadang dan tidur menjelang fajar juga pada saat jam istirahat dan jam kosong. Akibatnya Jendra jadi panda, kantung matanya yang menghitam terlihat jelas tanpa harus diperhatikan dengan detail. Padahal seluruh sahabatnya sudah turun tangan menyuruhnya istirahat, tetapi anak itu tetap saja membandel hingga sahabatnya frustasi berjama'ah. Bahkan sampai Kanaya saja sudah berkali-kali menegurnya, tetapi Jendra tetap saja tidak mendengarkan perkataan gadis tersebut.
Karena Jovan yang nampak tidak menyukai Jendra saat dimana Kanaya memperhatikannya, semakin hari Jendra semakin menjaga jarak antara dirinya dan gadis itu. Jika ditanya apakah ia sakit hati, maka dengan lantang Jendra akan menjawab 'iya'. Menjaga jarak dengan sahabat kecilnya dan juga seseorang yang ia cintai bukanlah hal yang mudah, tetapi Jendra masa bodo saja untuk sekarang ini. Kehidupannya saja sedang berantakan, apa untung baginya jika ia mencampuri urusan percintaan mereka? Yang ada pikirannya semakin kacau. Intinya sekarang Jendra butuh tidur yang nyenyak. Anak itu tidak ingin tidurnya kembali terganggu oleh isi kepalanya yang begitu ramai layaknya pasar Tanah Abang zaman dahulu.
"Ini jamkos?" tanya Jendra pada Jaegar yang sedari tadi misuh-misuh karena pena miliknya yang hilang secara ghaib. Lebih parahnya lagi pena itu adalah pena satu-satunya milik Jaegar, yang artinya jika pena itu tidak ada maka Jaegar tidak bisa menulis. Sialan memang, Jaegar hanya dapat berdo'a yang mengambil pena-nya diberi balasan yang lebih. Seperti tasnya dijambret atau lebih parahnya tangannya buntung. Itu memang sudah menjadi do'a legend setiap kali siswa atau siswi pada masa sekolah kehilangan penanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
26 ALUR ✔
Roman pour Adolescents[END] "Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?" Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat...