Bab 3: Zettha dan Haeden Kecil (1)

141 97 76
                                    

"Bisakah kalian tidak berbicara saat makan?" Tiba-tiba, suara dingin Zettha menyapa di udara. Wajahnya masih sama datarnya seperti sebelumnya, tetapi wajahnya putih pucat seperti orang sakit.

Herles tersentak, dan bahunya sedikit bergedik. Tetapi masih mempertahankan senyuman manisnya, "Maafkan kami, Pangeran. Lain kali kami tidak akan melakukannya lagi."

Haeden mencibir marah dan menggertakkan gigi, berbeda dengan Herles yang meminta maaf dengan lembut, "Apa? Apakah kau muak dengan suara-suara yang mengganggumu saat makan? Jika begitu, makan saja seperti biasanya dengan Raja di dalam istana!" Haeden masih melanjutkan ucapannya dengan suara marah yang ditekan, "Kami tidak butuh kau ada di sini."

Zettha, "...."

Herles berkata panik dan mencoba menenangkan situasi, "Eden, Eden, jangan berkata seperti itu. Pangeran hanya mau makan bersama kita bertiga. Tidak ada salahnya ... dia juga kakakmu."

Haeden manjadi semakin marah dan berdiri dengan melemparkan sendok yang terbuat dari emas ke meja, berkata dengan lantang dan langsung mencuri perhatian semua murid, "Aku tidak peduli apakah dia kakakku atau tidak. Dia ... dia bahkan tidak memperlakukan aku dengan layak sebagai adik!"

Semua murid dan orang-orang Glorantha sangat tahu akan hubungan kakak beradik dari Istana Glorantha itu. Hubungan mereka sangat buruk dari semenjak Ratu meninggal saat melahirkan Pangeran Haeden. Bahkan Raja sendiri sangat tidak bisa mengekspresikan diri di depan anak-anaknya dengan baik. Tidak mempedulikan pertengkaran kedua putranya yang sudah seperti ini, dan hubungannya dengan anaknya mulai renggang setahap demi setahap.

Raja adalah orang yang sangat kaku, tidak bisa menggambarkan diri saat senang atau pun sedih. Dan kata-katanya yang selalu keluar hanya tiga kata, yaitu "keluar dan enyahlah!" dan disertai dengusan dingin.

Aillard memijit kepalanya, memicingkan mata dan berkata sedikit berang, tetapi ada juga nada malu karena mereka jadi pusat perhatian semua orang, "... Haeden, duduklah dan makan dengan sopan."

Haeden tak mendengarkan dan pergi begitu saja dari Aula Awan Putih. Semenjak dulu, semua murid Istana Glorantha tahu bahwa Haeden adalah orang yang sangat menghormati gurunya dengan sepenuh hati tanpa ada niat dan tujuan tertentu, dan tidak ingin mempermalukan nama guru yang mendidiknya. Tapi, mungkin karena hari ini dia sudah terlalu banyak termakan emosi, Haeden tidak bisa untuk tidak pergi dari Aula Awan Putih dengan mata yang melihat sekeliling dengan mata berkabut karena ada genangan air di matanya yang hitam gelap.

Kenangan masa kecil sekali lagi menghantuinya dan mengingatkannya akan kesedihan yang mendalam. Seperti ia merasakan dirinya segera terseret tenggelam dalam lautan kenangan yang menyeretnya sampai ke dasar laut, dan tidak akan pernah bisa mendapatkan kesempatan menyelematkan diri berenang ke tepi daratan lagi.

Saat itu, Haeden baru menginjak usia lima tahun, dan dirinya selalu bermain ke sana kemari dengan ditemani beberapa pelayan istananya. Semenjak ia dilahirkan, Haeden tidak pernah tahu seperti apa bentuk wajah ayah dan kakak laki-lakinya. Pernah suatu saat, Haeden berpikir, apakah keluarganya tidak menginginkannya untuk lahir? Apakah ibunya juga meninggal karena tidak mau melihat wajahnya? Bahkan untuk melihatnya sekali saja tidak pernah mau semenjak ia lahir sampai usia lima tahun.

Haeden kecil merenung di kursi empuk kamarnya, mengerucutkan bibirnya seperti mulut anak bebek. Kakinya ia ayunkan ke belakang dan ke depan dengan lesu. Berpikir lebih dalam di dalam kerutan alisnya, ia tidak boleh memiliki pikiran buruk seperti itu terhadap ayah, kakak dan ibunya. Jika dia tidak diinginkan, sudah pasti ia akan dibuang atau dibunuh dengan kejam, dan tidak membiarkannya hidup sampai hari ini.

Haeden berpikir lagi dengan nyeleneh. Ayah dan kakaknya mungkin akan datang ke kediamannya jika dirinya sudah menjadi kuat dan dewasa seperti kakaknya yang selalu dibicarakan orang-orang istana. Bahwa kakaknya sudah bisa mengalahkan murid tingkat senior dengan pedang biasa pada usianya yang kedelapan tahun. Hal ini sangat langka terjadi di kalangan anak-anak yang belum berumur sepuluh tahun ke atas sudah bisa mendapatkan energi spiritual yang kuat dan jernih.

Sehingga, banyak Raja-raja dari sepuluh Kerajaan besar pergi ke istana Glorantha dengan membawa anak-anaknya yang masih menangis dan ingusan dipangkuan ibunya untuk melihat perkembangan yang sangat cepat pada Pangeran Zettha.

Saat itu, Haeden berada di dalam kamarnya dengan pura-pura tidur nyenyak di kasur empuknya yang besar, matanya yang memicing sedikit melihat ke kiri dan ke kanan dengan ekspresi wajah mengawasi. Saat matanya mengawasi, tidak ada pelayan-pelayan istana ada di sekitar kamarnya. Jadi Haeden turun dari kasurnya dengan baju tidur putih polos dengan wajah waspada. Berjalan berjinjit seperti maling yang takut ketahuan oleh tuan rumah.

Melihat ke dalam dapur kediaman Permata Biru yang luas. Di sana, terdengar suara tawa yang riang dari para mulut pelayan yang membicarakan wajahnya yang imut ketika sedang tidur.

Haeden kecil menghela napas lega, ternyata para pelayan sedang membuat permen dan manisan kue untuknya di dapur, disertai pembicaraan singkat yang ia dengar dari para pelayan yang merasa lucu dan gemas terhadap dirinya yang tidur seperti anak kucing.

Haeden keluar dengan hati-hati dari pintu dapur menuju pintu keluar Kediaman Permata Biru. Tidak memperhatikan cuaca dingin yang menyerang di luar dan mengabaikan tubuhnya yang akan terserang demam.

Dalam bertahun-tahun, Haeden kecil tidak pernah keluar dari kediaman Permata Biru. Dan jika itu pernah, mungkin hanya beberapa langkah dari gerbang kediamannya saja.

Tangan kecil Haeden terletak di depan dadanya yang bagaikan genderang yang berbunyi ribut. Di depan istana utama, Haeden bersembunyi di balik pohon dan melihat banyak sekali orang-orang yang berpakaian mewah dengan warna yang berbeda-beda terpantul di mata almond nya yang bulat.

Haeden bergumam lirih, "Apakah ... apakah mereka adalah orang-orang yang para pelayan bicarakan itu."

Dan ia melanjutkan ucapannya dengan mata berbinar, seolah banyak bintang-bintang bertaburan di dalam matanya, "Mereka datang untuk melihat perkembangan pesat inti spiritual kakak?"

Haeden tanpa sadar maju ke depan, meninggalkan pohon yang rindang yang menyembunyikan dirinya dari orang-orang. Sinar cahaya matahari menusuk mata dan kulitnya yang putih seperti salju. Ada begitu banyak orang dari berbagai istana yang datang, sangat sulit baginya untuk menemukan di mana ayah dan kakak laki-lakinya berada. Dia hanya melihat para Raja duduk berjajar dengan memangku putranya. Dan di jalan lurus di depannya dialaskan oleh karpet merah, ada sepuluh tangga berjajar memanjang menuju singgasana Raja sang pemilik istana Glorantha.

Haeden kecil terpana, bertanya-tanya di dalam hati, apakah dia adalah ayahnya? Raja itu sangat tampan saat memakai baju berwarna putih dengan kain katun terbaik di ibu kota Glorantha, di lehernya ada bulu putih rubah yang melingkari lehernya. Dan jubahnya yang menjuntai di lantai berwarna merah darah. Raja Aeturnus Da Velas Glorantha, menopang pipi dengan dingin dan matanya yang berwarna biru laut memandang sekitar dengan tak acuh.

Di sebelahnya, ada seorang anak laki-laki berumur delapan tahun sedang duduk di kursi Pangeran dengan ekspresi yang sama datarnya dengan Raja. Rambutnya yang panjang tergerai bebas di bahunya, dan pita dahi emas berbentuk bulan sabit dan bintang keturunan Kerajaan Glorantha melilit dahinya yang mungil.

Sangat tampan!

Haeden berpikir sejenak, tiba-tiba dia merasa bahwa takdir memang benar-benar sedang ingin membawanya untuk melihat wajah keluarganya yang belum pernah ia temui semenjak lahir. Jika Haeden tahu, bahkan orang bodoh saja bisa mengatakan bahwa, "anak mana yang tidak pernah melihat wajah kakak dan ayahnya semenjak anak itu sudah mau membuka matanya untuk mengenal dan menghafalkan wajah orang-orang di sekitarnya? Pasti anak itu tidak diinginkan." Tetapi mau bagaimana lagi? Haeden adalah seorang anak kecil yang polos dan tidak tahu mana yang benar dan salah. Mana hari keberuntungan dan mana hari kebuntungan.

Saat kaki kecilnya mau melangkah ke pintu utama istana untuk menyapa ayahnya, langkahnya diberhentikan oleh suara seorang Raja yang sepertinya berasal dari Kerajaan Mythoria.

Dia bertanya sembari berdiri dari duduknya, "Raja, maafkan tindakanku yang kurang sopan ini. Tapi aku ingin bertanya kepadamu. Kau memiliki dua orang putra. Tapi kau tidak pernah mengenalkannya kepada seluruh Istana dan di dunia sihir." Raja Mythoria itu melanjutkan, "di mana keberadaan Pangeran kedua Glorantha?"

Raja Aeturnus membenarkan posisinya untuk duduk dengan punggung tegak. Alis pedangnya mengernyit dan berkata dengan tenang, "Raja Mythoria tidak perlu tahu. Dia ada di mana dan dengan siapa, bukan urusan dunia."

Dreams and Portal Holes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang