32] Papi's mad

796 98 6
                                    

Jisoo baru hendak menginjak pedal mobilnya ketika terdengar lagi isak lirih dari bangku belakang. Menoleh ke samping kiri, Jisoo mendesah, dagunya bergerak malas meminta pujaan hatinya agar mengambil kendali.

"Adek..." Jennie memutar posisi duduk. Tangannya mencoba menggapai genggam putri terkecilnya. Namun si bungsu mereka malah bergerak menjauh, duduk memojok ke arah pintu mobil.

"Ssttt... Jangan nangis lagi, sayang. Cuma dua minggu kok Adek belajarnya di rumah. Nggak papa ya?" Jennie sudah kehabisan akal menghibur anaknya itu yang baru saja mendapat hukuman dari sekolah.

Hari ini Jisoo dan Jennie sengaja mengunjungi sekolah anak-anaknya untuk menyelesaikan masalah Rora dan juga Canny. Akhirnya dengan tegas, Jisoo mengambil keputusan meminta pihak sekolah untuk mengeluarkan Gisel dan men-skorsing Grace, John, dan juga, Canny, si bungsu mereka---ganjaran timpal atas kejahilannya selama ini. Dengan berat hati Jisoo harus mengambil tindakan tersebut demi mendisiplinkan anak terakhirnya.

Meski awalnya mendapat tatapan sengit dari sang istri, karena, meski Jisoo sudah mengeluarkan Gisel dari sekolah, pria baik hati itu juga mencarikan sekolah lain yang bisa menerima Gisel dengan baik sampai mengurus semua administratifnya. Jennie, berusaha berlapang dada dan tidak lagi berpikiran negatif. Sang istri berusaha mendukung keputusan kepala keluarganya itu---tidak ingin ada lagi pertengkaran lain.

"Nggak mau! A-adek nggak mau di skorsing, Mam. Malu..." Canny menangkup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang hebat. "Kenapa Papi tega sih setuju sama hukuman itu? Adek itu nggak nakal. Reputasi Adek jadi jelek kan!"

Jennie langsung menahan Jisoo yang ingin membalas ucapan anaknya. "Don't be. Let me handle it."

"Chu..." Kepalanya menggeleng lagi ketika Jisoo akan memprotes.

"Mami pindah ke bangku belakang. Papi fokus nyetir aja nanti. Adek biar Mami yang tenangin. Please, jangan ikutan kepancing." Jennie mengusap pipi suaminya sebelum keluar mobil lalu masuk lagi ke bangku belakang memeluk hangat dan mencium puncak kepala bungsunya.

Sementara Jisoo mengamati dalam sunyi melalui spion sebelum melajukan Maserati sewarna biru malam dengan kecepatan konstan.

"Udah sayang? Much better?" Tanya Jennie setelah seperempat jalan mereka menuju pulang.

Jennie sengaja memberi jeda kepada si anak agar bisa memproses gejolak emosinya sendiri. Dia maklum, anak SMP itu baru beranjak remaja. Jennie harus pintar-pintar memberikan pengertian kepada sang anak. Si paling terakhir mereka itu memang sedikit lebih susah dalam mengolah emosi dirinya.

Canny menganggukan kepala sambil tersedu-sedu, masih tersenggal karena tangisnya yang baru mereda. Jennie memposisikan diri sedekat mungkin dengan si anak, berbicara dari hati ke hati dengan mata saling menatap.

“Adek marah karena keputusan Papi sama pihak sekolah men-skorsing Adek?” Jennie membuka obrolan dengan lembut.

“I..iy---ya, Mam.”

It’s okey, Mami paham perasaan Adek. But, haven't you heard the reason? Adek udah dengar dan memang Adek yang melakukan hal tersebut, kan? Tindakan Adek nggak bisa dibenarkan sayang. Even, alasan Adek melakukannya untuk membantu orang lain. Tapi tanpa sadar Adek juga melukai orang lain. Adek sampai mukul orang lain, Adek juga bikin malu orang lain atas gosip yang nggak benar. Itu salah, sayang. Itu bukan perbuatan yang baik. Dan Mami Papi nggak pernah ngajarin Adek kayak gitu."

Canny terus menatap mata teduh Jennie, sepanjang ucapan yang mengalun lembut tanpa penghakiman itu berhasil menyentuh dasar rasa sadarnya meski belum membebaskan sesak yang ada. Meluruh, Canny bersender lemas tanpa memutuskan tatapan mereka.

la famille | Babymonster ✓Where stories live. Discover now