HALAMAN KESEBELAS; PERHATIAN TAK TERLIHAT

28 7 0
                                    

Typo tandain!

Jangan lupa voment!

***

Sepulang sekolah, Bian menunggu Ahza yang tengah piket dengan mengobrol bersama Adit, Noval, dan Rangga. Semakin hari hubungan pertemanan mereka semakin dekat. Bian semakin terbuka dengan ketiga temannya tersebut. Bian pun nampak mulai terbuka dengan ketiganya. Tadi Bian menceritakan tentang rencana ayahnya yang ingin membawanya ke Singapura bila beliau jadi dipindahkan tugas menuju negara tersebut. Kabar itu membuat mereka sedikit sedih dan mendo'akan agar Aldiandra tak jadi dipindahkan tugas dan Bian tak perlu pergi dari samping mereka.

Hari ini mereka akan pulang bersama. Kebetulan rumah Adit, Noval, dan Rangga searah dengan rumah Bian dan Ahza. Sama halnya seperti Jendra, Jaegar, Raka, dan Kanaya, namun bedanya mereka satu komplek. Bocah berusia dua belas tahun itu sudah pulang sejak lima menit yang lalu, namun mereka belum juga mengangkat kakinya dari lingkungan sekolah. Hari ini adalah jadwal piket Kanaya.

Gadis tersebut piket bersama teman-teman kelasnya, juga dibantu oleh ketiga sahabatnya tersebut. Bagi mereka Kanaya itu layaknya tuan putri dan merekalah pengawalnya. Mereka ingin memastikan Kanaya aman selalu bersama mereka. Terutama Jendra, sejak awal bertemu Kanaya ada dorongan dalam hatinya untuk melindungi gadis tersebut sampai-sampai sebuah perasaan sayang tumbuh dalam hati mungilnya.

Diselingi dengan candaan yang selalu berhasil membuat emosi Danan-teman sebangku Raka-terpancing. Mereka sungguh menikmati masa-masa dimana mereka masih bebas bermain sepuas hatinya. Beberapa bulan lagi semuanya berubah, mereka mungkin akan sulit bermain seperti sekarang karena tugas yang akan membebani mereka.

"Udah beres?" tanya Raka pada Danan. Danan-lah yang bertanggung jawab atas piket hari Senin. Ia mengangguk dan menutup pintu kelas.

"Gerimis!" Mereka menoleh setelah mendengar Adista-teman sekelas Kanaya dan Raka-berseru tak jauh dari mereka. Padahal tadi langit masih terang, namun sekarang semuanya berubah menjadi gelap. Karena tertutup awan hujan. Akhir-akhir ini memang cuaca tak menentu, membuat banyak orang lebih mudah sakit. Ide untuk bermain hujan pun muncul dibenak Jendra, sangking bersemangatnya ia menepuk tangannya hingga menimbulkan suara kencang. Itu membuat semua temannya terkejut.

"Apa sih, Jen?! Kaget gue!" sewot Danan yang sudah kesal karena sedari tadi ia dijahili terus oleh Jendra dan Jaegar. Double J tersebut tidak boleh disatukan jika menurut Raka, karena bila disatukan itu tidak akan baik. Mereka itu usil, jika disatukan keusilan mereka akan semakin menjadi-jadi.

"Hujanan yok!" ajak Jendra dan langsung diangguki oleh Raka dan Jaegar.

"Ikut ga Ka?" tanya Jendra membuat alis Raka bertaut.

"Kan tadi gue udah ngangguk Jen," sahutnya kebingungan.

"Kanaya, bukan lo." Kanaya menoleh kala Jendra menyebutkan namanya dan menatapnya hingga kedua matanya mereka bertemu.

"Kalau basah gimana?" tanyanya ragu atas ajakan Jendra. Jaegar yang mendengar pertanyaan gadis kecil tersebut menepuk dahinya. Sedangkan Raka yang masih loading malah bengong mendengar pertanyaan tersebut. Jendra hanya bisa terkekeh mendengarnya.

"Namanya hujanan pasti basah ga sih?" celetuk Danan membuat Kanaya cengengesan.

"Masukin sepatunya kedalem tas, terus tutup pake jas hujan tas." Mereka mengangguk menuruti ide Raka. Jendra-lah yang paling antusias bermain hujan. Ia berlari ke arah lapangan tak mempedulikan bokongnya yang sakit karena tadi ia sempat terpeleset hingga terjatuh.

Hujan mengingatkannya pada hari dimana ia pertama mengobrol dengan Jaegar, hari dimana Erfan menjemputnya dengan meminjam motor Januar, dan hari dimana ia pulang bersama kedua kakaknya dengan menaiki motor juga wajah yang tersapu oleh rintik air hujan. Itu akan sulit diulang karena Erfan kini tak tinggal di Indonesia. Omong-omong Januar, pemuda itu menangis kencang kala Erfan memberinya kabar bahwa dirinya akan pindah.

26 ALUR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang