HALAMAN KEDUA PULUH EMPAT; JOVAN YANG TIDAK SUKA

29 13 0
                                    

Typo tandain!

Jangan lupa voment!

***

Bian dan Jendra hancur. Hanya kalimat itulah yang tepat untuk menggambarkan keadaan kedua kakak beradik tersebut. Kepergian Erfan yang hanya terpaut beberapa bulan dari kepergian Aldiandra membuat keduanya begitu terpukul. Apalagi kematian Erfan yang bisa dibilang tragis berhasil memperkeruh suasana duka diantara mereka.

Sayangnya disaat seperti ini, Bian tidak bisa mengendalikan emosinya dan berakhir menyalahkan Jendra. Ia pikir seandainya Erfan tidak pulang pada hari kelulusan Jendra semua hal ini tidak akan terjadi. Tidak akan ada yang pergi lagi setelah Aldiandra. Bian tidak memikirkan bahwa Jendra juga sama hancurnya dengan dirinya. Bahkan lebih dari Bian. Tangis anak itu pecah begitu saja setelah petugas polisi tersebut mengatakan bahwa abang sulungnya-lah yang menjadi korban dari kecelakaan tersebut. Semuanya terulang, dan di hari penting baginya lagi.

Adik mana yang tidak hancur saat abangnya pergi untuk selama-lamanya? Tetapi demi bisa mengantarkan Erfan ke tempat peristirahatan terakhirnya, Jendra kembali memendam semua yang ia rasakan sendirian. Kembali menumpuk luka di hatinya yang sudah penuh akan goresan yang belum mengering sama sekali.

Dengan suara lantang, Jendra melantunkan adzan untuk sang abang yang sudah berpulang. Jadi ini perasaan Erfan saat mengadzani ayahnya saat itu? Jika saat itu Erfan yang mengadzani Aldiandra, maka kini dirinyalah yang diadzani oleh adiknya. Kanaya sedang menjaga Sinta yang sedari tadi sudah berkali-kali jatuh pingsan. Raka dan Jaegar terus berada disamping Jendra, karena takut ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada sahabatnya itu.

Bian sendiri tidak bisa datang karena keadaannya yang kembali drop semalam. Ada perasaan takut yang mendalam di hati Jendra melihat kedua abangnya yang tidak baik-baik saja. Disaat Bian drop, dirinya harus melihat jasad Erfan yang sudah dikafani dan penuh luka. Seperti saat Aldiandra meninggal, Jendra hanya menatap kosong semuanya.

Ini seperti mimpi. Semuanya terjadi begitu cepat.

Bocah laki-laki berusia empat belas tahun itu berjongkok di depan sebuah gundukan tanah yang baru saja dibuat. Pusara milik abangnya yang bersebelahan dengan milik ayahnya. Jendra tidak yakin ini semua nyata, ia masih berpikir ini semua hanyalah mimpi.

"Yah, maafin Jendra karena ga bisa jagain abang-abang." Anak itu bermonolog dengan suara serak. Jaegar dan Raka yang senantiasa berdiri di belakangnya ikut merasakan sesak yang Jendra rasakan. Tidak dapat dibayangkan menjadi seorang Najendra Alfhajrin Dewangga, disaat seharusnya abangnya pulang untuk merayakan kelulusan dirinya, justru abangnya malah pulang menuju pangkuan Sang Pencipta.

"Ayah marah ya sama Jendra? Sampai Ayah ambil Bang Erfan?" Raka menggigit bibir bawahnya seraya menyalurkan rasa sedih dan sesak. Begitu juga Jaegar yang menangis dalam diam. Ia tidak percaya Erfan sudah tiada. Semalam ia masih mengobrol dengan laki-laki yang menyandang status abang dari sahabatnya itu.

"Padahal Bang Erfan mau nikah," sambung Jendra sembari tertawa sumbang diakhir kalimatnya. Ia menghela napas dan berdiri dari jongkoknya tadi. Menatap kedua makam tersebut dari atas. "Jendra pulang ya?"

Ia berbalik dan mulai melangkahkan kakinya untuk keluar dari area pemakaman. Raka dan Jaegar juga terus berada dibelakang anak itu. Jaegar yang benar-benar memperhatikan Jendra menyadari langkah laki-laki itu mulai tidak seimbang. Dengan sigap laki-laki berdarah Batak tersebut menangkap tubuh sahabatnya yang mulai oleng.

"Lo ga apa-apa, Jen?" Baik Raka maupun Jaegar sedikit memekik tertahan melihat Jendra yang limbung dan kehilangan keseimbangannya. Anak itu pun mengangguk lemah sembari memejamkan matanya. Ia lelah. Lelah dengan keadaan dan segala tekanan yang menghampirinya. Jaegar yang memegang tubuh bongsor Jendra merasakan hawa panas tetapi tidak terlalu tinggi darinya.

26 ALUR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang