HALAMAN KEEMPAT BELAS; JENDRA, HUJAN, DAN KENANGAN

36 8 0
                                    

Typo tandain!

Jangan lupa voment!

***

Kini Jendra tahu. Bahwa tak semuanya akan ada untuk selamanya. Dulu ia berpikir jika yang namanya keluarga akan selamanya bersama. Namun nyatanya itu semua salah. Tak semua keluarga itu selalu bersama. Seperti janji Bian kemarin, Jendra kini sudah tahu kemana kakaknya akan pergi. Diluar dugaan Bian dan Aldiandra, Jendra tak menunjukkan reaksi apapun. Tetapi dari yang Sinta lihat, sorot mata Jendra mengatakan anak itu tidak percaya.

Bayangkan saat kalian menjadi Jendra. Menjadi bocah dua belas tahun yang merupakan bungsu keluarga. Menjadi sosok yang paling dimanja di rumah tersebut. Disaat dirinya masih sangat membutuhkan sosok Ayah yang menggandeng tangannya, dan juga kedua kakaknya sebagai penyemangat, buku takdir menuliskan cerita yang berbeda dengan harapannya. Tuhan menuliskan cerita dimana keluarga Dewangga tinggal secara terpisah-pisah. Jendra tak mampus menangis seperti anak-anak lain kala ditinggal jauh okeh keluarganya. Bahkan kini Jendra malah tertawa sembari membantu Bian mengemasi barang yang akan dibawa. Kini bukan hanya fisiknya yang sakit, hatinya juga sakit. Teramat sakit.

Melihat bagaimana Jendra mengembangkan senyumnya dengan begitu mudah membuat Bian semakin tak tega untuk meninggalkan si Bungsu tersebut. Bian tak habis pikir mengapa Ayahnya begitu memaksa dirinya untuk ikut dengan sang Ayah. Namun, mengingat ucapan Jendra yang dulu pernah mengatakan; takdir ga bisa ditebak, tapi bisa ditemukan dan dijalani, membuat Bian berusaha menerima keadaan sekarang ini.

Jendra itu dewasa dalam pemikirannya, namun seperti anak kecil di perilakunya. Manik gelap Bian tak lepas dari wajah adiknya yang kini tengah bernyanyi kecil sembari membantu dirinya. Netra hazelnya, hidung mancungnya, dan bibir merah mudanya yang selalu mengukit senyuman hangat itu tak mungkin Bian lupakan. Jendra yang tak sengaja menangkap sosok Bian yang tengah memperhatikannya dalam diam, lantas menatap kakaknya dengan penuh tanda tanya.

"Apa?" tanya Bian ikut bingung.

"Lo kenapa ngeliatin gue segitunya? Ganteng ya gue? Baru nyadar, Bang?" Seketika wajah Bian berubah 180 derajat. Pede banget cibir Bian dalam hati. Melihat bagaimana perubahan wajah kakaknya tersebut membuat Jendra tertawa. Kapan lagi dirinya dapat menggodai Bian seperti tadi jika kakaknya sudah pergi nanti?

"Canda Bang," ujanya dan merebahkan diri diatas ranjang milik Bian. Netra hazelnya memandangi langit-langit kamar Bian dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang kemana-mana. Bagaimana caranya membanggakan orang tuanya yang selalu menuntut prestasi tinggi seorang diri? Bagaimana kedepannya? Ia tahu Ayahnya tetap akan menafkahi ibunya juga dirinya, tapi apakah bisa nanti ia membantu keuangan Ibunya? Bisakah dirinya tanpa sang Ayah dan kedua kakaknya? Ia tahu ketiganya hanya terhalang jarak, tetapi entah mengapa hatinya sangat gusar.

Bian yang menyadari tatapan kosong adiknya pun menghampiri Jendra dan menepuk lengannya pelan agar fokus anak itu kembali padanya. Bian paham betul apa yang dirasakan oleh Jendra. Dan mungkin apa yang dirasakannya dulu tidak sebanding dengan yang dirasakan Jendra sekarang. Bian yang dulu berusia lima tahun pernah ditinggal Aldiandra ke Bandung selama setengah tahun lamanya. Itu pun sudah membuatnya merengek ingin bertemu sang Ayah.

Apalagi Jendra yang ditinggal Erfan kuliah selama lebih kurang empat tahun dan Ayahnya juga Bian yang harus pergi lebih kurang selama dua sampai tiga tahun. Itu pun masih ada kemungkinan masa kerja Aldiandra di sana diperpanjang.

"Apa Bang?" tanya Jendra sembari menatap Bian.

"Jangan ngelamun, nanti lo kesambet," peringat Bian. Jendra hanya mengangguk dan beranjak duduk dari posisi tidurnya.

"Lo kapan berangkat? Gue lupa hehe," tanya Jendra cengengesan. Bian terdiam. Ini pertanyaan yang tidak ia sukai. Ditambah dengan senyum lebar itu, menambah hati Bian semakin sakit.

26 ALUR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang