Typo tandain!
Jangan lupa vote!
***
Tidak ada angin, petir, hujan, badai, bahkan awan pun tidak nampak di atas sana, sore ini Jendra nampak sangat-sangat bahagia dan seceria itu. Biasanya bocah itu akan murung jika terlalu lama menunggu jemputan, tapi kali ini mood Jendra yang sedang baik membuat senyumnya yang sudah terukir sejak jam istirahat tadi. Dengan sabar, Jendra menunggu kedatangan orang yang akan menjemputnya hari ini. Kata ayah, hari Erfan—abang sulungnya yang akan menjemput dirinya.
Tanpa rasa bosan sedikit pun, Jendra menatap jalanan yang ramai dengan berbagai kendaraan. Kakinya berayun bebas, karena ia duduk di atas tempat duduk beton yang cukup tinggi baginya. Kanaya dan Raka sudah pulang lebih dahulu darinya. Tadi juga Jendra sempat diajak pulang bersama ibunya Raka, tapi cowok itu menolak karena takut Erfan mencarinya nanti.
Bisa-bisa ia habis diomeli kedua abangnya saat di rumahnya nanti.
Netra hazelnya menangkap eksistensi seorang pria paruh baya yang selalu menemaninya menunggu jemputan.
"Pak Agung!" seru Jendra memanggil sosok pria paruh baya itu.
Sosok pria paruh baya itu—Pak Agung—merupakan salah satu petugas satpam yang ada di sekolah Jendra. Pak Agung adalah orang yang paling dekat dengan Jendra setelah Kanaya dan Raka. Sudah menjadi rutinitas Pak Agung menemani Jendra setelah pulang sekolah. Ketika bersama dengan Jendra, Pak Agung merasa sedang bersama dengan anak-anaknya dahulu.
Kini, anak-anaknya sudah fokus pada kehidupannya masing-masing dan jarang pulang ke rumah karena tuntutan pekerjaan mereka. Melupakan orang tuanya yang sejak dulu mendo'akan dan membimbing mereka hingga dewasa.
Jendra mirip dengan salah satunya. Mulai dari paras, gaya bicara, gesture-nya, bahkan cara menatapnya pun sama. Tetapi, anak Pak Agung itu telah meninggal dunia di usianya yang baru sembilan belas tahun beberapa bulan lalu karena kecelakaan pesawat. Melihat Jendra yang sangat mirip dengan mendiang putranya itu membuat Pak Agung menyayangi Jendra sebagaimana ia menyayangi anaknya sendiri.
"Eh? Nak Jendra belum dijemput, ya?" tanya Pak Agung sambil mendudukkan dirinya di samping Jendra. Cowok itu mengangguk dan mencium punggung tangan Pak Agung sebagai tanda hormat.
"Belum, Pak. Kata Ayah, hari ini Bang Erfan yang bakal jemput Jendra," jawab Jendra dengan antusias. Karena sudah mengenal Jendra sejak awal masuk SD, Pak Agung mengenal cukup baik anggota keluarga Dewangga. Bahkan Pak Agung mengenal beberapa nama-nama tetangga rumah keluarga Dewangga dari semua celotehan Jendra.
"Oh, ya?" tanya Pak Agung seolah-olah ia penasaran dengan ucapan Jendra tadi.
"Hm!" Cowok itu mengangguk antusias sampai-sampai rambut poninya pun ikut bergoyang mengikuti gerakan kepalanya.
"Ciee, sebentar lagi mau lulus," goda Pak Agung pada Jendra yang kini masih senyum-senyum tanpa alasan. Mendengar godaan dari Pak Agung, Jendra hanya terkekeh dan menggaruk tengkuknya tak gatal.
"Tapi, Pak, Jendra masih mau di SD," adunya sembari cemberut. Melihat raut wajah cemberut bocah yang duduk di sampingnya, pria paruh baya itu hanya bisa tertawa geli. Ia mengusak surai lebat milik Jendra dan memberikan senyum simpulnya.
"Jendra boleh lama-lama di SD."
"BENERAN?!" tanya bocah itu nampak penasaran dan antusias mendengar ucapan Pak Agung sebelumnya. Pak Agung hanya tertawa mendengar pertanyaan antusias dari bocah polos yang sudah ia anggap anaknya sendiri.
"Kalau Jendra mau, boleh-boleh aja. Tapi jangan malu nanti kalau Jendra jadi siswa SD abadi." Seketika wajah anak itu langsung menekuk sebal mendengar kalimat yang Pak Agung jadikan sebegai jawaban dari pertanyaannya tadi. Jelas saja ia tidak mau tinggal kelas dan menjadi siswa SD abadi. Jendra tekankan, itu tidak boleh terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
26 ALUR ✔
Teen Fiction[END] "Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?" Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat...