㊐
—THE EYES; In Case—
Feel free to ask for the typo(s)
Happy reading!
Chapter ini tidak mempengaruhi jalannya cerita. Boleh dibaca atau dilewati.
㊐
CW: Explicit content, kissing, french kiss, nipple play, anal fingering, anal sex, multiple orgasms, overstimulation, etc.
3,3k
㊐Vice versa, katanya. Apa yang Yibo yang lakukan atau tidak dia lakukan, Sean juga akan demikian. Mereka sepakat akan hal itu terkait apapun. Sehingga sekalipun kemarin Yibo harus menahan nafsu setengah mati meskipun ingin, Sean juga akan demikian.
Bak simbiosis mutualisme, selama Yibo menjalin hubungan dengan Sean, dia tidak akan pernah mengambil keuntungan dalam hal apapun. Dia ingin mereka saling menguntungkan dan setara, atau dia yang dirugikan, tapi tidak dengan Sean. Segala cara akan Yibo lakukan demi suaminya, bahkan dia tidak pernah mengeluh ketika mengantar jemput Sean selama pemuda itu bekerja.
Sean sudah pernah melakukan negosiasi padanya, berusaha membuat Yibo yakin setengah mati untuk berkendara sendiri ketika bekerja atau kemana pun tanpa merepotkan dia ketika sedang sibuk. Dan setengah mati juga Yibo akan menolak hal itu dari suaminya. Yibo hanya ingin memastikan Sean aman, dan jika sesuatu terjadi pada Sean, maka dia juga harus terlibat. Entah kematian sekalipun.
Rasa sayangnya tidak bisa Yibo gambarkan, bahkan jika ditanya sebarapa kuat, Yibo tidak akan menjawab dengan angka. Dia hanya akan berkata bahwa dia sangat menyayangi Sean hingga rasanya menjadikan pria itu suami saja tidak cukup. Yibo ingin seluruh bumi tahu, bahwa dia begitu mencintai Sean. Bahkan jika bisa dia akan mengikrarkan janji sehidup sematinya di angkasa agar seluruh galaksi Bima Sakti menjadi saksi.
Intinya, segalanya tentang Wang Yibo adalah untuk Sean Xiao.
Yibo tidak segan melakukan apapun, bahkan menahan hasrat yang sudah menggebu pun dia sanggup. Di bawahnya, Sean sudah basah akan keringat. Kelopak sepenuhnya sayu dengan belah bibir yang terbuka, sering mengeluarkan suara tidak koheren ketika Yibo membawa jarinya untuk mencubit putting Sean yang sudah menggeras.
Dia menepati janji. Untunglah Yibo tidak di restoran hari ini, hanya meninjau berkas di kantor dan pulang tepat waktu. Sementara Sean cuti, sehingga Yibo tidak perlu menunggu suaminya untuk pulang atau merasa terburu sebelum suaminya bekerja.
Sejatinya Yibo salah mengambil langkah, tubuh yang beberapa waktu dia basuh kini bermandikan keringat. Tapi, Yibo tidak ingin memanjakan Sean dengan tubuhnya yang terasa kotor selepas bekerja seharian.
Sean tadi menunggu seperti Golden Retriever penurut selama Yibo membasuh diri. Suaminya berbaring di atas tempat tidur dengan menatap layar televisi, fokusnya tertuju pada layar sebelum Yibo mencurinya dengan handuk yang melingkari pinggang ke bawah.
Yibo sengaja. Dia tidak ingin menggoda Sean lebih lama, sudah cukup bagi prianya untuk menunggu sejak kemarin. Sehingga ketika Yibo keluar dari kamar mandi, dia langsung melesat ke atas tempat tidur. Turut bergabung dengan Sean, berbaring di atas suaminya selagi bibir saling membelit.
Waktu masih berhenti pada pukul delapan saat baju Sean sudah terlepas. Yibo melucutinya di tengah ciuman mereka dan melempar kain satin itu entah kemana. Keduanya terlalu abai, hanya memfokuskan pikiran pada belah bibir yang saling menyesap juga telapak yang sama-sama menggerayangi.
Napas keduanya semakin hangat, bahkan tubuhnya hampir terasa mendidih jika saja pendingin ruangan tidak menyala di tengah musim panas ini. Sejuknya air conditioner tidak dapat membantu, suhu tubuh mereka semakin naik seiring pergumulan yang semakin intens.
Bibir Sean terbuka dan tertutup berulang kali, dia mengatakan kata acak yang tidak bisa Yibo artikan selagi lidahnya menari di atas kulit dada yang termuda. Yibo hanya mendengar Sean merapalkan namanya seperti sebuah mantra yang diucapkan berulang kali di tengah napas pemuda itu yang putus-putus.
“Chef,” Sean semakin terengah, suaranya yang pecah menghantarkan sengatan pada Yibo.
Kegiatan Yibo mendadak terhenti, dia mengumpat dalam hati saat menatap Sean dengan manik yang menggelap. “Jangan panggil aku dengan kata itu, Sayang.” Yibo bisa menahan, tapi tidak tahu di mana ambang batasnya ketika Sean memanggil dengan sebutan keramat itu.
“Tidak bisakah kita langsung mulai, Chef?”
“Sayang,” Suara Yibo mendayu frustasi, rahangnya mengeras saat menahan hasrat yang semakin menggebu. Ereksinya sudah tegang sejak tadi, menginginkan sesuatu dari suaminya, tapi Yibo terus menahan. Dan panggilan erotis dari Sean semakin membuatnya gila. “Bisakah kamu jangan memanggilku begitu?”
Mata Sean yang sayu mencoba menatap Yibo, “Kenapa?” Tanyanya lugu. Seakan berpura-pura tidak mengerti atau memang demikian. “Chef… Chef… Chef Yi—”
Sean tidak kuasa untuk melanjutkan ketika Yibo melumat bibirnya. Dengan rakus, Yibo melahap belah kenyal itu. Dia memang belum makan, perutnya sudah berbunyi tadi. Tapi, ketika disuguhkan hidangan seperti ini, Yibo mendadak merasa kenyang.
Decapan basah menggaung dalam kamar, melodinya menemani detik jarum jam yang terus berdenting. Yibo menjelajah rongga mulut Sean dengan lidahnya, menyapu seluruh geligi Sean dan meninggalkan saliva panas di dalam sana. Napas mereka semakin terengah. Seiring lidah yang saling membelit, kaki mereka juga sama-sama tidak ingin diam.
Yibo menahan kaki Sean, membukanya lebar dengan dirinya di tengah. Kedua lengan Yibo mengungkung yang termuda, sama sekali tidak membiarkan suaminya pergi dari jeratan ini. Yibo sudah benar-benar panas sekarang, panasnya semakin putus-putus saat ciuman mereka terlepas.
“Sayang,” Rendah suara Yibo menyapu wajah merah Sean, menghantarkan sengatan yang membuat bulu roma pemuda Xiao itu berdiri. “Maaf jika aku kelepasan. Demi Tuhan, ini tidak bisa ditahan lagi.”
Sarat akan frustas begitu tampak, Sean mengigit bibirnya saat mencoba menenangkan Yibo. “It’s okay, Sayang. Aku juga sudah menunggu ini sejak lama. Bisa tidak kita langsung melakukannya?”
“Inginku.” Yibo kembali mengelus pipi Sean sayang. Maniknya yang sudah berat akan hasrat mencoba menatap Sean dengan fokus. “Tapi, ini pertama kali. Aku harus mempersiapkanmu dengan baik, Sayang.”
“Harus sekali?”
Yibo mengangguk, “Aku tidak ingin menyakitimu, Pretty Angel.”
Sean tidak menjawab, dia hanya menatap Yibo dengan manik sebulat purnamanya. Mata pemuda Xiao itu masih begitu jernih di tengah perbuatan kotor mereka. Dan Yibo kembali mengagumi seberapa menawan suaminya itu.
Mendadak Sean memalingkan muka, tidak lagi menatap Yibo setelah melirik tubuh bagian Yibo. Mengikuti suaminya, Yibo memejamkan mata menahan malu. Dia tidak sadar sejak kapan handuknya terlepas, menampilkan ereksinya yang sudah benar-benar menggeras dan menggesek secara tidak sengaja pada paha Sean.
“Chef,”
Ereksi Yibo berkedut atas panggilan itu, dia sudah sepenuhnya gila. Namun, Yibo masih berusaha tetap waras ketika berdengung, “Mn?”
“Itu besar.”
Persetan dengan segala sifat mulai Sean, Yibo ingin memaki suaminya atas kalimat itu.
“Apa nanti muat?”
Mencoba menggoda suaminya, Yibo mengendikkan bahu main-main. “Tidak tahu. ‘Kan belum masuk.”
“Kemana?”
“Sini.”
Lenguhan Sean lolos begitu saja saat Yibo meraba lubang analnya dari balik celana. Tempat itu masih terbungkus, dijaga oleh kain dari celana dalam dan piyama satin milik Sean. Namun, penekanan yang Yibo berikan cukup kuat, dan Sean merasakan bahwa kerutan itu berkedut responsif.
“Chef, please,” Sean memohon frustasi. Kakinya secara tidak sadar terbuka, refleks melebar dan menyambut Yibo dengan senang hati. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
“Cantikku ingin apa?”
“Ingin Chef.” Sean menjawab cepat, dia tanpa ragu ketika membuka suara. Tapi, tangannya bergerak ragu ketika Yibo tidak menyadari sama sekali. Dengan pelan, Sean menggenggam milik Yibo di bawah sana, menciptakan geraman dari belah bibir pria Wang.
“Sean, fuck.” Usaha keras Yibo untuk tidak mengumpat kini sia-sia. Bibirnya secara terbuka melayangkan kalimat itu. Kepalanya mendadak terangkat, Yibo terpejam menikmati sensasi itu.
Napas Yibo semakin putus-putus, lengannya terasa gemetar saat menahan berat tubuh di atas Sean selagi yang termuda mengurut ereksi Yibo dengan main-main. Gesekan telapak kering Sean dengan miliknya menghantarkan sensasi yang tidak bisa Yibo definisikan, antara sakit dan enak.
“Sayang, stop, sayang.” Kalimat Yibo putus-putus seiring telapak Sean yang naik turun. Dengan segala usahanya, Yibo berhasil menahan telapak Sean. Mata mereka bertemu, dan kelopak Yibo justru lebih sayu daripada Sean. Dia benar-benar sudah mencapai ambang batasnya saat menjatuhkan diri.
Dada mereka saling menghimpit, bergesekkan satu sama lain. Baik Yibo maupun Sean bisa merasakan putting mereka yang saling mengeras. Di sisi lain, bibir mereka kembali bertemu. Saling menyesap seolah tengah kelaparan, mencari-cari sesuatu dalam rongga mulut dan berakhir dengan lidah yang saling membelit.
Yibo semakin menekan bibirnya, memaksa Sean untuk fokus pada tautan mereka ketika tangannya membawa celana yang termuda turun. Di luar batas kesadaran, Sean membuat semuanya semakin mudah dengan menekuk kaki. Pakaian bawah Sean sepenuhnya lolos saat Yibo membawa ciumannya ke telinga yang termuda.
Napas panas Yibo yang berat berhembus pada telinga Sean saat dia menjelajah indera pendengar itu dengan lidah. Geramannya juga terurai ketika merasakan benda keras di bawah sana saling bergesek.
Sean memeluk erat Yibo, seolah tidak mengizinkan dia untuk menjauh. Kaki pemuda itu juga melingkari pinggang Yibo, membuat mereka semakin dekat serupa nadi. Menambahkan sentuhan juga gesekan dari kelamin keduanya di bawah sana.
“Chef—ah,” Suara tidak koheren Sean kembali keluar. Menari-nari dalam telinga Yibo yang sepenuhnya merah. Mereka sudah sepenuhnya terlena, namun Yibo berusaha untuk tetap menggunakan logika ketika dia menjauhkan tubuh.
“Be patient, okay?”
Sean mengangguk, tidak tahu harus disuruh sabar untuk apa. Manik matanya hanya mengekor, memperhatikan Yibo yang tergesa membuka laci nakas dan meraih sebuah botol.
Yibo membuka tutupnya dengan terburu, lalu menuangkan banyak cairan pelumas pada jarinya. Dia menatap Sean, seolah meminta izin. Kemudian yang termuda mengangguk, “Ini akan sedikit sakit, maaf, ya?”
“Just do it, Sayang!”
Atas hal itu, Yibo menahan kaki Sean dengan tangan kanannya. Dia kemudian mengarahkan jari tengah kirinya pada lubang Sean yang berkedut, mencoba untuk masuk meskipun sulit. Yibo mencoba beberapa kali, tapi tidak kunjung berhasil. Sean di bawahnya tidak menujukkan reaksi apapun, selain gigitan pada bibir juga alisnya yang berkerut. Dengan segala ketakutan akan rasa sakit yang sudah Yibo redam, dia menerobos lubang anal suaminya cukup memaksa.
“Fuck, Chef!”
Sean mencengkram lengan Yibo kuat. Yibo pikir itu sakit, tapi ketika dia mendapati suaminya tengah terpejam dengan kepala yang mendongak, juga bibir yang terbuka melayangkan suara sensual, Yibo menyeringai.
Dia mencoba bergerak pelan, melihat reaksi Sean. Ada keruatan pada dahi suaminya, mungkin itu memang sakit. Tapi, secara refleks kaki Sean semakin terbuka lebar, membuat Yibo untuk mendorong jarinya semakin jauh.
“Chef, Goddamn it!” Napas Sean sudah sangat terengah saat dia berucap. Mereka kini saling menatap, namun Sean kembali mendaratkan kepala di atas bantal saat Yibo menaikkan entitas gerakan.
“Kamu suka?”
Sean mengangguk putus-putus seiring keluar masuknya jari Yibo pada lubang analnya. “Suka,” Sean menggerang sensual, dia sepenuhnya terangsang sekarang. “Suka sekali hingga rasanya seperti terbang.”
“Ini suka?”
“Fuck, fuck, fuck!” Sprei yang tadinya tidak berarutan, kini semakin berantakan ketika Sean menariknya. Dia mencari-cari pegangan yang cukup kuat saat jari kedua Yibo menerobos masuk. Sean tidak bisa menahan semua stimulus Yibo, dan ketika menemukan lengan kekar suaminya, Sean mencengkram itu dengan kuat. “Chef, please, fuck—fuck me, Chef.”
Serupa dengan Sean yang sudah sepenuhnya frustasi, Yibo mengumpat di tengah kegiatannya. Dia menarik jarinya keluar dan mendapat tatapan tidak suka dari Sean. “Aku tidak tahan, Sayang.” Yibo menatap manik itu gelap, napasnya selaras dengan Sean yang semakin terengah. “Milikmu belum cukup liat, tapi aku tidak bisa menahan lebih jauh.”
“Do it, Sayang.” Sean mengangguk-angguk, entah untuk apa. “Lakukan itu. Aku yang akan menahannya sekarang.”
“You sure?”
Kepala Sean kembali mengangguk, dadanya naik turun seiring tarikan napas panas dari mulutnya yang terbuka sensual.
“Katakan padaku jika sakit, oke? Kamu bisa mencakar atau mengigitku nanti. Aku juga ingin kamu tahu bahwa aku menyakitimu bukan tanpa sengaja. Maaf, ya, Sayang?”
Sean sedikit mengangkat tubuh ketika dia mendaratkan kecupan lama pada bibir Yibo. Yang termuda lantas mengelus rahang berkeringat itu lalu kembali mengangguk, “Kita melakukan ini dengan segala rasa cinta kita. Aku yakin kamu tidak akan menyakitiku.”
Berulang kali mendapat lampu hijau, Yibo kembali menuang pelumas pada telapaknya. Kini sedikit lebih banyak, lalu dia membaluri ereksinya yang sudah mengeras. Yibo menahan geramannya dengan mengigit bibir, kendati demikian, napas kasarnya masih bisa Sean dengar dengan baik.
Setelah dirasa cukup licin, Yibo kembali menuangkan pada jarinya. Lupa memberitahu Sean ketika dia kembali menyelipkan jari untuk masuk. Yang termuda sontak mendesah sensual, meremat sprei dengan kuat ketika kaki terbuka sepenuhnya.
Yibo kemudian memposisikan diri di hadapan Sean, juga turut memposisikan kepala ereksinya di depan lubang anal berkedut milik Sean. “Ini akan sakit, maaf.”
Sean kembali mengangguk, mencoba meyakinkan suaminya untuk yang kesekian kali. Tangan Sean yang tadinya terkulai kini berpindah pada leher Yibo, mengalungkannya dengan lemas saat bibir berucap, “Kiss me.”
Dengan senang hati Yibo menyerahkan diri. Dia memangkas jarak wajah dan melumat bibir Sean sensual. Melahap benda kenyal itu seperti kelapar, mencoba menyesap rasa cherry yang mungkin masih tertinggal di sana. Ketika lidah mereka saling menari, Yibo mendorong pinggulnya turun. Mencoba untuk masuk di tengah ciuman agar Sean tidak terlalu fokus pada tautan di bawah sana.
Namun, apa daya ketika miliknya yang besar dengan pembuluh darah tercetak jelas mencoba menerobos milik Sean yang begitu ketat. Sean terkejut dan menggeram dalam ciuman, dan Yibo berhenti di tengah jalan karenanya.
“Sakit?”
Sudut pelupuk Sean berkaca, dia mengangguk setelahnya. “Sedikit.” Napas panas Sean semakin memburu, dia juga mencengkram pundak Yibo keras.
“Berhenti, ya?”
Kini Sean menggeleng, “Tunggu sebentar, ya?” Katanya dengan berusaha keras. Ini memang sedikit menyakitkan, namun Sean tetap bisa merasakan hasrat yang semakin menggebu dalam dirinya. “Jika langsung dimasukkan, apa akan sakit?”
Ereksi Yibo berkedut membayangkan, namun dia menggeleng. “Tidak tahu. Mungkin iya? Ingin mencoba?”
Sean mengangguk ragu, dan dengan cepat dia mencengkram lengan Yibo. “Tapi, sebentar.”
Posisi ini tidak cukup menguntungkan bagi mereka, dan Yibo jelas tidak suka sebab membuat Sean kesakitan. Salahkan saja ereksinya kenapa terlalu besar?
Yibo mencoba tetap bernaung pada logika agar tidak menghentak tanpa persetujuan, namun dia merasa semakin sempit di bawah sana. Tidak tahu apakah bisa masuk jika semakin ditunda. Beruntunglah Sean yang mengangguk memberikan lampu hijau. “Maaf, Sayang.” Kata Yibo, sebelum akhirnya menghentakkan pinggul dan membuat ereksinya tertanam seluruhnya di dalam milik Sean.
“Chef, fuck—ah!” Sean benar-benar mengigit pundak Yibo diakhir kata. Napasnya begitu memburu, kakinya mendadak seperti jelly dan bergetar. Dia mencapai ambang batasnya.
“Sayang?” Yibo mendadak khawatir. Ini pertama kalinya bagi mereka, dan dia tidak tahu harus melakukan apa saat Sean memeluknya begitu erat dengan tubuh yang sedikit bergetar. Cengkraman di bawah sana menguat, Yibo merasa sesak dan tidak bisa bergerak sama sekali. “Sayang?” Panggilnya sekali lagi, memastikan bahwa suaminya baik-baik saja. “Kamu oke?”
“Mn…” Dengungan dibarengi desahan. Sean tidak kuasa menjawab dengan benar saat rasanya benar-benar memabukkan. Dia tidak bisa menahan ini. Pertama kalinya sungguh gila. “Wait—wait a second, Chef…”
Yibo mengangguk sekalipun Sean tidak melihat. Suaminya itu terpejam dengan bibir yang terbuka sensual. Meski harus menahan diri untuk yang kesekian kali, Yibo tidak masalah. Dia mendaratkan kecupan pada wajah Sean, mulai dari dahi, kedua kelopak yang tertutup, hidung, pipi, juga mulut. Senantiasa menunggu suaminya yang mencoba membiasakan diri di bawah sana.
“Chef, ini…” Kalimat Sean terpotong oleh desahannya yang sensual. Dia tidak melanjutkan ketika justru tertawa serak di tengah napas yang terengah. “Ini terlalu memabukkan. Punya kamu besar dan panjang, rasanya penuh di bawah sana.”
“I know.” Yibo tertawa miring, menerima pujian itu dengan senang hati ketika merasakan ereksinya kembali berkedut. Yibo tidak tahu bahwa panggilan ‘chef’ yang tidak dia sukai akan menjadi mantra dalam suasana seperti ini. “Punya kamu juga sempit, Pretty Angel. Seperti memang diciptakan untukku.” Yibo tidak tahan lagi, dia mencoba menggerakkan pinggulnya dengan pelan. “Bisa merasakannya?”
“Fuck, Chef, fuck!” Sean kembali terpejam, kakinya juga turut bergetar lagi. “It’s too much! Fuck!”
Yibo tidak tahu bahwa efek dari penyatuan mereka akan sebegitu besarnya bagi Sean. Tapi, dia seketika paham saat menjauhtkan tubuh dari yang termuda. Ada bercak putih pada perut rata Sean, berceceran memanjang di sana. Ketika Yibo menatap perutnya, bercak itu juga menempel di sana. “Fuck!” Yibo tidak menyangka, dia cukup terkejut dengan hal itu. “You comin’, Sayang?”
Sean yang masih berada di langit ketujuhnya mencoba membuka mata, “Iya, kah?” Tanyanya balik. Tidak menyadari atas yang terjadi pada dirinya.
Yibo meraba perut Sean, menyapu air mani suaminya dengan ujung jari lalu mengangkatnya ke udara. “Look.” Titah Yibo, memperlihatkan kelima jarinya yang terdapat bercak putih.
Sean linglung, dia mendadak merasa melankolis. “Chef,” Dengan takut Sean memanggil, alisnya berkerut saat menatap Yibo. “Maaf?”
“Hey, don’t say that.” Yibo mendadak khawatir, dia kembali mengungkung Sean. “It’s okay. Kamu tidak salah.” Tenangnya. Yibo kembali menciumi wajah Sean, tidak membiarkan yang termuda memikirkan hal lain. “Enak, ya? Ada aku di dalam sana?”
Kepala Sean mengangguk, matanya masih berkaca-kaca.
“Kamu keluar itu tandanya aku berhasil memanjakan kamu.” Ucap Yibo. Dia tengah menahan diri sekarang atas fakta itu. Sejak awal Yibo belum menyentuh ereksi Sean, namun dia tahu bahwa suaminya sudah mengeras. Hanya saja Yibo tidak menyangka bahwa Sean akan keluar secepat ini. Mungkin suaminya terlampau kewalahan dengan stimulus yang Yibo berikan pada pertama mereka. “Ingin berhenti saja?”
Bibir Sean mengerucut lucu, manik mambinya juga masih memancarkan bayangan melalui kumpulan air di pelupuk. “Kenapa berhenti?” Tanya Sean lugu.
“Kamu sudah keluar, Sayang. Takut nanti overwhelmed.”
“Memang kamu sudah keluar?”
Yibo meringis, dia menggeleng setelahnya.
Secercah pemahaman telah tersampaikan, dan Sean tidak lagi menyimpan air mata pada pelupuknya. Dia kembali mengelus rahang Yibo dengan lembut, “Aku masih kuat, Chef.” Akunya percaya diri.
“Aku juga masih terlalu kuat, Sayang. Takut nanti kelewatan.”
“Kelewatan kalau enak kenapa tidak dilakukan saja?”
“Hush!” Yibo tertawa kemudian, dia tidak terlalu yakin akan kalimat Sean. Namun, jika berhenti sekarang sudah kepalang tanggung. “Kamu yakin?” Tanyanya sekali lagi, dan Sean menangguk atas hal itu. “Kamu berarti masih bisa keluar lagi untukku?”
“Memang bisa?”
Yibo mengangguk, “Harusnya. Aku ingin kita keluar bersama.”
Kini giliran Sean yang membawa kepalanya mengangguk, “Now, it’s your time, Chef. Fuck me like there’s no tomorrow. Fuck me until I forget who I am. Fuck me until—Fuck, fuck!”
Segala kalimat Sean memancing Yibo, dan dia tidak kuasa menahan godaan itu hanya dengan berdiam diri. Yibo menghentak pinggulnya cukup kuat, membuat badan Sean terlonjak. Namun, dia sepenuhnya abai, sebab Sean bilang ini adalah waktunya.
Sensasi berbeda Yibo rasakan setelah Sean keluar. Dinding anal suaminya lebih menjempit, seperti tidak siap menerima Yibo yang cukup besar. Namun, itu justru menjadi semangat Yibo untuk keluar masuk semakin cepat. Dia benar-benar tidak tahan kali ini.
Suara pertemuan antar kulit mengaung dengan keras, bahkan decit ranjang juga turut beradu bersama denting jam yang terus berdetik. Suara geraman Yibo tercipta, seiring dengan napas Sean yang terengah juga panggilan suaminya. Yibo semakin menghentak saat dinding Sean semakin ketat.
“Sayang, fuck, you are too tight.” Geram Yibo. Maniknya tidak bisa fokus antara menatap di bawah sana atau memandang wajah Sean yang semerah delima. Beberapa kali pupil Sean memutih, seolah terbalik sebab pinggul Yibo menghentak terlalu kuat.
Sean tidak bisa membalas, dia hanya bisa mengeluarkan suara tidak koheren dan memanggil Yibo seperti mantra, chef,chef, dan chef, dibarengi oleh suara desahan sensual yang terus membakar semangat Yibo seperti kobaran api.
Kaki Sean kini menekuk, ujungnya menyentuh sisi lain kasur di sebelah kepalanya sebab Sean terlalu lentur. Dengan posisi yang seperti itu, Yibo bisa masuk semakin dalam. Seolah berusaha menerobos milik Sean hingga titik yang tidak bisa dia gapai hanya dengan jari.
“Chef, no! It’s too deep, too much!”
“Ingin aku berhenti?”
Kepala Sean menggeleng, tangannya menahan pinggul Yibo untuk tetap di tempat. Merasa takut jika Yibo benar-benar menarik pinggulnya menjauh.
Atas hal itu, semangat Yibo kembali berkobar. Dia menghentak semakin keras. “Bisa keluar lagi untukku, Pretty Angel?” Sean mengangguk seiring hentakan Yibo yang semakin kuat dan tidak beraturan. Yibo rasa dia akan sampai diambang batasnya. “Cum with me, okay?”
Belum cukup lama Yibo menyelesaikan katanya, kaki Sean kembali bergetar. “Chef—ah, fuck. Stop, Chef, fuck!”
“Fuck!” Yibo mengumpat tidak kalah keras. Pinggulnya semakin bergerak tidak beraturan ketika merasakan di bahwa sana semakin sempit. “You cum for me, Sayang? Sepenuhnya untukku?”
Kalimat Yibo bagaikan lullaby bagi Sean. Tubuhnya reasa ringan, namun matanya berat untuk dibuka. Sean tidak tahu harus menjawab apa ketika pertanyaan Yibo tidak bisa dia cerna dengan baik. Ereksinya mati rasa, namun dia masih bisa merasakan semburan air mani di atas perutnya yang bergetar. “Fuck, Chef! Sudah, chef, sudah!”
“Sebentar, Cantik.” Yibo menggeram di tengah kalimatnya. Dia menahan pundak Sean agar tidak menjauh, juga berharap suaminya masih bisa menahan stimulusnya sebab Yibo sudah hampir sampai. Dengan dorongan berantakan yang dalam, Yibo melesakkan air maninya ke dalam lubang anal Sean. Dia masih menghentak-hentak, mencoba mengeluarkan semua muatannya tanpa sisa. Tubuh Sean juga masih gemetar seiring dorongan tanpa tenaga dari Yibo. Mereka benar-benar kewalahan akan sensasi memabukkan ini.
“How you feel, Sayang?”
Kepala Sean lagi-lagi mengangguk, namun bibirnya tidak kuasa membentuk kata. Dia hanya tertawa ringan, masih menikmati ereksi Yibo yang berkedut di bawah sana.
“You okay?” Lagi-lagi Yibo bertanya, ingin memastikan bahwa suaminya baik-baik saja. Tapi, gelengan dari yang termuda membuat Yibo panik kepalang bukan main. “Tell me, what’s wrong?”
“Too much,” Sean mendekut, dia masih terengah. “Everything it’s too much for me.”
“Tapi, kamu suka.”
Sean kembali mengangguk, “Sangat suka. Ada putaran kedua malam ini, Chef?”
Entah itu pertanyaan main-main atau memang serius, Yibo benar-benar menghentakkan pinggulnya lagi setelah Sean pulih dari pelepasan keduanya. Mereka kembali bergumul, saling bertukar desah juga keringat memabukkan hampir sepanjang malam. Keduanya baru menutup mata setelah pukul tiga dini hari.
[]㊐
Aman? Aman harusnya yaa, haha. See u!
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Eyes ㊐ Yizhan
Hayran Kurgu[END] Diusianya yang ke dua puluh sembilan, Wang Yibo merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kali. Dia terpesona pada rupa pemuda yang usianya lebih muda lima tahun. Tekat Yibo sudah sangat yakin, dia mulai membuka hatinya. Tapi, di tengah itu, Wa...