Typo tandain!
Jangan lupa voment!
***
Banyak angan yang ingin Jendra gapai di masa depan. Salah satunya adalah melangkah riang dengan perasaan bangga pada Ayah dan Mamah dari arah podium dengan ijazah yang ia bawa dan medali kelulusan yang mengalung di lehernya. Di balut dengan baju toga dan topi toga yang ia kenakan, Jendra ingin mendengar bisikan rasa bangga dari orang tuanya. Juga tatapan bangga dan kagum dari kedua abangnya pada dirinya.
Namun sayangnya angan yang masih jauh di ujung jalan itu harus lenyap oleh sebuah kenyataan pahit yang menguburnya sangat dalam. Aldiandra berpulang disaat semua angan anak bungsunya belum tercapai. Perihal rasa sakit atas kepergian Aldiandra yang mendadak masih belum terasa membaik di hatinya. Lukanya masih basah, layaknya baru terbuat. Jangankan soal angannya yang masih sangat jauh itu, bahkan kini dihari kelulusannya saja Jendra hanya seorang diri. Tidak ada seorang pun yang menemaninya.
Kemarin siang Bian datang ke Indonesia dan berniat untuk menginap selama masa pengurusan berkas-berkas pendaftaran adiknya, tetapi justru ia diserang demam tinggi yang menyebabkan Sinta harus fokus pada dirinya. Jendra mengalah dan berangkat ke gedung tempatnya melaksanakan perpisahan sendirian mengggunakan motor milik Erfan. Tadinya Jendra diajak menebeng bersama Raka, tapi ia tidak enak orang tua Raka dan memilih berangkat sendiri.
Pada hari ini, Jendra dinyatakan lulus dari jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Beberapa minggu lagi laki-laki itu akan menginjakan kakinya di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu Sekolah Menengah Atas. Setelah penantian dan perjuangan panjangnya, akhirnya Jendra lulus dengan gelar lulusan terbaik kedua seperti yang ia dambakan. Tapi rasa kecewa kembali ia telan saat mengetahui seorang Jovan Bagaskara-lah yang memegang gelar peringkat satu paralel.
Namun Jendra hanya bisa pasrah dan berharap tidak bersekolah di sekolah yang sama dengan Jovanjing lagi. Percaya atau tidak gelar lima lulusan terbaik sekolah mereka diborong semua oleh anak-anak 08L. Pertama Jovan, kedua Jendra, lalu Jaegar, lantas Kanaya, dan terakhir Raka. Walaupun hobi mereka itu bermain dan bertengkar, tapi jangan pernah remehkan otak mereka yang selancar jalan tol--walaupun jalan tol juga ada macetnya.
"Jen! Sendiri aja lo!" Riyan menyapa dan duduk di samping Jendra yang sedang duduk di halaman gedung yang menjadi lokasi tempat mereka merayakan perpisahan. Di susul dengan Rayyan yang baru datang membawa tiga buah air mineral dengan kemasan gelas plastik dan memberikannya pada sang kembaran juga Jendra.
"Tumbenan lo sendiri? Biasanya pawang lo stand by," ujar Rayyan sembari menyimpan air minum miliknya.
"Lagi pengen aja," jawab Jendra. Sejujurnya suasana hati Jendra sedang kurang baik. Mungkin memang karena Jendra yang terlalu sensitif? Entahlah. Hanya karena chatnya yanh tidak dibalas oleh Sinta dan hanya diread, Jendra dibuat badmood karena itu. Pesan itu berisikan kabar baik perihal prestasinya, tetapi tidak ada tanggapan dari Sinta soal itu. Ia menghela napas dan mendongakkan kepalanya, menatap hamparan langit berhias awan tipis.
Jendra tiba-tiba terpikirkan sesuatu, apakah Aldiandra bangga padanya? Jendra takut ayahnya kecewa karena ia tidak berhasil mendapatkan peringkat satu paralel. "Mikirin apa lo?"
Jendra terperanjat dan menoleh menatap Riyan yang sedang menatapnya sembari meminum air yang tadi diberikan oleh kembarannya. Ia menggeleng dan mengalihkan pandangannya menuju sepatu pantofel yang sedang ia gunakan. Sebenarnya itu sepatu Bian, ia hanya meminjamnya untuk sehari ini. Sungguh, sepatu itu terlalu besar dikakinya, tetapi tidak ada lagi yang lebih baik selain sepatu pantofel Bian yang ukuran sepatunya tidak jauh berbeda dengannya.
Tadinya Sinta menyuruh Jendra memakai sepatu pantofel bekas Aldiandra dulu, tetapi Jendra menolak karena ukuran sepatu itu sangat jauh dengan ukuran sepatunya. Bayangkan saja ukurannya berbeda sepuluh angka, sebesar apa sepatu itu dikakinya? Tetapi Bian berbaik hati meminjamkan sepatunya saat Jendra berkata akan menggunakan sepatu sekolahnya saja. Bian berpikir sangat tidak bagus Jendra yang sudah rapih menggunakan kemeja putih, dasi hitam, juga setelan jas yang sudah dipastikan meminjam pada Bian, menggunakan sepatu sekolah yang kumal belum dicuci selama dua minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
26 ALUR ✔
Teen Fiction[END] "Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?" Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat...