Keadaan di mobil menjadi begitu senyap. Petra tidak tau akan di bawa kemana ia Pergi. Ia sudah muak dengan semua kondisi ini. Dari pada ia semakin membuang-buang energinya yang tinggal sedikit, diam adalah pilihan terbaik.
"Maafkan saya, Petra." Grisha mencoba untuk membuka percakapan namun sayang semua itu sia-sia. Bahkan tak sedikitpun Petra menoleh ke arahnya.
"Jangan benci mereka. Jika kamu ingin benci, benci saja saya karena semua itu adalah ulah saya," jelasnya tetap fokus mengendarai mobil.
Bodo amat gue nggak peduli, batinnya dalam hati.
Ribet amat ngadepin perawan kalo lagi ngambek, huh! untung imut, Grisha ikut-ikut membatin sambil sesekali melirik Petra yang lebih asik memandang keluar jendela.
Grisha berdehem. "Kamu beruntung sekali bisa memiliki keluarga dan orang-orang sekitar yang selalu menyayangi mu." Petra masih tidak bergeming dan Grisha masih mencoba untuk sabar agar tidak kelepasan menguyel-nguyel Petra yang kelewat imoet.
FBI! MANA FBI!
"Kamu tahu Petra, mengapa ayah, adik mu, dan orang-orang sekitar jadi seperti itu?"
"Ya gara-gara Om, lah! Pake nanya. Heran gue," jawabannya dengan gumaman di akhir kalimat. Sedangkan Grisha hanya cengengesan.
"Benar. Setelah saya ceritakan kejadian kemarin kepada ayah mu dan memohon dengan sangat agar kamu tetap jadi guru les anak saya. Sebenarnya saat itu ayah mu tetap bersikeras menentangnya, beliau khawatir jika nanti kamu akan diperlakukan lagi seperti yang sudah-sudah. Bahkan saya sudah kasih jaminan jika sampai terjadi hal buruk kepada mu lagi, saya serahkan anak saya sendiri untuk ia beri hukuman yang setimpal. Namun lagi-lagi di tolak," Grisha memberi jeda.
"Lalu kenapa ayah saya bisa jadi setuju?" sela Petra tanpa mengalihkan pandangannya.
"Nah, setelah permohonan saya yang terakhir akhirnya beliau menyetujui permintaan saya, namun dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Saya harus menanggung seluruh biaya temoat wisata ayah mu."
"Om serius?" Petra mendelik sangking terkejutnya. Lalu Grisha mengangguk. "Mahal Om."
Lalu Grisha tertawa dan mengacak-acak rambut Petra. Tak tahan tangannya udah gatel dari tadi. "Kamu ini kayak nggak tau saya aja."
Raut wajah Petra seketika berubah. Lalu menjauh lagi dari Grisha. Petra paham, ada nada sombong di dalam perkataannya itu.
Dumeh wong sugih!
"Terus ada apa sama tante Rina dan ibu-ibu kompleks di sana?" tanya Petra yang masih heran kenapa musti melibatkan satu RT hanya untuk mendapatkannya kembali. Toh, ujung-ujungnya juga nanti bakal ia tolak. Liat aja.
"Ayah mu telah memprediksi jauh ke depan." Kayah peramal aja pakai acara prediksi segala.
"Ia mengatakan jika ingin mengajak mu itu harus minta persetujuan dari satu RT dulu, bagaimana pun juga Petra itu gadis yang sangat disayangi sama satu RT," jelasnya sambil mengingat-ingat betul ucapan Arga.
Heh plis paan banget deh?! Petra mendengarnya saja begitu geli. Disayang satu RT? Eww. Dia bukan lah gadis yang se-istimewa itu sampai harus di sayang satu RT.
"Kamu anak baik, setiap ada orang yang butuh bantuan mu, kamu dengan senang hati menolongnya."
Ah, Petra jadi teringat. Saat dia membantu Mbah Jumi menimba air, menolong Bibi Ana yang keseleo karena pakai sendal yang haknya setinggi ego manusia, membenarkan gendeng Pak RT, membantu Tante Rina bersih-bersih rumah, menolong anak tetangganya yang hampir ke serempet tronton, momong bayi tetangganya karena punya bayi kembar juga, dll.

KAMU SEDANG MEMBACA
QUINTUPLETS (Slow Update)
Teen FictionKenal dengan anaknya itu adalah sebuah anugrah- anugrah terburuk yang pernah gue alami SE UMUR-UMUR! BUSET DAH! Tapi mengenal bapaknya adalah definisi nikmat Tuhan mana lagi yang ingin kau dusta kan abangkuhhh!!! :D Tapi ini bukan tentang gue yang...