Typo tandain!
Jangan lupa voment!
***
Mungkin efek obat semalam yang membuat Jendra tidur lebih awal menyebabkan anak itu kini terbangun lebih awal. Biasanya Jendra akan bangun pukul enam lewat tiga puluh jika hari libur, namun kini ia terbangun pada pukul enam kurang sepuluh menit. Netra hazelnya menatap wajah damai sang ayah yang tertidur di sampingnya. Jendra ingat semalam ia meminta Aldiandra untuk tidur bersamanya. Jika diingat-ingat kembali, posisi Aldiandra tertidur semalam masih sama dengan posisinya sekarang. Jendra mulai berpikir apakah ayahnya tidak merasa pegal tertidur dengan posisi yang sama?
Sekarang adalah ulang tahunnya yang ke-14 tahun. Ini adalah hari spesial baginya. Hari dimana dirinya lahir 14 tahun yang lalu. Hari yang menghadirkan angka baru dalam kehidupannya. Jendra berharap, diusianya yang ke-14 tahun ini banyak kenangan indah terukir bersama keluarga juga teman-temannya. Jendra ingin bab baru dalam buku kehidupannya diisi penuh dengan hal-hal menyenangkan.
Banyak hal yang Jendra takutkan di angka kehidupannya yang baru. Takut akan kehilangan adalah hal yang paling mendominasi. Walaupun Jendra tahu bahwa kehidupan penuh dengan datang dan pergi, tetapi manusia mana yang mampu menerima sebuah kepergian dengan lapang dada dalam jangka waktu cepat? Juga Jendra mulai memikirkan bagaimana kehidupannya nanti, apakah ia akan melanjutkan pendidikannya atau memilih bekerja. Jendra juga berpikir pekerjaan apa yang akan ia jalani nanti. Semuanya membuat kepala Jendra yang memang sudah mulai berisik semakin berisik.
Ternyata benar kata orang. Menjadi dewasa itu menyenangkan, hanya saja prosesnya melelahkan dan membuat kita putus asa. Jendra mulai beranjak bangun dari posisi tidurnya dan membangunkan ayahnya yang masih nyaman dalam tidurnya.
"Yah, bangun, udah pagi," ujarnya seraya membangunkan sang ayah dengan sedikit menggoyangkan lengan Aldiandra. Namun, yang Jendra dapat bukanlah kelopak mata ayahnya yang terbuka, tapi lengan pria itu yang tergeletak lemas. Bahkan dapat Jendra rasakan tangan besar tersebut terasa dingin. Berkali-kali ia berusaha membangunkan sang ayah dengan berbagai cara, namun hasilnya tidak ada. Jendra yang baru menyadari tidak ada hembusan napas sedikit pun mulai diserang rasa panik tak karuan.
Pada akhirnya Jendra beranjak turun dari kasurnya dan pergi menuju kamar Bian yang berada di sebelah kamarnya. Jendra berharap abangnya tersebut sudah bangun agar tidak membuang-buang waktu. Dengan cepat ia membuka pintu kamar Bian tanpa memedulikan peraturan masuk kamar orang lain. Persetan dengan aturan tersebut, yang terpenting sekarang adalah mengapa ayahnya tidak mau membuka matanya. Bian yang sedang merapihkan tempat tidurnya terkejut kerena Jendra tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi.
"Jen, lo lu–"
"Jangan ngomel, Bang! A-ayah.. i-itu..," ucapnya gugup karena terlanjur panik. Melihat raut wajah panik sang adik, Bian mengerutkan keningnya sembari mendekat ke arah Jendra yang hanya diam menunduk.
"Kenapa? Cerita pelan-pelan aja," titah Bian sembari menuntun Jendra menuju tempat tidurnya agar anak itu sedikit tenang. Bian tahu sejak dulu Jendra memang mudah sekali panik, baik itu masalah besar ataupun masalah kecil.
"A-ayah, Bang.. Ayah ga mau buka matanya pas Jendra bangunin," adu anak itu membuat detak jantung Bian berpacu dengan cepat.
"Hah? Lo jangan bercanda, Jen!" seru Bian ikut panik. Jendra kalau bercanda tidak tahu tempat, pikir Bian. Padahal anak itu sendiri sedang panik-paniknya. Bahkan napas anak itu saja terasa berat karena detak jantungnya yang tidak karuan. Jendra menggeleng pelan menanggapi ucapan abangnya. Tanpa pikir panjang lagi Bian melenggang dari sana, meninggalkan Jendra yang masih berusaha menetralkan napasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
26 ALUR ✔
Teen Fiction[END] "Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?" Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat...