17] and then...

824 95 0
                                    

"PASIEN TIDAK BERNAPAS"

Tubuh Jennie sontak meluruh bersamaan dengan napas yang tersengal.

"No, no, no! Anakku! Sayang, kembali sayang..." Racaunya.

Jisoo ikut bersimpuh. Ia meraih tubuh lemas istrinya dan memeluk erat, membiarkan wajah Jennie menelasak dalam dadanya. Rematan tangannya dibahu Jennie pun menguat seiring riuh mengelilingi anaknya yang sedang berjuang.

"Nadi masih teraba, tapi sangat lemah."

"Siapkan defribilator"

"Bantu pasien dengan oksigenasi dan ventilasi. Beri satu napas tiap 6 detik dengan ambu bag. Jika nadi masih lemah dan muncul tanda-tanda perfusi yang buruk segera lakukan kompresi dada. Cek nadi lagi tiap 2 menit."

"YAK KAU! TEKAN AMBU BAG NYA DENGAN KUAT."

"I-iya dok."

"DOK?!!!"

Dokter yang masih menyiapkan defribilator menengok cepat, membaca layar monitor.

"CEPAT LAKUKAN KOMPRESI DADA."

Ku mohon... 

Ku mohon...

Ku mohon...

Suara alat yang saling bersautan memekakkan gendang telinga Jisoo dan Jennie. Mereka hanya bisa terus memanjatkan doa meminta agar tidak akan ada hal buruk yang terjadi pada sang anak.

Sakit sekali. Seorang ayah hanya bisa menatap iba anaknya dari kejauhan, tanpa melakukan apapun. Netra Jisoo masih bisa menangkap wajah sang anak yang semakin pasi, bibir yang membiru, dan mata yang terus memejam. Hujaman tajam terus saja menghantam relung terdalamnya.

Keduanya terisak semakin pilu.

Hingga, pekikan dokter membuyarkan segala pemikiran buruk kedua orangtua gadis yang berhasil berjuang itu. 

"ROSC! Napas pasien kembali."

Dokter beserta tim kembali bergerak cepat memeriksa dan memasang beberapa selang pada mulut dan hidung Rora.

Napas yang ikut tersendat sejak tadi, perlahan berhembus menjadi lega. Ucapan syukur dari Jisoo dan Jennie tak berhenti sampai mereka memindahkan Rora ke ruang intensif guna mendapatkan pantauan yang lebih maksimal.

"Permisi, sus."

Suara Jennie yang sedang duduk menunggu di depan menginterupsi suster yang baru saja keluar dari ruang perawatan anaknya.

Jisoo ikut menoleh, menunggu apa yang ingin disampaikan istrinya itu.

"Apa benar Dokter Rosie hari ini tidak praktik, sus?"

"Benar, bu. Dokter Rosie masih mengambil jatah cutinya."

Jennie memejam, menggigit bibirnya. Seketika kepanikan kembali menyerang.

Walaupun sang anak sudah melewati masa kritisnya, kekhawatiran Jennie sama sekali tidak bisa langsung mereda. Banyak sekali ketakutan yang datang menghantuinya.

Napasnya seakan kembali terhenti. 

Bagaimana jika tadi Rora tidak bisa selamat? Bagaimana jika mereka terlambat membawa Rora ke rumah sakit?

Mengapa hal mengerikan seperti ini harus terulang lagi? dan mengapa ia sebagai ibu tidak menyadari perubahan yang terjadi pada anaknya sendiri?

Jennie sangat menyesal. Saat lalu, saat Rora meminta stok inhalernya, mengapa ia tidak mencurigai suatu hal yang mungkin terjadi? mengapa saat itu ia tidak mengambil tindakan dengan cepat?

la famille | Babymonster ✓Where stories live. Discover now