15; Eyes

771 98 13
                                    

㊐

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading!
Feel free to ask for the typo(s)
Sean POV ● Tidak ada dialog

Dinginnya air dari shower menyadarkan Sean dari lamunannya yang entah ke berapa. Dia tidak bisa tidur nyenyak semalaman, sehingga memutuskan untuk membasuh diri lebih awal sekalipun hari ini dia libur. Tubuhnya terasa segar dan dingin ketika air mengenai kulit tubuh, namun kepala Sean terasa ingin meledak akan segala pikirannya. Akhir-akhir ini Sean merasa cukup lelah, meskipun fisiknya baik. Dia hanya sedang bergelut dengan pikiran-pikiran yang selalu menghantui bahkan saat matanya terpejam.

Sean kembali menghela, mematikan shower dan meraih handuk untuk membungkus tubuh. Warna orange mulai terlukis di ujuk timur, beberapa burung juga mulai berkicauan pertanda hari akan tiba. Sean terduduk di atas tempat tidur, menatap cahaya matahari yang belum terlihat sepenuhnya. Maniknya kembali melamun, menatap sejauh yang dia bisa.

Ini sudah lima hari sejak saat itu, dan Sean belum selesai dengan pikirannya. Dia tahu bahwa kalimatnya benar-benar melukai Yibo malam itu, tetapi dengan hatinya yang lembut, Yibo tetap mengantar Sean untuk pulang.

Sean menertawakan diri. Betapa bodohnya ia bersikap begitu kepada orang yang begitu berhati mulia.

Sejauh Sean mengenal Yibo, dia sangat menyukai kepribadian chef dua puluh sembilan itu. Yibo adalah gambaran sosok pria yang selalu Sean bayangkan ketika dia tua nanti. Sukses dan memiliki kepribadian yang begitu sempurna. Tapi, ketika dia berhadap secara langsung pada keinginannya, Sean justru melukai Yibo secara sengaja.

Yibo tidak terlihat di mana-mana setelah itu, dan Sean tidak berniat untuk mencari tahu. Dia yang menjadi alasan putusnya hubungan ini, sehingga Sean cukup tahu diri untuk tidak bertindak bodoh.

Kalimatnya memang menyakiti Yibo, tapi Sean justru lebih takut dirinya akan tersakiti ketika mencoba membuka diri.

Dia pernah berada pada posisi yang sama dengan Wang Yibo. Mengagumi seseorang dengan begitu dalamnya. Sean merasakan cinta untuk yang pertama kali, dan dari hal itu juga ia merasakan sakit yang begitu hebat.

Sean cukup naif untuk berpikir bahwa China tidak jauh berbeda dengan Australia. Nyatanya tidak semua orang di sini memiliki pandangan yang terbuka akan hubungan sesama jenis, termasuk seseorang yang mengambil hatinya untuk pertama kali.

Mungkin itu sudah berlalu sejauh empat tahun, namun rasa sakit yang Sean alami masih bisa dia rasakan hingga kini. Sean tidak pernah menyukai wanita sejauh ini, tetapi dia terlalu takut untuk membuka hati pada seorang pria.

Lalu Wang Yibo tiba-tiba datang, mengingatkan Sean pada dirinya empat tahun lalu. Jika Yibo bertanya tentang perasaannya, Sean akan menjawab bahwa dia menyukai segala hal tentang Wang Yibo. Chef itu terlalu disayangkan jika tidak dicintai, dan Sean ingin mencoba membuka diri dengan segala ketakutannya.

Tapi, hal itu justru membuat mereka berakhir bahkan sebelum memulai. Sean mengakui bahwa dia salah langkah. Malam itu Sean secara sadar dan sengaja membuka suara, ingin melihat balasan Yibo atas apa yang dia rasakan dan berniat membuatnya sebagai validasi. Namun, Sean tidak sadar bahwa itu juga melukai Yibo secara telak.

Kini dia merindukan eksistensi pria Wang itu. Yibo biasanya akan selalu mengirim pesan, mengucapkan selamat pagi dan mengharapkan bahwa harinya akan menyenangkan. Namun, sudah lima hari kontak Yibo tidak terlihat pada layar ponselnya. Dan Sean benar-benar merasa hampa tanpa hal itu.

Jarinya bergulir acak pada layar ponsel, menekan-nekan dengan tidak sadar. Dia baru kembali pada kesadaran saat alamat perumahan elit Yibo terpampang pada layar. Sean melirik jam pada dinding, dia segera berganti pakaian setelahnya.

Matahari baru saja muncul saat Sean sudah di lobby. Dia mengetukkan kaki dengan tidak sabaran, menunggu dengan tergesa pada taksi yang di pesannya. Kemudian Sean menelurusi perjalanan untuk memulai hari ke kediaman keluarga Wang.

Sejujurnya dia terlalu pesimis, takut bahwa usahanya tidak akan membuahkan hasil. Tapi, Sean tidak ingin berbalik arah sekarang, sehingga dia hanya menatap jalanan dengan segala pikirannya. Sampai-sampai membuatnya tidak sadar bahwa mobil yang dia tumpangi mulai memasuki kawasan elit itu.

Ini pertama kalinya bagi Sean. Dia benar-benar seperti orang hilang saat pengemudi menurunkannya di depan papan nama perumahan Yibo tanpa sepatah kata selain terima kasih. Dia kehilangan arah, melihat sekitar berusaha mencari seseorang untuk bertanya, namun nihil. Tempat itu luas, tapi tidak ada eksistensi manusia sama sekali selain dirinya.

Dia mencoba melangkah menyusuri jalanan yang cukup lebar. Banyak pohon hijau sepanjang jalan, terasa begitu menyejukkan di pagi hari seperti ini. Sean berjalan cukup jauh saat dia baru menemukan pos penjagaan. Petugas itu menghentikannya.

“Ada keperluan apa, Tuan?” Tanya orang berseragam itu.

Sean mendadak linglung, bingung harus menjawab bagaimana. Dia menelan ludah kasar sebelum membuka suara. “Saya ingin bertamu ke keluarga Wang.”

“Sudah membuat janji?”

Badan Sean terasa panas dingin, tangannya berkeringat. Dia seperti tengah menghadapi ujian kompetensi sekarang. Otak Sean juga macet, tidak bisa berpikir rasional dia tiba-tiba mengangguk. Sean merogoh tasnya dengan gemetar, mencari dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. “Saya dokter pribadi keluarga Wang. Dan ada jadwal hari ini.”

Petugas itu memeriksa kartu nama Sean dengan teliti. Dia terlihat ragu sebelum menyuruh Sean untuk menunggu. Dia mengetukkan kakinya di tempat secara was-was saat melihat petugas itu tengah menghubungi seseorang. Kakinya sudah seperti jeli sekarang.

“Mari.”

Dahi Sean berkerut bingung. Dia mengikuti petugas dengan bertanya-tanya. Bahkan ketika mereka naik ke golf cart, Sean masih merasa gemetar bukan main. Mobil putih kecil itu melaju pelan menyusuri jalan. Bangunan besar mulai tampak saat mereka sedikit jauh dari area depan.

Manik bulat Sean melebar, terkejut dengan ukuran rumah-rumah yang ada di sana. Semuanya sangat luas. Sekalipun dibatasi oleh dinding yang tinggi, Sean tahu bahwa dia tidak bisa membelinya bahkan sudah bekerja seumur hidup.

Tidak seperti perumahan elit lainnya, tempat ini banyak dihiasi oleh ukiran Tiongkok kuno. Begitu kental dengan era kekaisaran yang sangat mewah. Sean terkagum atas hal itu. Ornamennya begitu cantik. Terlebih ketika dia mengikuti petugas untuk berjalan kaki di jalan setapak. Dinding tinggi menjadi pembatas dari rumah ke rumah. Mengisolasinya dari kehidupan luar yang melelahkan.

Sean juga sudah lelah. Dia tidak tahu harus berjalan berapa lama lagi. Kini dia mendadak tidak ingin memiliki rumah di sini sebab aksesnya melelahkan.

Dia ingin mengerutu dalam hati ketika di depan terlihat jalan buntu. Ada pintu besar yang tertutup, di atasnya terdapat kanopi kecil yang jika Sean tebak, harganya lebih mahal dari unit sewa apartmentnya.

Petugas itu kemudian memberi salam, mengatakan maksud dan tujuan mereka. Lalu pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.

“Silakan, Tuan.”

Sean benar-benar merasa seperti seorang pangeran sekarang. Dia mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum membawa diri masuk. Sean berdiri di tengah halaman yang luas, secara tidak sadar benaknya membandingkan seorang Wang Yibo dengannya.

Dia tiba-tiba merasa berkecil hati. Bertanya dalam hati apa sebaiknya dia kembali saja.

Keputusannya sudah bulat, ingin segera meninggalkan tempat ini. Namun, saat dia bertanya-tanya harus dari mana dia keluar. Pintu depan mendadak terbuka, menampilkan sosok Wang Yibo yang begitu dia rindukan. Dan Sean yakin bahwa dia juga menyukai pria itu sekarang.
[]

Dah abis ini mulus yaa, haha. Badainya nanti lagiii. See u soon!

[✓] The Eyes ㊐ YizhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang