Typo tandain!
Jangan lupa voment!
***
Semilir angin sore menerpa wajah Jendra yang sedang duduk tenang di atas ayunan yang berada di taman bermain komplek rumahnya. Taman bermain yang menjadi saksi bagaimana anak-anak yang semula masih kecil mungil kini beranjak remaja dan dewasa, seperti Jendra. Tidak banyak yang berubah dari taman itu, hanya cat lapangan yang sering kali diganti ketika mulai pudar, beberapa permainan yang diganti karena rusak, juga mulai berkurangnya tanaman hias yang ada di sana.
Sepulang sekolah tadi, Jendra bergegas menuju rumah makan tempat dimana ia bekerja sebagai tukang cuci piring dan bersih-bersih menggunakan sepeda kesayangannya. Pekerjaannya sejenis dengan OB tapi bukan OB, begitulah kata Jaegar. Padahal Raka sudah bersikeras memintanya mengizinkan dirinya ikut menemani Jendra bekerja, tetapi laki-laki berahang tegas itu tetap menolaknya dengan alasan klasik yang ia miliki. Takut merepotkan. Alhasil, Jendra hari ini bekerja tanpa pantauan dari kedua sahabatnya. Sengaja Jendra menolaknya mentah-mentah karena ia sudah berencana mampir ke taman terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Menenangkan pikirannya sebentar disana tidak salah bukan?
Apa yang tadi terjadi di sekolah masih berputar jelas di kepalanya. Terutama dimana Sinta menamparnya dihadapan guru BK, Pak Hendri, dan ketiga sahabatnya. Itu adalah kali pertama Sinta menamparnya. Bahkan tadi Sinta menamparnya bukan hanya sekali, membuat pipi mulusnya tersebut terasa perih sampai sekarang. Sudut bibirnya juga sedikit lebam, namun tidak kentara.
Jendra tahu dan Jendra yakin ibunya kecewa terhadapnya saat Pak Hendri dengan santainya mengatakan bahwa ada sebungkus rokok di tasnya. Jendra bingung, punya salah apa dirinya pada Pak Hendri sampai-sampai beliau kentara tidak menyukainya? Ia kembali menghela napas, hingga sebuah bola plastik berhenti dihadapan kakinya.
Jendra mendongak dan mendapati dua bocah berusia sekitar delapan dan tujuh enam yang berdiri tak jauh darinya. Jendra tersenyum hangat pada mereka yang sedang menatapnya dengan senyum lebar.
"Abang! Boleh minta tolong balikin bolanya?" tanya Tama−bocah yang sering bermain dan mengobrol dengan Jendra di pengajian. Bocah dengan pipi chubby juga rambut lebat dan lurus yang selalu menempel pada bungsu Dewangga tersebut. Dengan senang hati Jendra menuruti permintaan Tama. Bara−adik angkat dari Tama hanya menatap interaksi kakaknya dengan Jendra tanpa ada niatan membuka suara.
Bara itu ibaratkan kebalikan dari Tama. Jika Tama mudah berbaur dengan orang-orang di sekitarnya, maka Bara cenderung pendiam tanpa banyak kata yang keluar dari mulutnya. Kata Bara itu baik untuk tenggorokannya, menghemat suara. Jendra bangkit dan membawa bola tersebut untuk dikembalikan pada dua bocah itu. Bagi Jendra, Tama dan Bara itu seperti adiknya. Walaupun Jendra tidak tahu persis bagaimana seorang abang bersikap, tapi yang Jendra tahu setiap abang pasti menyayangi adik-adiknya walaupun harus mengorbankan dirinya.
"Berdua aja hm?" tanya Jendra lembut. Keduanya mengangguk dan menerima bola tersebut dari tangan besar milik Jendra. Melihat senyum kedua bocah itu, Jendra merasa sudah cocok menjadi abang. Tapi ia sadar, banyak hal dari dirinya yang tidak stabil. Dengan dirinya yang tidak stabil, Jendra takut itu akan menyakiti adik-adiknya itu.
"Abang mau ikut main?" tanya Bara. Jendra sedikit tercengang karena Bara mengeluarkan suaranya tanpa ditanya terlebih dahulu. Tetapi Jendra bersyukur, mungkin itu salah satu tanda bahwa trauma anak itu hilang. Dulu Bara pernah mengalami kecelakaan pesawat bersama ibunya. Ibu dari anak tidak dinyatakan tewas, sedangkan Bara selamat walau sempat koma selama tiga minggu. Bara tidak pulang pada keluarganya karena katanya tidak ada informasi soal keluarganya. Alhasil Bara dimasukkan ke panti asuhan. Setelah empat bulan menetap disana, keluarga Tama datang dan mengadopsi dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
26 ALUR ✔
Ficção Adolescente[END] "Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?" Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat...