Typo tandain!
Jangan lupa voment!
***
Sepanjang perjalanan, Bian hanya mangut-mangut dan tertawa mendengar segala celotehan adiknya. Terlalu banyak yang Jendra bahas sampai Bian tidak tahu sebenarnya Jendra membahas apa. Berawal dari bagaimana kehidupan sekolah Jendra di SMA, dan berakhir tentang kucing beranak dua belas yang ada di sekitar sekolah anak itu. Bian sendiri masih berusaha untuk mengerti sebenarnya apa yang sedang dibahas Jendra, tetapi tetap saja ia tidak paham.
Walaupun tidak paham, tapi Bian senang sekarang Jendra lebih sering menceritakan kesehariannya pada Bian. Walaupun terkadang Bian hanya meresponnya dengan dehaman atau anggukan karena sibuk mengerjakan tugas kuliah atau tugas rumah, tetapi Jendra tetap menceritakan segalanya dengan antusias. Dari yang sedih sampai yang bahagia ia ceritakan sampai tuntas. Bian harap, Jendra selalu seperti ini. Tiang gembira tanpa harus memakai topeng bertuliskan 'baik-baik saja'.
Tadi, Jendra meminta pada Bian untuk mampir sebentar ke tempat biasa ia membeli kerak telur semasa masih berada di jenjang Sekolah Dasar. Jendra merindukan jajanan yang selalu ia beli seminggu sekali itu. Harganya yang tidak sesuai dengan uang jajan yang ia terima membuat Jendra harus menabung terlebih dahulu untuk membeli jajanan tersebut. Walau begitu, Jendra tidak pernah merengek meminta orang tua ataupun abangnya membelikan kerak telur untuk dirinya.
Bian sendiri hanya mengiyakan permintaan adiknya. Lagipula ia penasaran dengan kerak telur yang sering Jendra bahas jika Bian sedang memasak telur di rumah.
Dengan antusias, Jendra turun dari motor dan berlari menuju tempat yang ia tuju. Bian tertawa kecil melihat adiknya yang sudah kabur menuju tempat dimana pedagang langganannya saat kecil dan meninggalkan Bian yang masih memarkirkan motor di tempat yang seharusnya. Melihat bagaimana netra hazel indah itu berbinar karena kebahagiaan yang menghampirinya membuat hati Bian menghangat sekaligus teriris. Kebahagiaannya terlalu sederhana untuk semua hal yang sudah menyayat hati anak itu. Dengan senyum yang sudah Bian biasakan, laki-laki berparas tinggi itu mulai berjalan mendekati adiknya. Belum sampai lima langkah Bian berjalan, Jendra terlebih dahulu menghampirinya dengan berlari kecil.
"Abang!" seru Jendra sembari menatap Bian dengan pandangan penuh harap, membuat abangnya bingung untuk mengartikan apa maksud dari tatapan anak itu.
"Kenapa?"
"Minta uang," jawabnya sembari menyengir lebar. Sembari menarik selembar uang berwarna hijau dari dompet coklatnya, Bian menatap heran Jendra yang masih menyengir lebar menatap dirinya.
"Emang dompet lo kemana, Jen?" tanya Bian seraya memberikan selembar uang itu kepada adik satu-satunya.
"Ketinggalan," jawabnya tanpa dosa. Segera Bian mencekal lengan adiknya ketika ia melihat Jendra yang sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari menuju tempat sebelumnya anak itu berdiri. Merasa tangannya dicekal oleh sang abang, Jendra menoleh dan menatap Bian bertanya-tanya.
"Jangan lari-lari, nanti jatuh," ucap Bian kembali memperingati Jendra untuk tidak berlari. Bian sendiri heran kenapa adiknya sangat senang berlari-lari, padahal bisa saja ia terjatuh dan terluka. Mendengar peringatan Bian yang sudah entah ke berapa kali hari ini, Jendra mengangguk dan menuruti ucapan abangnya. Bian menggenggam lembut lengan adiknya dengan erat, seolah-olah ia tidak ingin kehilangan Jendra.
Pandangannya tidak lepas dari wajah adiknya yang nampak berseri-seri. Bian dapat merasakan apa yang kini Jendra rasakan, kebahagiaan atas waktu yang sudah Tuhan berikan bagi mereka. Waktu yang dulu mereka sia-siakan untuk bertengkar dan berlama-lama diam di bawah kurungan ingatan masa lalu, kini mereka manfaatkan untuk menciptakan seribu satu kenangan yang mereka harap tidak akan terlupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
26 ALUR ✔
Teen Fiction[END] "Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?" Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat...